SURAT kaleng itu ditujukan ke Menteri Dalam Negeri. Surat tak berangkat ke Jakarta. Tapi balik ke balai desa dan jatuh ke tangan Sambas, Kepala Desa Bojo Negara, Subang, Jawa Barat. Isi surat benar-benar membuat kuping Sambas merah. Misalnya, kades menilap uang rekening listrik, memaksa remaja meminum minuman keras, dan membangun vila dengan duit haram. Sambas pun meledak. Ia kasak-kusuk mengusut siapa yang menulis surat pengaduan tanpa nama itu. Kesimpulan pun ditarik dan Ahmad dituduh sebagai pengirimnya. Alasan sederhana. Ahmad suka mengkritiknya. Berkat keyakinan itu, balas dendam pun diatur. Sambas memerintahkan 11 orangnya menghabisi Ahmad. Kebetulan Ahmad -- anak bekas Kades Bojo Negara -- pencandu judi berat. Maka, menurut instruksi Sambas. Ahmad harus dibantai selagi berjudi. Ini semua terungkap di sidang Pengadilan Negeri Subang yang dibuka 18 Juni lalu. Menurut tuduhan Jaksa Robert Wagner Lingga, pembantaian itu terjadi pada Selasa malam, mendekati 3 Oktober 1989. Menjelang tengah malam, tiba-tiba muncul Ketua RT setempat, Tarim, bersama 10 orang lainnya. Ahmad maklum. la buru-buru merogoh kantung mencari beberapa lembar ribuan. Maksudnya untuk diselipkan ke kantung tamu tak diundang itu. Ini memang tradisi untuk membungkam mulut. Setelah itu, biasanya, persoalan beres.Tapi, kali ini tidak. Uang sogok itu tak mempan. Rombongan Tarim tiba-tiba me- naburkan debu ke wajah Ahmad. Adegan berikutnya, Ahmad dihajar bertubi-tubi dengan batu bata. Tak hanya itu, perut Ahmad ditusuk dengan pisau hingga ususnya terburai. Mata kanan dihajar, dan wajahnya ditoreh dengan pisau. Ayah empat anak itu tewas di tempat. Mereka mengusungnya dengan sarung. Maksudnya akan dibuang ke Kali Cipunagara. Sial. Baru sekitar 400 meter mereka melangkah, usungan jenazah kepergok peronda. Mereka pun kabur meninggalkan bungkusan mayat itu. Misteri kematian Ahmad terkuak 9 November tahun lalu, ketika polisi mengamankan Sobari, 56 tahun, jagoan Kampung Sukasenang. Dan belakangan, kepada polisi ia mengaku menyiram Ahmad dengan debu. Sejak itu, ditangkap pula pelaku lainnya, Tarim, Basir, Sueb, Junaedi, Wamin, dan Duri. Empat tersangka lainnya -- Pandi, Karnen, Karyamin, dan Amir -- warga Indramayu, yang disebut-sebut pembantai utama, masih buron. Setelah mereka tertangkap. Kades Sambas sempat raib beberapa hari. Dalam pemeriksaan, para tersangka mengaku membunuh atas "restu" Sambas. Basir, 8 September 1989, mengaku dipanggil Sambas dan diperintahkan menghabisi Ahmad. Basir setuju dan lantas menghubungi Sobari. Yang diajak siap asal ada surat perintah dari Kades. Sobari juga mengusulkan agar eksekutor dipilih orang dari luar desanya. Sambas pun tak keberatan membuat surat. Isinya perintah menumpas pengacau di desa. Dana Rp 4 juta dijanjikan Kades. Belakangan, yang dibayarkan baru Rp 1.085.000. Jaksa juga membeberkan bahwa Ahmad dihabisi karena lancang mengirim surat ke Mendagri. Surat rahasia tersebut, entah bagaimana, jatuh ke tangan Sambas. Sebab itu, Sambas menyuruh korban dilenyapkan. Sambas sendiri, yang disebut-sebut menjadi dalang pembunuhan, kini memang tak mejabat kades lagi. Ia sempat ditahan provos beberapa saat. Kini ia bebas. Kepada TEMPO, ia mengelak dan menolak tuduhan jaksa sebagai otak pembunuhan. Bahkan ia mengaku tak tahu-menahu soal surat perintah untuk mengeksekusi Ahmad. "Biar saja jaksa menuduh begitu. Itu kan hak dia," kata Sambas. Pihak keluarga Ahmad meragukan korban yang menulis surat kaleng itu. Alasannya, Ahmad pada saat itu bukan lagi warga Bojo Negara. Ia warga Bojong Keding. Widi Yarmanto dan Ahmad Taufik (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini