Kasus Hotel Chitra kembali disidangkan. Tapi cara persidangannya menjadi persoalan hukum. Ada "keberatan" yang aneh? INI merupakan cerita bersambung persidangan kasus penyerobotan Hotel Chitra. Setelah ditangguhkan selama tujuh bulan lebih, sejak Senin dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat kembali membuka bab kedua persidangan tersebut dengan terdakwa pengacara populer O.C. Kaligis, istri bekas Wagub DKI Nyonya Rhumanahwaty Manaf, dua orang dosen senior FH UI, Azhary serta Luay Abdurachman, dan eksekutif hotel itu. Para terdakwa, seperti dakwaan Juli silam, dituding, pada 25 Juni 1986, mengambil alih pengurusan dan pengelolaan Hotel Chitra, secara paksa dari pemilik yang sah, Rahmat Sadeli. Jaksa A. Hasan Ketaren juga menuduh mereka telah memalsukan akta rapat umum pemegang saham (RUPS), menganiaya karyawan, dan merusak hotel berlantai lima di Jakarta Barat, itu. Namun, dalam eksepsinya, kelima terdakwa berdalih bahwa hotel itu adalah kekayaan PT Ayu Kumala Lestari (AKL), yang saham-sahamnya dimiliki Rahmat, Nyonya Rhumanahwaty, dan Luay. Majelis hakim yang diketuai Amarullah Salim lewat keputusan sela, pada 29 Agustus 1990, menyatakan bahwa pemeriksaan perkara tersebut ditangguhkan. Perkara itu akan dibuka kembali jika sengketa perdata antara Rahmat dan kelompok Rhumanahwaty sudah diputus Mahkamah Agung. Artinya, persidangan pidana kelima orang itu akan dibuka kembali bila sudah jelas siapa sebenarnya pemilik Chitra. Keputusan dimaksud -tertanggal 12 Desember 1990 -sudah turun pada Maret lalu. Ternyata, vonis Mahkamah Agung itu belum menyinggung materi perkara, tentang kepemilikan Hotel Chitra. Toh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan majelis hakim baru yang diketuai Nyonya Kerstijani Doellah membuka kembali persidangan. Pada persidangan Senin dua pekan lalu, O.C. Kaligis dan pembelanya, mengajukan keberatan. Mereka menganggap perkara itu tidak selayaknya dilanjutkan. Sebab, sampai kini belum ada keputusan yang memastikan siapa yang paling berhak atas hotel 100 kamar itu. Malah keputusan MA tanggal 12 Desember 1990 itu, tambah Kaligis, membuktikan bahwa pengelolaan Hotel Chitra/PT AKL oleh kelompok Rhumanahwaty memang sah. Akibat keberatan itu, majelis menunda sidang sampai Kamis pekan ini. Tata cara keberatan -mirip eksepsi -pihak Kaligis itu tentu saja mengagetkan kalangan hukum. Sebab, di persidangan pidana hanya dikenal sekali eksepsi dan itu sudah dilakukan pihak Kaligis pada persidangan babak pertama, tujuh bulan lalu. Jaksa Moh. Siddik Latuconsina mengaku tak habis mengerti tentang "keberatan" yang ditempuh Kaligis dan pembelanya itu. Menurut Siddik, keberatan yang diajukan mereka sudah menyangkut materi perkara. Padahal, sidang baru dimulai. Anggota majelis hakim Marly Ilyas membantah pengadilan akan mengelurkan keputusan sela kedua itu. "Majelis hanya akan menetapkan diterima-tidaknya keberatan terdakwa," kata Marly. Hal senada juga diutarakan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, M.S. Lumme. Menurut Lumme, keputusan sela hanya dijatuhkan jika menyangkut dakwaan cacat. Kedua hakim itu juga menilai pertimbangan dibukanya kembali persidangan kasus ini sudah cukup tepat. "Tidak penting apakah keputusan MA itu hanya menyangkut formalitas atau materi perkara. Yang penting, sudah ada keputusan MA untuk perdatanya," sambung Marly. Rahmat Sadeli menganggap tak ada alasan lagi untuk menangguhkan kembali persidangan. "Bayangkan, selama lima tahun mereka merampok milik saya," kata Rahmat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini