RUPANYA Bustanil Arifin, yang sarjana hukum itu, lagi rajin
membersihkan instansi yang dipimpinnya dengan sapu hukum. Kasus
drs. T. Suyatno, bekas Kepala Subdolog Tanjungpinang yang
disidangkan sejak 18 April lalu, seperti dilaporkan berikut ini
jelas tak seramai kasus Budiadji dkk yang dan Samarinda. Tak
pula ada hakim yang sengaja didatangkan dari Jakarta. Cukup
Mahyuddin SH, ketua pengadilan Negeri Tanjungpinang sebagai
hakim ketua, didampingi R. Subagio Prasctyo Sll dan Santon
Napiupulu SH sebagai hakim-hakim anggota.
Sedang sebagai jaksa penuntut, mengugat perkara ini pernah
sedikit kusut masai (TEMPO, 4 Desember 1976), ditunjuk orang
dari Kejaksaan Tinggi Riau sendiri, yaitu Kabag Inspektorat,
Ibrahim Laconi SH. Sebagai jaksa pengganti diambil dari
Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, Binsar Siahaan SH.
Perkaranya sendiri mungkin menarik untuk diikuti. Apalagi,
dibandingkan dengan kasus-kasus di Dolog Kaltim, ternyata ada
beberapa hal yang rada mirip kalau tidak malah semodel benar.
Seperti cara mengeluarkan beras dari gudang tanpa menggunakan DO
(delivey order) yang sebenarnya. Kalau di Kaltim dikenal istilah
OPS (Order Pemindahan Stok) ciptaan Makka Malik, maka di
Tanjungpinang ada pula istilah DOS (Delivery Order 'Sementara').
Bedanya, kalau OPS Makka distensil, DOS Suyatno dicetak rapi,
persis DO asli. Menurut tuduhan jaksa dengan DOS-DOS inilah
antara lain Suyatno mengeluarkan beras dari gudang untuk
kepentingan para relasinya. Yaitu beberapa penyalur secara
kredit. Jumlahnya tak terbatas, pun jangka waktu pembayaran tak
ditentukan kapan.
Task Force
Cara lain yang menurut jaksa sempat digunakan Suyatno buat
bermain-main dengan beras itu, adalah pengeluaran dengan
predikat rask frce. Caranya pun tidak seperti aturan Bulog.
Akibatnya, dengan sistim DOS dan task force itu, lebih dari 645
ton beras raib, dan kalau dinilai dengan rupiah, lebih dari Rp
53 juta. Praktek ini berlangsung sejak Pebruari sampai Mei 1975.
Sementara uang Hasil Penjualan Beras (HPB) dari DOS-DOS kredit
itu, tak pula distor oleh Suyatno ke Bank Rakyat Indonesia (BRI)
yang ditetapkan, tapi digunakan buat kepentingan-kepentingan
yang sulit dipertanggungjawabkan.
Maka Jaksa Ibrahim Laconi SH menganggap, Suyatno telah melenggar
pasal 1 ayat 1 sub ajo, pasal 28 UU Anti Korupsi 1971. Ini
tuduhan primer. Sedangkan pada tuduhan subsider, Suyatno yang
sudah pernah dihukum karena menabrak sampai mati seorang bocah
berusia 10 tahun dan diganjar hukuman percobaan 3 bulan
dipersalahkan juga melanggar pasal 1 ayat 1 sub b jo pasal 28 UU
yang sama. Malah tak cukup dengan itu, tuduhan lebih subsider
lagi diturunkan juga, yaitu pasal 372 KUHP. Maksimal ia bisa
kena hukuman seumur hidup bagi tuduhan pertama dan kedua, dan 4
tahun bagi tuduhan ketiga. Tapi masih untung, ia tak dipusingkan
oleh tuduhan subversi sebagai halnya para orang beras Kaltim.
Ternyata, Suyatno, yang sudah ditahan sejak September 1976 di
RTM Pekanbaru dan kemudian dipindahkan ke RTM Tanjungpinang,
memang tak mau banyak cingcong. Sembari menegakkan kepala, ia
membenarkan apa yang dituduhkan. Cuma ia mencoba berkelit
sedikit dalam soal jumlah uang yang dituduhkan sebagai
dimanfaatkannya bagi kepentingan dirinya. "Tak sampai Rp 20
juta", katanya kepada Hakim.
Lewat catatan yang dibuatnya di sehelai kertas kecil, ia
menyatakan dari uang yang Rp 53 juta lebih itu, sejumlah Rp 20
juta lebih belum dilunasi para penyalur yang diberinya kredit.
Lalu ada Rp 5 juta lagi dibenamkannya buat investasi bagi
kepentingan kantor. Misalnya pembangunan gedung SSB untuk
Subdolog, inventaris kantor, honor karyawan harian, dan macam-
macam kebijaksanaan lainnya selama ia menjabat Kepala Sub Dolog
dari 1972 sampai akhir 1975.
Belum lagi bantuan buat pengaspalan jalan di Tg. Unggat, yang
menurutnya atas permintaan pihak Pemda. Dan lain-lain bantuan
buat urusan umum. Tapi tiba-tiba terdakwa tersentak, karena
hakim menanyakan semua bukti dari pengeluaran yang disebutkannya
itu. Sebagai sarjana ekonomi perusahaan rupanya ia telah lupa
segala urusan administrasi. Sehingga angka-angka yang semula
dapat membebaskannya dari sebagian beban, sekonyong-konyong
sirna. Sebab selain tanda-tanda bukti tak tersimpan lagi, pun
semua kebijaksanaannya menggunakan uang HPB itu, tak secebis pun
mendapat restu dari atasannya. Dalam kondisi terjepit begitu,
sembari melepas nafas panjang, terdakwa mengangguk. "Semua
menjadi tanggung jawab saya, pak Hakim", ujarnya.
Angka Siapa?
Tapi berapa sebenarnya jumlah beras yang dinyatakan hilang dari
stok selama Sub Dolog Tanjungpinang itu dikemudikan Suyatno?
Jaksa menyodorkan angka 645 ton lebih, yang katanya digali dari
hasil pemeriksaan Margono SH, Kepala biro penyaluran Dolog Riau
tangan kanan HO Tasno, Kepala Dolog dalam tugas meneliti raibnya
tonan beras itu. Tapi, surat Bulog yang ditandatangani Bustanil
Arifin sendiri. yang berisi klaim atas ketekoran itu, menyajikan
pula jumlah lain: 817 ton lebih. Ini hasil pemeriksaan drs Imron
Lubis, Inspektur Muda Bulog, yang ditempatkan di Dolog Riau.
Angka-angka Imron itulah yang dilaporkan Tasno ke Jakarta, dan
kemudian, sekitar Agustus 1975 menyebulkan surat klaim itu.
Pemeriksaan Lubis dibuat Agustus 1975, sementara Margono sekitar
Desember 1975. Lalu masih ada angka lain tentang jumlah beras
yang hilang itu. yang laporannya dibuat oleh SM Hutauruk Kepala
Seksi Penyaluran Sub Dolog Tanjungpinang bulan Pebruari 1976.
Jumlahnya 791 ton lebih. Keadaan angka menjadi tambah simpang
siur. Karena setelah diusut-usut jauh sebelum Imron dan Margono
maupun Hutauruk mengecek beras hilang itu, justru sudah ada
petugas Dolog Riau lainnya yang memeriksa, yaitu BL Sinaga,
Kepala Bagian Persediaan dan Perawatan Harga Dolog Pekanbaru.
Angkanya, adalah 771 ton lebih. Ini hasil pemeriksaan buan Juni
1975, sebulan sesudah ketekoran beras itu tercium.
Para hakim terpaksa geleng-geleng kepala. "Kok ada sekian banyak
perbedaan, padahal yang diperiksa justru beras yang itu-itu
juga?" tanya seorang dari mereka. Para saksi, baik Margono
sebagai saksi I, maupun Hutauruk, saksi ke II, sama tak dapat
menjelaskan. Namun mereka bertahan, bahwa perhitungan mereka
masing-masinglah yang tepat. Sandaran Margono, karena ia
memeriksa semua kartu stok yang ada di gudang, kemudian
mencocokkannya dengan pembukuan DO-DO. Sementara Hutauruk, yang
menurutnya secara rutin selalu melakukan pemeriksaan stok
gudang, mendasarkan perhitungannya setelah setiap partai kapal
habis dikeluarkan dari gudang. Lalu tak jelas cara apa dipakai
BL Sinaga dan bagaimana pula cara Imron Lubis.
Anehnya, HO Tasno sendiri, sebagai ladolog yang dihadapkan
sebagai saksi ke-3, justru ragu laporan mana yang sebenarnya
betul. Ia sendiri tak pernahsecara langsung memeriksa
administrasi dan isi gudang Sub Dolog tersebut. Tapi akhirnya
kepada majlis ia menyatakan: "Laporan Hutauruk lah yang dianggap
benar". Sebab, beras yang harus dihitung itu sudah selesai
dikeluarkan semua dari gudang. Tapi ajaibnya, justru klaim Bulog
tetap bertahan pada angka 817 ton lebih. Semua laporan yang
dibuat kemudian dan. menurut Tasno telah dikirimkan ke KaBulog,
sarnpai saat ini tak mendapat tanggapam Tak heran kalau jaksa
penuntut pun ikut pusing melihat taburan angka-angka ini.
Ibrahim tak tahu, kalau dasar angka jumlah beras yang
dituntutnya itu, justru bukan laporan terakhir, yang pernah
dikirim Dolog Riau ke Bulog, sehingga lewat persidangan itu ia
perlu meminta bukti laporan. Padahal laporan itu dibuat dan
dikirimkan, jauh sebelum perkara itu disalurkan ke pengadilan.
Harga
Soal aneh-aneh lain yang menambah bertele-telenya sidang itu
masih cukup banyak. Ambil soal harga klaim Bulog. Surat yang
ditandatangani Ka Bulog Bustanil Arifin, Agustus 1975,
menyebutkan harga per kg yang harus dilunasi oleh Suyatno adalah
Rp 128,90. Jadi besarnya jumlah klaim yang 817 ton lebih itu,
menjadi sekitar Rp 105 juta. Tapi Maret 1976, muncul pula surat
Bulog kedua yang menuruhkan harga klaim itu menjadi Rp 83 per
kg, sehingga jumlah klaim turun menjadi Rp 67 juta lebih.
Penurunan ini diakui oleh tertuduh serta para saksi, adalah atas
usul HO Tasno. Alasannya menurut Tasno di muka sidang, adalah
karena kejadian penyelewengan itu justru pada tahun 1974/1975 di
mana harga buku cuma Rp 83 per kg. Sedang harga buku Rp 128,90
itu adalah harga buku tahun 1975/1976. Selain itu mengingat
segala harta benda dan kekayaan Suyatno. Kalaupun semuanya
disita habis tal dapat meneapai jumlah yang diklaim. Maka Tasno
mengusulkan penurunan harga. Ternyata diterima. Meskipun surat
kedua yang muncul Januari 1976 itu tak lagi ditandatangani oleh
Ka Bulog, tapi oleh Salimun, pejabat teras keuangan Bulog. Cuma
syaratnya, klaim itu harus dibereskan dalam tempo 3 bulan, yaitu
Maret 1976.
Anehnya usul Tasno yang disetujui Bulog itu justru bertentangan
dengan bukti yang ada, yaitu DO-DO "sementara" yang sudah
dikeluarkan. Di DOSDOS itu jelas tertera harga per kg berkisar
antara Rp 109 sampai Rp 115 per kg. Padahal beras itu disalurkan
justru pada tahun yang katanya harga buku Rp 83 itulah. Seperti
kredit yang diberikan kepada Fa. Tri Jaya sejumlah 300 ton,
harga rata-rata Rp 111 per kg. Jadi kelebihan harga yang
rata-rata Rp 20 per kg itu dikemanakan? Yang lebih dipersoalkan
majelis justru semua DO Kredit itu tak ada mencantumkan harga di
bawah Rp 100 per kg. Jadi ada sekian puluh juta uang HPB beras
ratusan ton itu tak tahu alamatnya. Belum lagi akan diteliti
bahwa menurut pengakuan saksi Hutauruk, justru main kredit itu
sudah berlangsung tahun 1973, dan daam catatannya mencapai
jumlah 11.500 ton, dengan harga jual rata-rata Rp 109. Wah.
Berapa yang sempat disetor dan dengan harga berapa? Sebab,
setelah redit dilunasi baru kemudian dibuat DO asli dengan harga
setoran ke BRI, yang cuma diketahui Suyatno cs.
Hampir 10 menit HO Tasno, yang sekarang sudah dipindahkan ke
staf DoIog Jawa Barat, termenung memikirakn permainan beras oleh
Suyatno, bekas bawahan dan iparnya pula. Sementara, Suyatno
tampak tersenyum-senyum saja. Akhirnya Tasno menjawab juga bahwa
harga Rp 83 itu adalah keputusan Bulog, bukan kehendaknya
sendiri. Hakim Mahyuddin nyaris naik pitam. "Soal Bulog mau
harga Rp 83 terserah Bulog. Tapi di sini bukan urusan Bulog,
tapi urusan majelis hakim", kata Hakim Ketua itu. "Majelis
kepingin tahu berapa sebenarnya kekayaan negara yang harus
diselamatkan itu", kata Ketua lagi.
Keganjilan lain muncul dalam soal penyelesaian di luar
gelanggang sidang yang sudah dilakukan pihak Dolog Riau sebagai
realisasi perintah Ka Bulog, Agustus 1975. Margono SH ditugasi
Tasno mengutip sisa-sisa kredit beras dari beberapa penyalur
yang menunggak. Dari Fa. Duta Karya, berhasil didapat Rp 6 juta
sebagai pembayaran 50 ton beras. Tapi dari Fa. Tri Jaya ternyata
hampa. Abba alias Abbas, pengusaha yang kesohor lihay dan
penanggung jawab utama kredit Fa. Tri Jaya yang masih 250 ton
--firma yang paling banyak menelan beras Bulog selama ini -- tak
sanggup membayarnya. Terpaksa digiring untuk membuat perjanjian
dalam bentuk akte notaris. Sebab kreditnya sudah lebih dari 2
tahun. Fa. Tri Jaya berjanji mengangsur tiap bulan Rp 500 ribu,
dan sebagai jaminan diserahkan 2 pintu rumah/toko milik Abbas.
Cuma anehnya, jaminan itu oleh Margono tak diminta surat-surat
bukti hak miliknya. "Jadi apa yang saudara pegang dari jaminan
itu", tanya hakim kepada Margono. "Masak saudara sebagai sarjana
hukum tak tahu tata cara menetapkan jaminan", lanjut hakim.
Sementara itu tertuduh Suyatno yang selalu tampil di persidangan
dengan necis, berdasi dan berpeci baru plus jam tangan Rolex
yang masih kuning mengkilat, tampak bagai tak terpengaruh
apa-apa. Ia santai, dan rajin tersenyum. Dari 9 kali persidangan
maraton siang malam itu, hanya pada sidang-sidang hari I dan II
saja terdakwa agak repot. Namun, seperti yang diutarakannya
kepada TEMPO di luar sidang, ia memang tak mau banyak cingcong,
dan malah tak merasa perlu pakai pembela. "Saya bisa bela diri
saya sendiri", katanya kepada koresponden TEMPO Rida K. Liamsi.
Di luar sidang, Suyatno bicara banyak. Terutama kepada
kawan-kawan dekatnya. Ia tampaknya merasa kurang senang atas
tindakan sementara pejabat-pejabat di Bulog. Banyak harta
bendanya diambil alih dan dijual tanpa setahunya. Seperti
rumahnya di Jalan Rajawali Jakarta, yang ditaksir berharga Rp 35
juta. Sebuah mobil Toyota, yang dijual oleh Kasubdolog
Tanjungpinang yang baru, yang ia tak tahu berapa persisnya harga
penjualan itu. Cuma disebut Rp 1,6 juta lebih. Pun cara
pemberhentiannya, yang akhir Desember 1975 dinyatakan "dipecat
dengan tidak hormat". Ia kabarnya mengajukan protes dan akan
membongkar semua rahasia yang ada padanya. Sampai akhirnya
keluar surat keputusan yang kedua yang cuma menyatakan ia
"diberhentikan".
Tampaknya Majelis Hakim terpaksa kerja keras buat mendapatkan
bukti-bukti, dan menggali macam-macam keanehan yang muncul di
sidang itu. Cuma, karena alasan Pemilu, sidang terpaksa
ditangguhkan dan mungkin 16 Mei 1977 nanti baru dilanjutkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini