PERIHAL stres sudah sangat luas dikaji dan ditulis. Stres dan cara-cara mengatasinya jadi pembicaraan sehari-hari. "Padahal, semua itu belum tentu betul," ujar seorang psikiater yang tak mau disebutkan namanya. Penelitian tentang stres yang kini tersebar luas, katanya, tidak lagi terkontrol. Hampir semua mencari pembenaran lewat statistik, padahal pembuktian seharusnya berdasarkan penelitian laboratorium. Di antara riuhnya teori dan diskusi tentang stres, dua penelitian yang dilakukan Bowman Gray School of Medicine, Salem, Carolina Utara, dan Rockefeller University, New York, termasuk yang representatif. Kedua penelitian yang hasilnya dimuat di The Sciences, terbitan Juni lalu, adalah kelanjutan penelitian dokter Hungaria, Hans Selye. Hans Selye adalah penemu stres. Pada tahun 1920, sebagai mahasiswa kedokteran di Praha, ia menemukan sejumlah penyakit fisik yang muncul bersamaan dan berakar pada ketegangan. Ketika itulah Selye memperkenalkan sindrom stres. Tapi ia ketika itu tak bisa membuktikan apa penyebabnya. Sepuluh tahun kemudian, setelah menjadi ahli patologi, baru Selye bisa menyusun bukti tentang sindrom stres. Melalui penelitian di laboratorium dengan tikus percobaan, diketahui bahwa stres mengakibatkan aktifnya kelenjar andrenal dalam memproduksi sejumlah hormon. Menurut Selye, ini adalah reaksi yang umum terjadi pada binatang menyusui dan manusia. Kehadiran hormon-hormon ini mengakibatkan kelainan pada kelenjar thymus. Ini menunjukkan terganggunya daya tahan tubuh. Di sinilah ia menemukan penyebab sindrom stres. Beberapa tahun kemudian, telah dapat dirinci dua hormon yang diproduksi kelenjar adrenal pada saat-saat stres: adrenaline yang menjadi sangat populer -- dan hormon glucocortiroids. Glucocortiroids ternyata berfungsi mengaktifkan pembelahan sel-sel lemak dan protein. Hormon ini muncul dalam darah bila ketegangan meningkat. Tujuannya menghasilkan energi tambahan. Sementara itu, adreline berfungsi mengerutkan pembuluh arteri. Tujuannya menaikkan tekanan darah agar darah yang membawa energi tambahan terpompa ke otot-otot. Masalah yang belum terjawab oleh Selye ialah: dari kedua hormon itu mana yang lebih merusakkan daya tahan tubuh. Setelah meneliti bertahun-tahun, Bowman Gray School of Medicine akhirnya memastikan sumber stres ada pada glucocortiroids, bukan adrenaline. Selain menandakan adanya krisis, hormon ini melalui mekanisme otak menenangkan kelenjar adrenal bila masa gawat sudah berlalu. Tubuh pun kembali normal. Tapi berulangnya stres membuat hormon ini berlebih di otak. Akibatnya, terjadi kerusakan otak, yang kemudian bisa berakibat pada gangguan di berbagai organ tubuh, misalnya jantung atau terkikisnya dinding pembuluh darah. Penelitian Rockefeller University mencoba menghilangkan keraguan Selye. Dan setelah bertahun-tahun mencari, tim yang dipimpin ilmuwan Jay M. Weiss menemukan baboon, yang hidup di dataran Sarengeti, Afrika Timur, sebagai primata yang paling mirip manusia. Setelah melalui penelitian yang cermat, para ahli menyimpulkan, reaksi stres pada peri laku baboon yang mengenal kehidupan sosial ini sangat mirip dengan reaksi manusia. Contohnya adalah keresahan berkepanjangan yang terjadi akibat kudeta di kalangan masyarakat baboon di tahun 1981. Enam baboon yang berhasil menggulingkan rezim yang berkuasa kemudian berusaha memperebutkan kekuasaan tertinggi dengan menyusun kekuatan. Peristiwa seperti ini, kita tahu, juga terjadi di masyarakat manusia. Pada proses perebutan itu, kesejahteraan baboon turun. Sementara itu, ketegangan meningkat karena "budaya saling mencurigai" juga merebak di antara pihak-pihak yang bertentangan, persis seperti di lingkungan manusia. Kemudian, tindakan agresif meningkat. Pada saat yang sama, tentu muka, yang biasanya berlanjut dengan keintiman dan hubungan seks, menurun. Pada masa resah yang berbulan-bulan ini Weiss dan timnya banyak menemukan contoh soal. Pada tingkat pertama, tim Weiss membuktikan, glucocortiroids memang banyak menimbulkan kerusakan tubuh. Selanjutnya ditemukan bahwa reaksi stres ternyata berbeda-beda. Ternyata, ada prototip baboon "eksekutif" yang berbakat menjadi pemimpin, tapi ada juga baboon yang berbakat menjadi pekerja -- masyarakat lebah juga mengenal dua tipe ini. Tim Weiss membedakan kedua tipe tersebut dari lama dan cepatnya glucocortiroids mengendap dalam darah dan otak baboon. Sekilas, hasil penelitian tim Rockefeller University ini mirip dengan teori yang membagi manusia ke tipe A dan tipe B. Yang A disebutkan sebagai pribadi yang aktif, berani, suka pada ketegangan dan cepat mengambil keputusan. Tipe yang dinilai berbakat menjadi pemimpin inilah yang menurut teori itu terancam sindrom stres. Sebaliknya dengan tipe B, yang relatif tenang. Teori tentang tipe A dan B ternyata kebalikan dari penemuan Weiss. Mengapa ? Penelitian mereka membuktikan bahwa baboon eksekutif "tipe A " justru tidak terancam sindrom stres. Adalah benar, kadar glucocortiroids di otak dan darah baboon jagoan ini sangat tinggi pada saat-saat krisis. Namun, kadarnya segera menurun drastis ketika krisis berlalu. Maka, tubuh sang baboon pemimpin dengan cepat kembali normal. Tidak terjadi kerusakan otak. Bagaimana dengan baboon "tipe B"? Stres di kalangan ini muncul setelah para eksekutifnya "mendistribusikan" stres yang dialaminya. Kadar glucocortiroids naik sedikit demi sedikit. Namun, setelah krisis berlalu, kadar glucocortiroids di kalangan ini tidak menurun, malah bertahan dalam jangka waktu sangat lama. Maka, stres tetap tinggi. Akibatnya, muncullah kerusakan otak yang diikuti menurunnya daya tahan tubuh, hingga berbagai penyakit pun muncul. Inilah sindrom stres yang dikemukakan Hans Selye. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini