PADA hari Ahad Wage, 14 Agustus 1988, bulan Suro datang lagi. Pada hari itu orang-orang Jawa yang masih memperhitungkan hitungan tahun ciptaan Sultan Agung, sebagai hari yang keramat, kembali merayakannya dengan penuh khidmat dan lambang. Hari tersebut adalah hari pergantian tahun, hari yang melangkahi suatu saat kritis. Maka, ia tidak boleh dilewatkan dengan begitu saja. Hari yang mengantisipasi suatu perubahan -- bagaimanapun perubahan itu sosoknya nanti haruslah disambut dengan penuh roso khidmat. Keris, tombak, cundrik, dan segala macam pusaka yang lain dikeluarkan dari khazanah keraton dan rumah-rumah yang menyimpan impiannya. Mereka dibersihkan (orang Jawa menyebutnya: diucikan), dibacakan mantra dan doa agar senjata-senjata itu tetap ampuh, bertuah, dalam menjaga keselamatan yang memilikinya. Di Solo pusaka-pusaka Keraton Mangkunegaran dan Kasunanan dikeluarkan dan diarak keliling kota pada malam Suro itu, untuk memberi berkah kepada rakyat yang pada berjubel di sepanjang jalan yang dilalui iringan tersebut. Dari Keraton Sunan Pakubuwono iringan pusaka itu bahkan didahului oleh Kiai Slamet, seekor kerbau bule keramat dari keraton yang pada hari-hari biasa dibiarkan berkeliaran ke mana dia suka. Orang berdatangan dari Kartosuro, Delanggu, Klaten, dengan berjalan kaki, naik sepeda, naik apa saja, sekali lagi untuk berdiri di pinggir jalan Kota Solo menyaksikan prosesi tersebut. Pada saat begitu, orang mungkin melupakan sejenak bahwa yang mereka hormati pada malam itu adalah pusaka-pusaka bekas kerajaan yang suddh mereka hapuskan sendiri pada sedikitnya empat puluh dua tahun yang lalu. Pada malam yang gawat karena krisis perubahan waktu, agaknya tidak terlalu penting lagi apakah pusaka-pusaka itu milik raja atau bekas raja. Yang penting, pusaka itu sejak dulu berfungsi untuk melindungi rakyat dari berbagai bala. Di berbagai tempat, wayang kulit juga dimainkan semalam suntuk. Mereka yang berduit -- baik pribadi maupun panitia mendatangkan para superdalang, dalang-dalang dengan reputasi cemerlang dan honor berjuta rupiah. Mereka yang kurang mampu bergotong-royong menanggap dalang lokal. Yang penting wayang, alter ego orang Jawa itu, tentulah dianggap unsur yang harus hadir dalam malam seperti malam Suro itu. Pertunjukan semalam suntuk dengan lakon yang pas merupakan kesempatan yang tepat pula bagi mereka untuk melek sepanjang malam hingga fajar merekah, merenungkan pesan-pesan ki dalang, sekali lagi mempertanyakan tempat mereka dalam jagat raya ini. Adapun mereka yang tidak pergi melihat prosesi Kiai Stamet, tidak menonton wayang, mungkm sekali di rumah mereka masih memasak bubur Suro yang khas dengan kedelai goreng, serundeng kelapa, abon, dan telur goreng yang diiris-iris. Seluruh keluarga berkumpul menyantap hidangan itu, berdoa agar rezeki berlimpah pada tahun mendatang. Sekali lagi kita dibuat bertanya pada malam seperti itu. Apa dan siapa yang menggerakkan dinamika seperti itu? Roda yang bergerak menyeret ribuan, mungkin jutaan orang, untuk melihat satu prosesi yang dipimpin oleh seekor kerbau bule dan diikuti oleh arakan keris dan tombak dan panji. Untuk secara kolektif memejamkan mata mereka, mempertanyakan kehadiran mereka di dunia ini. Untuk kesekian kali mengikat solidaritas keluarga di seputar hidangan bubur. Untuk kesekian kali melihat dan mendengarkan cerita ki dalang yang entah sudah untuk keberapa kali mereka saksikan. Naluri budaya, skenario kebudayaan itu sendiri, sistem kepercayaan yang rumit dan canggih? Para pengamat sosial yang fungsionalis, yang strukturalis, yang pasca-strukturalis, yang neo-Marxis, boleh memamerkan jurus-jurus mereka yang paling canggih dalam menghadapi gejala "sosiologi Suro" itu. Tetapi akankah kita dapat benar puas mendengar penjelasan mereka yang ilmiah itu? Saya tidak tahu. Pastilah banyak dari segi dan unsur dapat mereka munculkan dalam upaya penjelasan itu. Tetapi penjelasan itu pastilah pula -- seperti esensi mencari dari ilmu sendiri -- masih akan meninggalkan beberapa potongan pertanyaan yang belum terjawab. Ini mengingatkan saya pada seorang kawan rohaniwan yang bertanya kepada seorang cendekiawan muda yang sedang gandrung kepada Marxisme. "Apakah kau kira Marxisme akan dapat menjelaskan gejala seperti gila-porkas yang kita alami sekarang ini?" Anak muda itu diam, tidak menduga akan mendapat pertanyaan yang begitu telak dan mendasar. Pada malam Suro itu di Jakarta Buana Minggu menayangkan wayang kulit dengan lakon Banjaran Arjuna atau riwayat hidup Arjuna. Superdalang Ki Timbul Hadiprayitno dari Bantul, Yogya, diundang untuk mendalangkannya. Harga karcis kelas VIP Rp 17.500 -- jauh di atas harga karcis bioskop kelas terbaik di Jakarta yang Rp 7.500. Tapi bukankah film bisa ditonton setiap waktu, sedang wayang kulit 1 Suro hanya dipentaskan setahun sekali? Buat para expatriates atau para pejalan ulang-alik budaya Jawa di Jakarta, apakah arti beberapa ribu rupiah dibanding kenikmatan mendengarkan wejangan Pak Timbul tentang perjalanan hidup Arjuna yang penuh heroisme dan sangat romantis itu. Perjalanan seorang kestaria, seorang dari kasta prajurit, yang dipilih dewa untuk membereskan semua ketidakberesan di dunia. Lalu bila pada 1 Suro itu berduyun-duyun orang datang berziarah ke petilasan "Sang Prabu Sri Adji Djojobojo" di Kediri, "panditaratu" yang memerintah Kerajaan Kediri pada 1135-1157 dan yang oleh sekelompok orang dianggap titisan "Sang Hyang Bathara Wishnu", sekali lagi kita dibuat bertanya, pada hari itu ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini