Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kartu merah buat nayaka

Perusahaan pialang saham pt nayaka dicabut izin usahanya gara-gara mempermainkan harga saham pt inti indorayon utama di bursa efek jakarta. ada yang mempertanyakan. sebaiknya orangnya saja yang dipecat.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PALU hakim sudah jatuh. Untuk pertama kali di Bursa Efek Jakarta, sebuah perusahaan pialang saham dicabut izin usahanya sebagai perantara perdagangan efek. Nasib sial itu menimpa PT Nayaka Danatama, yang sehari-hari mempekerjakan 10 karyawan. Untuk seterusnya, Nayaka tak diperbolehkan lagi ikut bermain di lantai bursa Jakarta. "Dosa" Nayaka terjadi Senin pekan lalu. Saat itu, bursa sedang memperdagangkan saham PT Inti Indorayon Utama, yang pertama kali dicatatkan di bursa. Di pasar perdana, saham pabrik pulp yang berlokasi di Sumatera Utara itu dijual dengan harga Rp 9.850 per saham. Tak bisa tidak, hari pertama pencatatan saham tentu menarik untuk dipantau. Para investor sangat ingin tahu, berapa besar saham itu bakal memberi keuntungan pada para pemiliknya. Itulah yang memang ditunggu-tunggu. Maka, harga pun naik turun. Sepanjang hari itu, rekor tertinggi yang diraih Indorayon adalah Rp 11.000 per saham. Pencetak rekor adalah PT Nayaka Danatama sendiri, yang berani membeli setinggi itu dari seorang kliennya. Tapi kejutan PT Nayaka tak berhenti sampai di situ. Menjelang usainya session kedua, yang ditutup pukul tiga sore mendadak rekor baru pecah lagi. Tapi bukannya melambung, harga saham Indorayon malah anjlok ke Rp 6.000 per saham. Nayaka juga yang memasang angka satu lot itu (terdiri atas 500 unit saham) di kolom jual papan Indorayon Itu berarti, ia bersedia menjual saham Indorayon dengan harga semurah itu. Tentu saja, perhatian para pialang yang mengerumuni papan terpusat pada penawaran ekstrem ini. Mereka berebut, sampai pialang PT Komindo Jaya Abadi mendapatkannya dan membeli 500 saham dengan harga Rp 6.000 itu. Transaksi yang terjadi persis di detik-detik akhir itu bikin geger. Terutama karena kurs yang bakal tercetak dan tersebar di seluruh media sebagai kurs akhir adalah Rp 6.000 per saham, meskipun saham Indorayon pernah hinggap di Rp 11.000 siang harinya. Berarti, perdagangan esok hari akan dimulai dengan kurs yang terhitung rendah itu. "Padahal, kemampuan pasar saat itu Rp 9.250 sampai Rp 10.000," tutur seorang pialang kawakan. Kegemparan ini segera sampai ke meja Ketua Badan Pelaksana Pasar Modal, Marzuki Usman, "Saya langsung membatalkan transaksi itu," tuturnya. Ia menganggap penetapan harga Rp 6.000 ini di luar batas kewajaran. Marzuki juga mengeluarkan keputusan yang cukup keras, berupa skors kepada Nayaka. Perusahaan yang omsetnya rata-rata Rp 10 milyar per bulan itu diminta membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi "dosa"-nya. Nayaka juga diminta agar menjelaskan latar belakang dan alasan tindakan ekstrem tersebut. "Perbuatan itu bisa merusak kepercayaan dunia," kata Marzuki, masygul. Malang tak dapat ditolak, esok harinya, Bisnis Indonesia mepuliskan insiden itu besar-besar dalam kepala beritanya. Cuma dua hari setelah kejadian, vonis akhir pun jatuh. Menteri Keuangan Sumarlin, lewal SK bernomor 742/KMK.O13/1990, memutuskan hukuman terberat yang bisa dijatuhkan buat perusahaan pialang saham, yakni pencabutan izin usaha. "Ini saat yang tepat untuk menerapkan peraturan-peraturan yang ada di pasar modal," tutur Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan, Bacelius Ruru, S.H. Banyak orang mempertanyakan, apakah hukuman buat Nayaka itu tidak keterlaluan. Nayaka sendiri sudah pasrah. "Ibarat pemain dikartu merah wasit, kami menerima," kata Drs. Edward Azizy, Direktur Utama Nayaka. Ia bahkan sudah mengirimkan surat permintaan maaf kepada Bapepam, yang disampaikannya sendiri ke kantor Marzuki. Yayasan Dana Pensiun Pegawai Perum Astek, pemilik 100 persen saham Nayaka, juga langsung mengirimkan pernyataan maaf kepada Menteri Keuangan. Yang belum jelas, kenapa kuasa anggota Nayaka melakukan penawaranan "gila" itu. Baik Edward maupun Ketua Yayasan Dana Pensiun Astek Basarudin, S.H., mengunci mulut rapat-rapat ketika ditanya soal ini. Menurut sebuah sumber, kelakuan Nayaka itu adalah buntut kekecewaan mereka. Seperti biasa, tiap kali ada saham baru masuk bursa, selalu ada "konsorsium" pialang yang diberi tugas menjaga agar harga tak terlalu jatuh. Bahkan kalau bisa terbang setinggi mungkin. Nah, Nayaka, yang merasa sudah menjalankan tugas dengan baik -- lewat harga Rp 11.000 yang dibikinnya -- ternyata tak bisa menjual kembali semua saham yang sudah dibelinya. "Akibatnya, ya, harga dibanting," kata sumber ini. Persoalan lain adalah kriteria berat ringan hukuman. Soalnya, "dosa" yang mencelakakan Nayaka bukan baru sekali ini terjadi. Saham Astra pun pernah mengalami hal yang sama dua bulan lalu. Ketika pasar sedang pasang harga Rp 23.000 lebih, mendadak PT Danatama Makmur dan PT Adisurya Mahkota Sekurita membuat transaksi "edan" dengan harga Rp 16.85O. Hebatnya lagi, PT Danatama lalu melakukan transaksi tutup sendiri sebanyak seratus ribu saham lebih, dengan harga serendah itu. Transaksi ini dibatalkan Bapepam, namun PT Danatama saat itu cuma diperingatkan. "Soalnya, kejadiannya pada saat jam bursa," Marzuki menjelaskan. Ketentuan yang mengatur soal ini sebenarnya tercantum pada pasal 24 kode etik pialang. Di situ disebutkan, pialang harus memasang harga yang sesuai dengan etika perdagangan, Repotnya, yang dimaksud batasan etika perdagangan itu tak jelas. "Maksudnya, ya, kekuatan pasar," kata seorang pialang senior. Nah, harga Rp 6.000 yang dipasang Nayaka jelas jauh di bawah kekuatan pasar. Sedangkan buat Kwik Kian Gie, ekonom yang selalu mengkritik pasar modal, tindakan Nayaka tak bisa dibilang melanggar aturan permainan. "Karena untuk membentuk harga di pasar reguler, memang cuma butuh transaksi 500 saham, mekanismenya kan begitu," tuturnya. Nayaka sudah kehilangan izinnya. Ini juga membuat kecut para pialang. "Mestinya, orangnya saja dipecat, jangan perusa- haannya yang dibunuh," kata seorang broker. Tampaknya harapan itu tak bakal terkabul. Menurut Marzuki, perusahaan ditutup adalah untuk pelajaran agar pialang lain berhati-hati. Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus