Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Angka-Angka Gaib Di Riau

Kadolog Sumatera Utara, Suyatno, diadili. Ia dituduh bertanggung jawab terhadap hilangnya beras di gudang dolog Sumatera Utara. Ia mengaku sebagian di gunakannya untuk honor karyawan. (hk)

7 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUPANYA Bustanil Arifin, yang sarjana hukum itu, lagi rajin membersihkan instansi yang dipimpinnya dengan sapu hukum. Kasus drs. T. Suyatno, bekas Kepala Subdolog Tanjungpinang yang disidangkan sejak 18 April lalu, seperti dilaporkan berikut ini jelas tak seramai kasus Budiadji dkk yang dan Samarinda. Tak pula ada hakim yang sengaja didatangkan dari Jakarta. Cukup Mahyuddin SH, ketua pengadilan Negeri Tanjungpinang sebagai hakim ketua, didampingi R. Subagio Prasctyo Sll dan Santon Napiupulu SH sebagai hakim-hakim anggota. Sedang sebagai jaksa penuntut, mengugat perkara ini pernah sedikit kusut masai (TEMPO, 4 Desember 1976), ditunjuk orang dari Kejaksaan Tinggi Riau sendiri, yaitu Kabag Inspektorat, Ibrahim Laconi SH. Sebagai jaksa pengganti diambil dari Kejaksaan Negeri Tanjungpinang, Binsar Siahaan SH. Perkaranya sendiri mungkin menarik untuk diikuti. Apalagi, dibandingkan dengan kasus-kasus di Dolog Kaltim, ternyata ada beberapa hal yang rada mirip kalau tidak malah semodel benar. Seperti cara mengeluarkan beras dari gudang tanpa menggunakan DO (delivey order) yang sebenarnya. Kalau di Kaltim dikenal istilah OPS (Order Pemindahan Stok) ciptaan Makka Malik, maka di Tanjungpinang ada pula istilah DOS (Delivery Order 'Sementara'). Bedanya, kalau OPS Makka distensil, DOS Suyatno dicetak rapi, persis DO asli. Menurut tuduhan jaksa dengan DOS-DOS inilah antara lain Suyatno mengeluarkan beras dari gudang untuk kepentingan para relasinya. Yaitu beberapa penyalur secara kredit. Jumlahnya tak terbatas, pun jangka waktu pembayaran tak ditentukan kapan. Task Force Cara lain yang menurut jaksa sempat digunakan Suyatno buat bermain-main dengan beras itu, adalah pengeluaran dengan predikat rask frce. Caranya pun tidak seperti aturan Bulog. Akibatnya, dengan sistim DOS dan task force itu, lebih dari 645 ton beras raib, dan kalau dinilai dengan rupiah, lebih dari Rp 53 juta. Praktek ini berlangsung sejak Pebruari sampai Mei 1975. Sementara uang Hasil Penjualan Beras (HPB) dari DOS-DOS kredit itu, tak pula distor oleh Suyatno ke Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang ditetapkan, tapi digunakan buat kepentingan-kepentingan yang sulit dipertanggungjawabkan. Maka Jaksa Ibrahim Laconi SH menganggap, Suyatno telah melenggar pasal 1 ayat 1 sub ajo, pasal 28 UU Anti Korupsi 1971. Ini tuduhan primer. Sedangkan pada tuduhan subsider, Suyatno yang sudah pernah dihukum karena menabrak sampai mati seorang bocah berusia 10 tahun dan diganjar hukuman percobaan 3 bulan dipersalahkan juga melanggar pasal 1 ayat 1 sub b jo pasal 28 UU yang sama. Malah tak cukup dengan itu, tuduhan lebih subsider lagi diturunkan juga, yaitu pasal 372 KUHP. Maksimal ia bisa kena hukuman seumur hidup bagi tuduhan pertama dan kedua, dan 4 tahun bagi tuduhan ketiga. Tapi masih untung, ia tak dipusingkan oleh tuduhan subversi sebagai halnya para orang beras Kaltim. Ternyata, Suyatno, yang sudah ditahan sejak September 1976 di RTM Pekanbaru dan kemudian dipindahkan ke RTM Tanjungpinang, memang tak mau banyak cingcong. Sembari menegakkan kepala, ia membenarkan apa yang dituduhkan. Cuma ia mencoba berkelit sedikit dalam soal jumlah uang yang dituduhkan sebagai dimanfaatkannya bagi kepentingan dirinya. "Tak sampai Rp 20 juta", katanya kepada Hakim. Lewat catatan yang dibuatnya di sehelai kertas kecil, ia menyatakan dari uang yang Rp 53 juta lebih itu, sejumlah Rp 20 juta lebih belum dilunasi para penyalur yang diberinya kredit. Lalu ada Rp 5 juta lagi dibenamkannya buat investasi bagi kepentingan kantor. Misalnya pembangunan gedung SSB untuk Subdolog, inventaris kantor, honor karyawan harian, dan macam- macam kebijaksanaan lainnya selama ia menjabat Kepala Sub Dolog dari 1972 sampai akhir 1975. Belum lagi bantuan buat pengaspalan jalan di Tg. Unggat, yang menurutnya atas permintaan pihak Pemda. Dan lain-lain bantuan buat urusan umum. Tapi tiba-tiba terdakwa tersentak, karena hakim menanyakan semua bukti dari pengeluaran yang disebutkannya itu. Sebagai sarjana ekonomi perusahaan rupanya ia telah lupa segala urusan administrasi. Sehingga angka-angka yang semula dapat membebaskannya dari sebagian beban, sekonyong-konyong sirna. Sebab selain tanda-tanda bukti tak tersimpan lagi, pun semua kebijaksanaannya menggunakan uang HPB itu, tak secebis pun mendapat restu dari atasannya. Dalam kondisi terjepit begitu, sembari melepas nafas panjang, terdakwa mengangguk. "Semua menjadi tanggung jawab saya, pak Hakim", ujarnya. Angka Siapa? Tapi berapa sebenarnya jumlah beras yang dinyatakan hilang dari stok selama Sub Dolog Tanjungpinang itu dikemudikan Suyatno? Jaksa menyodorkan angka 645 ton lebih, yang katanya digali dari hasil pemeriksaan Margono SH, Kepala biro penyaluran Dolog Riau tangan kanan HO Tasno, Kepala Dolog dalam tugas meneliti raibnya tonan beras itu. Tapi, surat Bulog yang ditandatangani Bustanil Arifin sendiri. yang berisi klaim atas ketekoran itu, menyajikan pula jumlah lain: 817 ton lebih. Ini hasil pemeriksaan drs Imron Lubis, Inspektur Muda Bulog, yang ditempatkan di Dolog Riau. Angka-angka Imron itulah yang dilaporkan Tasno ke Jakarta, dan kemudian, sekitar Agustus 1975 menyebulkan surat klaim itu. Pemeriksaan Lubis dibuat Agustus 1975, sementara Margono sekitar Desember 1975. Lalu masih ada angka lain tentang jumlah beras yang hilang itu. yang laporannya dibuat oleh SM Hutauruk Kepala Seksi Penyaluran Sub Dolog Tanjungpinang bulan Pebruari 1976. Jumlahnya 791 ton lebih. Keadaan angka menjadi tambah simpang siur. Karena setelah diusut-usut jauh sebelum Imron dan Margono maupun Hutauruk mengecek beras hilang itu, justru sudah ada petugas Dolog Riau lainnya yang memeriksa, yaitu BL Sinaga, Kepala Bagian Persediaan dan Perawatan Harga Dolog Pekanbaru. Angkanya, adalah 771 ton lebih. Ini hasil pemeriksaan buan Juni 1975, sebulan sesudah ketekoran beras itu tercium. Para hakim terpaksa geleng-geleng kepala. "Kok ada sekian banyak perbedaan, padahal yang diperiksa justru beras yang itu-itu juga?" tanya seorang dari mereka. Para saksi, baik Margono sebagai saksi I, maupun Hutauruk, saksi ke II, sama tak dapat menjelaskan. Namun mereka bertahan, bahwa perhitungan mereka masing-masinglah yang tepat. Sandaran Margono, karena ia memeriksa semua kartu stok yang ada di gudang, kemudian mencocokkannya dengan pembukuan DO-DO. Sementara Hutauruk, yang menurutnya secara rutin selalu melakukan pemeriksaan stok gudang, mendasarkan perhitungannya setelah setiap partai kapal habis dikeluarkan dari gudang. Lalu tak jelas cara apa dipakai BL Sinaga dan bagaimana pula cara Imron Lubis. Anehnya, HO Tasno sendiri, sebagai ladolog yang dihadapkan sebagai saksi ke-3, justru ragu laporan mana yang sebenarnya betul. Ia sendiri tak pernahsecara langsung memeriksa administrasi dan isi gudang Sub Dolog tersebut. Tapi akhirnya kepada majlis ia menyatakan: "Laporan Hutauruk lah yang dianggap benar". Sebab, beras yang harus dihitung itu sudah selesai dikeluarkan semua dari gudang. Tapi ajaibnya, justru klaim Bulog tetap bertahan pada angka 817 ton lebih. Semua laporan yang dibuat kemudian dan. menurut Tasno telah dikirimkan ke KaBulog, sarnpai saat ini tak mendapat tanggapam Tak heran kalau jaksa penuntut pun ikut pusing melihat taburan angka-angka ini. Ibrahim tak tahu, kalau dasar angka jumlah beras yang dituntutnya itu, justru bukan laporan terakhir, yang pernah dikirim Dolog Riau ke Bulog, sehingga lewat persidangan itu ia perlu meminta bukti laporan. Padahal laporan itu dibuat dan dikirimkan, jauh sebelum perkara itu disalurkan ke pengadilan. Harga Soal aneh-aneh lain yang menambah bertele-telenya sidang itu masih cukup banyak. Ambil soal harga klaim Bulog. Surat yang ditandatangani Ka Bulog Bustanil Arifin, Agustus 1975, menyebutkan harga per kg yang harus dilunasi oleh Suyatno adalah Rp 128,90. Jadi besarnya jumlah klaim yang 817 ton lebih itu, menjadi sekitar Rp 105 juta. Tapi Maret 1976, muncul pula surat Bulog kedua yang menuruhkan harga klaim itu menjadi Rp 83 per kg, sehingga jumlah klaim turun menjadi Rp 67 juta lebih. Penurunan ini diakui oleh tertuduh serta para saksi, adalah atas usul HO Tasno. Alasannya menurut Tasno di muka sidang, adalah karena kejadian penyelewengan itu justru pada tahun 1974/1975 di mana harga buku cuma Rp 83 per kg. Sedang harga buku Rp 128,90 itu adalah harga buku tahun 1975/1976. Selain itu mengingat segala harta benda dan kekayaan Suyatno. Kalaupun semuanya disita habis tal dapat meneapai jumlah yang diklaim. Maka Tasno mengusulkan penurunan harga. Ternyata diterima. Meskipun surat kedua yang muncul Januari 1976 itu tak lagi ditandatangani oleh Ka Bulog, tapi oleh Salimun, pejabat teras keuangan Bulog. Cuma syaratnya, klaim itu harus dibereskan dalam tempo 3 bulan, yaitu Maret 1976. Anehnya usul Tasno yang disetujui Bulog itu justru bertentangan dengan bukti yang ada, yaitu DO-DO "sementara" yang sudah dikeluarkan. Di DOSDOS itu jelas tertera harga per kg berkisar antara Rp 109 sampai Rp 115 per kg. Padahal beras itu disalurkan justru pada tahun yang katanya harga buku Rp 83 itulah. Seperti kredit yang diberikan kepada Fa. Tri Jaya sejumlah 300 ton, harga rata-rata Rp 111 per kg. Jadi kelebihan harga yang rata-rata Rp 20 per kg itu dikemanakan? Yang lebih dipersoalkan majelis justru semua DO Kredit itu tak ada mencantumkan harga di bawah Rp 100 per kg. Jadi ada sekian puluh juta uang HPB beras ratusan ton itu tak tahu alamatnya. Belum lagi akan diteliti bahwa menurut pengakuan saksi Hutauruk, justru main kredit itu sudah berlangsung tahun 1973, dan daam catatannya mencapai jumlah 11.500 ton, dengan harga jual rata-rata Rp 109. Wah. Berapa yang sempat disetor dan dengan harga berapa? Sebab, setelah redit dilunasi baru kemudian dibuat DO asli dengan harga setoran ke BRI, yang cuma diketahui Suyatno cs. Hampir 10 menit HO Tasno, yang sekarang sudah dipindahkan ke staf DoIog Jawa Barat, termenung memikirakn permainan beras oleh Suyatno, bekas bawahan dan iparnya pula. Sementara, Suyatno tampak tersenyum-senyum saja. Akhirnya Tasno menjawab juga bahwa harga Rp 83 itu adalah keputusan Bulog, bukan kehendaknya sendiri. Hakim Mahyuddin nyaris naik pitam. "Soal Bulog mau harga Rp 83 terserah Bulog. Tapi di sini bukan urusan Bulog, tapi urusan majelis hakim", kata Hakim Ketua itu. "Majelis kepingin tahu berapa sebenarnya kekayaan negara yang harus diselamatkan itu", kata Ketua lagi. Keganjilan lain muncul dalam soal penyelesaian di luar gelanggang sidang yang sudah dilakukan pihak Dolog Riau sebagai realisasi perintah Ka Bulog, Agustus 1975. Margono SH ditugasi Tasno mengutip sisa-sisa kredit beras dari beberapa penyalur yang menunggak. Dari Fa. Duta Karya, berhasil didapat Rp 6 juta sebagai pembayaran 50 ton beras. Tapi dari Fa. Tri Jaya ternyata hampa. Abba alias Abbas, pengusaha yang kesohor lihay dan penanggung jawab utama kredit Fa. Tri Jaya yang masih 250 ton --firma yang paling banyak menelan beras Bulog selama ini -- tak sanggup membayarnya. Terpaksa digiring untuk membuat perjanjian dalam bentuk akte notaris. Sebab kreditnya sudah lebih dari 2 tahun. Fa. Tri Jaya berjanji mengangsur tiap bulan Rp 500 ribu, dan sebagai jaminan diserahkan 2 pintu rumah/toko milik Abbas. Cuma anehnya, jaminan itu oleh Margono tak diminta surat-surat bukti hak miliknya. "Jadi apa yang saudara pegang dari jaminan itu", tanya hakim kepada Margono. "Masak saudara sebagai sarjana hukum tak tahu tata cara menetapkan jaminan", lanjut hakim. Sementara itu tertuduh Suyatno yang selalu tampil di persidangan dengan necis, berdasi dan berpeci baru plus jam tangan Rolex yang masih kuning mengkilat, tampak bagai tak terpengaruh apa-apa. Ia santai, dan rajin tersenyum. Dari 9 kali persidangan maraton siang malam itu, hanya pada sidang-sidang hari I dan II saja terdakwa agak repot. Namun, seperti yang diutarakannya kepada TEMPO di luar sidang, ia memang tak mau banyak cingcong, dan malah tak merasa perlu pakai pembela. "Saya bisa bela diri saya sendiri", katanya kepada koresponden TEMPO Rida K. Liamsi. Di luar sidang, Suyatno bicara banyak. Terutama kepada kawan-kawan dekatnya. Ia tampaknya merasa kurang senang atas tindakan sementara pejabat-pejabat di Bulog. Banyak harta bendanya diambil alih dan dijual tanpa setahunya. Seperti rumahnya di Jalan Rajawali Jakarta, yang ditaksir berharga Rp 35 juta. Sebuah mobil Toyota, yang dijual oleh Kasubdolog Tanjungpinang yang baru, yang ia tak tahu berapa persisnya harga penjualan itu. Cuma disebut Rp 1,6 juta lebih. Pun cara pemberhentiannya, yang akhir Desember 1975 dinyatakan "dipecat dengan tidak hormat". Ia kabarnya mengajukan protes dan akan membongkar semua rahasia yang ada padanya. Sampai akhirnya keluar surat keputusan yang kedua yang cuma menyatakan ia "diberhentikan". Tampaknya Majelis Hakim terpaksa kerja keras buat mendapatkan bukti-bukti, dan menggali macam-macam keanehan yang muncul di sidang itu. Cuma, karena alasan Pemilu, sidang terpaksa ditangguhkan dan mungkin 16 Mei 1977 nanti baru dilanjutkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus