KEMATIAN tetap menjadi misteri hingga kematian itu tiba. Tetapi ada lima mahasiswa kedokteran Universitas Chicago yang ingin menguak misteri itu melalui ilmu kedokteran. Nelson Wright (Kiefer Sutherland), mahasiswa paling ambisius di antara kawan-kawannya, melontarkan ide untuk mengalami kematian secara fisik. Caranya dengan mematikan detak jantung hingga monitor EKG (elektrokardiogram) -- monitor yang menunjukkan detak jantung -- menunjukkan garis lurus. "Setelah aku mengalami kematian fisik selama 15 menit, kalian bisa memompa jantungku atau menggunakan electroshock," bujuk Nelson kepada keempat temannya -- David Labraccio (Kevin Bacon), Joe Hurley (William Baldwin), Rachel Mannus (Julia Roberts), dan Randy Steckle (Oliver Platt). Keinginan Nelson untuk "mati" bukan hanya untuk menjawab rasa ingin tahunya tentang kematian, tapi ia juga menginginkan popularitas. Ambisi ini disadari keempat kawannya. Tapi tawaran gila itu toh dipenuhi mereka juga karena diam-diam keempat teman Nelson tersebut punya alasan masing masing untuk mencoba "mati". Percobaan gila itu pun dilakukan mereka pada tengah malam di sebuah ruang rumah sakit. "Ini gila... ini gila," desis Randy ketakutan. Ia satu-satunya mahasiswa yang mem bantu percobaan ini karena solidaritas persahabatan. Memang gila. Apalagi setelah melihat bagaimana Nelson "dimatikan" dengan menggunakan alat pendingin hingga temperatur tubuhnya di bawah nol derajat, layar monitor EKG lantas menunjukkan garis lurus. "Lima belas menit!" teriak Rachel. Maka, David segera menggunakan electroshock untuk "membangunkan" Nelson dari matinya. Ajaib! Nelson, yang sudah terbawa ke sebuah alam yang berbeda, tiba-tiba seperti tersedot kembali ke alam yang dikenalnya. Ia terbangun. Percobaan mereka ber hasil. Keberhasilan ini membuat David, Joe, dan Rachel, ingin merasakan petualangan mati itu. Dengan memperpanjang masa "kematian" itu menjadi 20 menit, ketiga mahasiswa tersebut mendapat gilirannya untuk menguak misteri kematian yang selama ini menghantui pikiran mereka. Tapi, setelah masing masing merasakan kematian fisik tersebut, ternyata ada "hantu" lain yang tak hentinya mengejar mereka. Itu disebabkan karena selama kematian fisik, mereka terlempar ke masa lalu yang pahit, kepada dosa-dosa yang pernah dilakukan terhadap orang-orang yang mereka cintai. Dalam kematian fisik itu, Nelson digambarkan seperti bertemu kembali dengan kawan masa kecilnya yang selalu diganggunya hingga tewas karena terjatuh dari pohon. Joel dihantui oleh gadis-gadis yang ditinggalkannya seenaknya. David dikejar-kejar oleh bayangan gadis kecil yang selalu diejeknya bermuka jelek. Rachel seperti bertemu dengan ayahnya yang meninggal karena kecelakaan mobil. Mahasiswa kedokteran yang merasa dirinya telah menguak misteri kematian itu malah menjadi korban fantasinya sendiri. Dan puncak keberhasilan film ini, selain ide ceritanya yang unik, adalah visualisasi fantasi tentang kematian itu sendiri. Fotografer Jan de Bont dan desainer Eugenio Zanetti adalah duet yang kompak dalam menggambarkan suasana "dunia kematian" yang suram, kelabu, dan sekaligus pencahayaan yang dramatis saat para tokoh "bangkit kembali" ke alam nyata. Sedangkan keistimewaan sutradara Schumacher yang khas terletak pada kemampuannya membangun karakter tokoh-tokohnya. Seperti dalam film St. Elmo's Fire dan Cousins, Schumacher pandai melibatkan banyak aktor dan beberapa cerita di dalam satu bingkai cerita yang besar. Setiap tokoh di dalam cerita itu mempunyai problem. Dan yang menarik, Schumacher tak perlu menyajikan persoalan itu dengan dialog yang bertele-tele. Dengan adegan-adegan yang pendek dan tangkas ia mampu menghubungkan problem tokoh-tokohnya sekaligus menyelesaikannya. Kelebihan Schumacher lainnya adalah kemampuannya menangani akting para pemain agar tetap seimbang tanpa harus menghilangkan ciri khas karakter yang dibawakan setiap aktor. Nelson yang ambisius, David yang ateis, Rachel yang terlalu ingin tahu tentang kematian, Joel yang gemar petualangan seks, akhirnya menyadari keterbatasan manusia. "Ada garis tertentu yang tak bisa kita lalui," kata Rachel, "dan kita melampauinya melalui permainan nyawa yang amat mahal ongkos nya." Seluruh petualangan "kematian" yang mereka alami ternyata adalah imajinasi yang berkembang dari alam bawah sadar mereka. Tentu saja akhir film ini harus memakai rumus klasik Hollywood. Artinya, kelima mahasiswa itu tidak berakhir di kuburan. Mereka juga tidak berakhir di rumah sakit jiwa, karena dengan sigap mereka pulih sebagai manusia biasa yang menyadari keterbatasan mereka. David, yang biasa dengan pongah mengaku ateis, lantas menyadari betapa kecil dirinya di mata Tuhan. Meski pada akhirnya tema cerita ini hampir seperti dakwah modern tentang keimanan, Schumacher toh tidak nyinyir. Ia berhasil menggambarkan keterbatasan manusia dengan gaya bercerita yang halus, menarik, dan efektif. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini