ALISON, bukan nama sebenarnya, tak menyangka dijaili ayahnya sendiri. Suatu hari gadis bongsor yang berusia sembilan tahun itu diajak ayahnya dengan lemah lembut untuk mandi bersama-sama. Ia menurut. Ayahnya tak memaksa dan menakut nakuti. Usai mandi, si ayah meneruskan dengan main "dokter dokteran". Kesempatan sekali itu lama-lama menjadi kebiasaan. Gadis itu tak tahu perbuatannya benar ataukah salah. Yang diketahuinya, ia elah memberi kesenangan pada ayahnya. Sebelum ini Ayah kerap mabuk, karena istrinya suka keluar rumah dengan lelaki lain. Selesai mencumbu anaknya lalu Ayah mengingatkan, "Jangan ceritakan kepada siapa pun, nanti kita dimarahi dan keluarga kita berantakan." Indoktrinasi itu ampuh. Alison tutup mulut. Tapi lama-lama ia tidak bisa bungkam. Seperti dikutip koran The Straits Times akhir September barusan akhirnya Alison bercerita kepada ibunya. Kemudian ibu itu melapor kepada polisi. Alison adalah satu contoh. Kasus semacam itu meningkat setiap tahun. Menurut laporan Bagian Investigasi Kriminal Kepolisian Singapura, tahun silam terjadi 43 kasus dan sampai Agustus lalu sudah ditemukan 51 kasus. Jumlah ini bisa diindentifikasi karena orang tua mulai bersedia melaporkannya ke polisi. Rongrongan seksual yang menimpa anak di bawah usia sepuluh tahun itu dilakukan pada saat orang berangkat kerja -- antara tengah hari dan pukul 18.00. "Si jail itu," begitu kata polisi, "umumnya dikenal oleh sang anak, yaitu ayah, abangnya, tetangganya, dan teman dekat keluarga." Anak itu diganggu ketika dalam lift, di tangga rumah, sedang main di lorong apartemen, halaman sekolah, dan pekarangan. Gangguan semacam itu, menurut Anthony Yeo, Direktur Perawatan dan Konsultasi Anak, Singapura, bukan tergolong perkosaan yang menyakiti atau membuat anak ketakutan. Pelaku biasanya bersikap manis, dengan memberi mainan dan penganan sampai si bocah terbujuk. Bahaya makin besar jika si anak sendiri terseret arus dan menikmati permainan itu. Perlakuan itu tidak selalu berarti hubungan badani. Perbuatan -- yang di Singapura diancam hukuman sepuluh tahun penjara -- bisa berupa menyentuh bagian terlarang sampai menonton atau si ayah mengajak anaknya mandi bersama. Menurut Psikolog Dr Singgih D. Gunarsa, sejak usia tiga tahun, tanpa sadar anak sudah dapat merasakan rangsangan seksual. Jika rangsangan dilakukan terus-menerus maka tidak terkontrol. Dalam soal "itu" anak kecil belum mampu memakai akalnya dengan baik. Ia dikendalikan nalurinya, dan membuat anak lama-kelamaan menikmati perilaku orang dewasa itu. Namun, setelah peristiwa itu, biasanya bocah memilih mengunci mulutnya. "Karena ia ditekan rasa malu dan bingung. Ia tidak tahu apa yang dilakukan dan apa yang mesti diperbuat," kata Wong Sze Tai, Kepala Klinik Psikiater Anak di Singapura. Posisinya juga terjepit. Sebab, jika mengadu kepada ibunya, ia bisa dianggap berdusta atau dituduh mengarang cerita saja. Di saat itu batin bocah itu mengalami pergulatan hebat. "Ia mungkin ketakutan diserang perasaan bersalah, hingga menganggap dirinya kotor," kata Wong. Ia cemas apakah setelah peristiwa tadi tetap punya kawan. Dan apakah ia juga bakal hamil? Kekhawatiran yang menumpuk itu lambat laun berpengaruh pada kepribadiannya. Jika tak ada tempat pelampiasan, sang anak bisa depresi. Ia tumbuh jadi pemurung, atau karena sudah terbiasa melakukan nya, bisa pula hiperseksual. Anak seperti inilah yang punya problem ketika dewasa. Contoh itu menimpa pasien Yeo, yaitu seorang perempuan berusia 26 tahun, yang selalu menghindari lelaki. Perilaku itu membuat dirinya tertekan. Dalam konsultasi terungkap, rupanya di masa bocah ia dijaili abangnya sendiri. Ia menjadi malu dan menolak bercerita pada orang lain. Celakanya, rekaman peristiwa itu muncul terus mengganggunya. Ini yang membuatnya takut bergaul dengan lawan jenis. Ia ngeri peristiwa masa kecil itu terulang lagi. Terjadinya rongrongan seksual, menurut Singgih, salah satunya karena tekanan hidup. Problem yang tidak terpecahkan, lama-lama menumpuk. Lalu ia mencari objek pelampiasan, antara lain dengan melakukan keisengan pada bocah. Kenapa tidak dengan orang dewasa? "Jika pada anak, ia merasa bisa menunjukkan kegagahan. Lagi pula anak lebih mudah dikelabui," kata Ketua Yayasan Anak Indonesia ini. Karena gangguan seksual yang menimpa anak-anak, menurut Wong, adalah masalah serius. Maka, orang tua mesti peka melihat perubahan pada diri anaknya. Ini dapat ditilik, misalnya, kalau anak ketakutan berjumpa dengan orang yang sama. Atau, patut curiga melihat anak senang menyentuh bagian tertentu di tubuhnya, apalagi sampai kepergok sedang melakukan masturbasi. Cara mengatasinya bukan memarahi anak, tapi mengajaknya bicara baik-baik. Sebab kemarahan membuat anak ketakutan dan merasa bersalah. Yang penting: diberi pengertian bahwa ter jadinya peristiwa itu bukan berarti masa depannya remuk. Tapi jalan yang lebih baik lagi adalah mengajari anak menghindari yang semacam itu. Misalnya, menunjuk pada sebuah boneka sebelah mana yang tak boleh disentuh orang lain. Anak juga dilarang mengikuti orang tak dikenal meski diimingi barang kesukaannya. "Saya tahu, buat orang Asia sulit menerangkan soal seks kepada anaknya. Toh ini harus dilakukan. Ini bukan pendidikan seks. Ini adalah perlindungan terhadap kejailan seks," kata Wong. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini