GEJOLAK bunga pinjaman antar bank, yang terjadi tiga pekan lalu rupanya masih menghantui benak para bankir. Ketika itu, tidak sedikit bank yang kelabakan mencari rupiah karena tiba-tiba saja banyak konglomerat -- kemudian diikuti oleh pemilik uang perorangan -- menubruk dolar. Akibatnya, suku bunga pinjaman semalam alias overnight, meroket dari 12-13% menjadi 35%. Gejolak itu memang hanya tiga hari. Tapi di susul gejolak lain, yang sepintas sukar dipahami. Bagaimana tidak. Baru sekitar empat bulan suk bunga deposito turun mendadak pekan silam naik secara bertahap. Satu demi satu, bank-bank menaikkan suku bunga depositonya. Sampai awal pekan ini tercatat sepuluh bank yang menawarkan deposito dengan suku bunga lebih tinggi. Diawali oleh BRI (Bank Rakyat Indonesia) yang menaikkan bunga deposito antara 0,25% dan 1%. Maka, komposisi bunga deposito yang berjangka satu, tiga, enam, dan 12 bulan di bank ini masing-masing menjadi 15, 15,5, 15,75, dan 15,75%. Langkah ini kemudian diikuti oleh tidak kurang dari 10 bank swasta. Mulai dari bank papan atas, seperti Panin Bank dan BCA, hingga bank-bank papan bawah. Bank-bank baru bahkan lebih berani. Bank Indo Monex, misalnya, menawarkan bunga 1,5% per bulan untuk deposito berjangka 1 bulan, dan 1,6% untuk periode 3-12 bulan. Berkantor di Jalan Pasar Baru, Jakarta, bank ini juga memberikan bunga tabungan 17,4%, serta bunga untuk jasa giro 13,5%. Lain halnya Bank Anrico yang tidak menaikkan bunga -- maklum suku bunga depositonya sudah cukup tinggi, berkisar antara 17,5% dan 19,5%. "Saya yakin, gerakan menaikkan suku bunga ini akan diikuti oleh bank-bank swasta lainnya," kata seorang bankir yang tak mau disebutkan namanya. Pernyataan itu dibenarkan oleh Kukuh Basuki, Direktur Utama Bank BNI. Katanya Bank BNI tak lama lagi juga akan menaikkan suku bunga depositonya. Aneh? Sepintas. memang aneh. Coba saja, dari kondisi yang dikatakan overliquid, diikuti perebutan pinjaman yang seru antarbank -- menyebabkan bunga pinjaman satu malam melejit -- lalu suku bunga deposito bergerak naik. Gejala terakhir ini cuma bisa diartikan sebagai upaya bank untuk menangguk lebih banyak dana dari masyarakat. Apakah ini juga berarti bahwa bank-bank itu kekurangan likuiditas? Ternyata, tidak seluruhnya demikian. Silakan simak laporan keuangan bank per 31 Maret lalu. Bank-bank swasta, terutama yang telah go public, terlihat sangat likuid. Konon, merekalah yang terjun sebagai pemasok rupiah, ketika tiga pekan lalu banyak bank kekurangan dana. Bank Internasional Indonesia (BII) juga memiliki dana encer -- berupa deposito, valuta asing, surat berharga, kas, serta giro pada bank lain -- sebesar Rp 791,1 milyar. Begitu pula BCA, Lippo, dan Bank Duta. Mereka cukup likuid dengan kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek di atas Rp 500 milyar. "Suasana kaya" juga tercermin di kocek bank-bank pemerintah. BBD dan BDN, memiliki dana nganggur masing-masing Rp 750 milyar. Sedangkan Bank BNI, BRI, dan Bank Ekspor Impor Indonesia boleh berbangga dengan keenceran di atas Rp 1,4 trilyun. "Banyak bank, termasuk kami, saat ini mengalami kelebihan likuiditas." kata Kiki Andries, manajer treasury BII. Lantas, mengapa masih bernafsu menyedot rupiah? Menurut Kukuh karena saat ini semua bank sedang berjaga-jaga untuk menghadapi "aksi" penarikan kredit likuiditas oleh Bank Indonesia. Hingga saat ini, kredit likuiditas yang disalurkan BI diperkirakan lebih dari Rp 16 trilyun. Paling banyak adalah kredit ekspor sekitar Rp 3 trilyun, yang akhir Juli ini akan ditarik seluruhnya dari peredaran. Itulah sebabnya, banyak bank getol menimbun dana. Termasuk Bank BNI, yang tahun ini wajib mengembalikan kredit likuiditas sebesar Rp 800 milyar. "Situasi seperti ini akan terus berlanjut hingga tahun depan," kata Kukuh. Dari sini, tampak jelas bahwa baik bank pemerintah maupun swasta tidak ingin pamornya turun di mata bank sentral. Bahkan, kata Kukuh, untuk memenuhi kewajiban membayar tepat pada waktunya, "Tidak sedikit bank yang agak mengerem penyaluran kredit mereka. Tapi BNI tidak melakukan itu." Lippobank bagaimana? "Kami sekarang lebih selektif dalam menyalurkan kredit," kata Laksamana Sukardi, Direktur Pelak- sana Lippo. Memang, banyak bankir yang seperti menghadapi buah simalakama. Di satu sisi sesuai dengan Paket Januari, mereka harus mengembalikan kredit likuiditas yang murah kepada BI. Di sisi lain, permintaan kredit terus saja meningkat. Laksamana lalu menunjuk bisnis properti yang sedang boom. "Sekarang, mana ada pengusaha yang bisa tenang kalau melihat ada tanah kosong. Pasti mereka langsung tubruk," katanya. Nah, untuk "menubruk", mereka harus mengajukan kredit ke bank. Belum lagi kredit mobil, yang saat ini sedang "gebyar- gebyar". Di Lippo saja, kata Laksamana, hanya 60% dari permintaan kredit yang bisa dipenuhi -- maklum, enam bulan terakhir ini, permintaan kredit naik sekitar 30%. Wajarlah bila Lippo , ikut menaikkan bunga deposito. Ini bukan untuk menghimpun dana masyarakat semata, tapi juga untuk mempertahankan deposito yang sudah di tangan. Pasalnya, kenaikan suku bunga deposito yang dilakukan oleh bank pemerintah, mau tidak mau, akan mengancam bank swasta. Nah, kalau bank swasta dan bank pemerintah sama bunganya, "Jelas, nasabah akan memindahkan uang ke bank pemerintah. Mereka ini kan lebih dipercaya," demikian Laksamana. Tapi BII milik Eka Tjipta Widjaja tampaknya belum terbawa latah. Alasannya, selain rupiah yang dimiliki sangat berlim- pah, "Bunga yang kami tawarkan toh masih di atas BRI," kata Kiki Andries. Pada saat yang sama, kredit yang disalurkan BII naik sekitar 84%. Lantas, apa kata bank sentral tentang ulah "anak asuhnya" itu? "Kegiatan menyedot rupiah dengan meningkatkan suku bunga itu wajar," kata Dr. Syahrir Sabirin, Direktur Valuta Asing & Giralisasi BI. Alasannya, selain untuk mengembalikan kredit likuiditas, tindakan itu dilakukan untuk menyelaraskan posisi dengan tingkat bunga di luar negeri, yang belakangan ini juga naik. Budi Kusumah, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini