Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengapa sang kotak kosong bisa ...

Warga desa harus melaksanakan instruksi pemerintah termasuk tata cara pemilihan kepala desa. mereka mengalami kebosanan sosial, takut memprotes langsung. calon tunggal dikalahkan kotak suara kosong.

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMUANYA serba tidak diduga. Peristiwa itu timbul dengan cepat dan cara-cara yang mereka gunakan terasa sangat canggih. Demikian komentar teman saya seorang bupati menanggapi sejumlah pemilihan kepala desa di beberapa desa di Jawa akhir-akhir ini. Hasil pemilihan itu memang mengagetkan. Ada calon tunggal yang dikalahkan oleh "kotak suara kosong". Ada pemilihan yang terpaksa ditunda karena jumlah pemilih yang datang tidak memenuhi quorum -- sejumlah pemilih pada hari pemilihan itu "kebetulan" piknik bersama. Teman saya sang bupati itu tidak habis pikir, mengapa orang-orang desa, yang selama ini ia kenal penurut dan selalu tunduk pada aparat negara, tiba-tiba saja berbuat sesuatu yang dapat mengacaukan rencana pemerintah. Padahal, aparat pemerintah itu secara formal lebih pandai dari rakyat desa. Saya merasa kasihan pada teman saya itu, yang wibawanya tersinggung karena merasa dikelabui oleh rakyat desa. Padahal, sebenarnya, bila ia secara jujur mau mempelajari situasi kehidupan rakyat desa, ia akan dapat mengantisipasi bahwa peristiwa itu pasti akan muncul. Pada tahun 1982, dalam suatu ceramah di suatu perguruan tinggi di Yogyakarta, saya telah mensinyalir bahwa di kalangan rakyat Indonesia umumnya dan rakyat desa khususnya, telah muncul rasa kebosanan sosial. Rasa kebosanan sosial itu muncul karena keinginan yang kuat dari pemerintah dan aparatnya untuk melaksanakan asas uniformitas dan asas reglasi dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di negara kita. Di daerah pedesaan, pelaksanaan kedua asas itu terasa sangat kuat. Rakyat desa harus hidup dalam dunia yang serba "harus". Mereka harus menanam padi, harus menanam tebu, harus ini dan itu, yang membuat kehidupan di desa -- walaupun secara materiil terlihat lebih baik -- dirasakan sesak karena tidak memberikan cukup ruang gerak bagi manusia pedesaan untuk berpikir alternatif dan inovatif, untuk ikut mengarahkan proses dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat mereka. Dalam konteks keinginan mereka untuk keluar dari kebosanan sosial inilah muncul peristiwa mengagetkan dalam pemilihan kepala desa itu. Pemilihan kepala desa di Pulau Jawa sebenarnya merupakan permasalahan lama. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, permasalahan itu telah muncul. Pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu mencampuri urusan pemilihan kepala desa dengan tujuan untuk memberantas praktek-praktek percaloan dalam proses tersebut. Pemerintah kolonial ingin menjadikan kepala desa sebagai aparat pemerintah yang sepenuhnya loyal kepada pemerintah kolonial. Dalam proses pemilihan kepala desa, sebenarnya yang terjadi di Indonesia saat ini tetap sama seperti yang terjadi pada masa kolonial dulu. Pemerintah nasional kita, dengan dalih memodernisasikan pemerintah desa, juga berkeinginan untuk lebih membuat para kepala desa itu menjadi aparat pemerintah dari pada pimpinan masyarakat desa. Untuk mencapai tujuan itu, berbagai cara telah ditempuh oleh pemerintah. Ada dua cara yang saat ini dipakai oleh pemerintah dalam mencapai tujuannya. Pertama menentukan syarat-syarat formal bagi calon kepala desa. Kedua, menciptakan metode seleksi calon melalui keharusan para calon kepala desa itu untuk menempuh ujian tertulis sebelum para calon itu berhak maju sebagai calon resmi dalam pemilihan kepala desa. Sepintas lalu hal ini tidak akan menimbulkan permasalahan. Namun, dalam pelaksanaannya, persyaratan tersebut kemudian sering digunakan oleh pemerintah untuk menentukan calon yang dapat diterima oleh pemerintah dan bukannya yang dapat diterima oleh rakyat desa. Akibatnya, timbullah apa yang saya namakan "demokrasi gado-gado", dengan munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala desa. "Pemenggalan demokrasi" inilah yang ditentang oleh rakyat. Hubungan antara kepala desa dan rakyatnya memang telah banyak mengalami perubahan yang tidak lagi mencerminkan falsafah pemerintahan orang Jawa, yakni manunggaling kawula gusti atau menyatunya rakyat dengan pemimpinnya. Antara rakyat desa dan kepala desa terdapat jarak pemisah yang lebar, yakni kekuasaan kepala desa yang sangat besar. Undang-Undang No. 5/1977 menunjuk kepala desa sebagai pimpinan dari berbagai lembaga resmi yang didirikan oleh pemerintah di desa seperti LKM, LMD, dua lembaga yang diharapkan menjadi wahana pengembangkan demokrasi di desa. Tetapi karena kepala desa menjadi pimpinan kedua lembaga itu, sulit diharapkan kedua lembaga itu dapat berjalan seperti yang diharapkan oleh rakyat desa. Sementara itu, adanya ketentuan floating mass, yang melarang partai politik berada di desa, menghilangkan saluran politik yang dapat digunakan oleh rakyat desa untuk menyalurkan aspirasi politik maupun keluhan mereka terhadap tingkah laku kepala desa mereka. Selain itu, keharusan rakyat desa melakukan semua instruksi yang datang dari pemerintah menyebabkan hidup di desa terasa sesak. Sebenarnya, apa yang terjadi di desa saat ini tidak jauh berbeda dengan keadaan yang sama pada tingkat makro. Yakni situasi yang penuh dengan tabu sebagai akibat diberlakukannya asas uniformitas dalam kehidupan bangsa ini, yang tidak mentolerir sifat dasar dari bangsa ini, yaitu kebhinekaan. Yang lebih menarik dalam kasus pemilihan kepala desa ini adalah cara yang dipakai oleh rakyat desa untuk mengutarakan protes mereka. Teringat saya pada satu buku yang ditulis oleh seorang sarjana politik yang terkenal, James Scott, yang berjudul The Weapon of the Poor. Pada umumnya, petani dan rakyat desa dalam mengutarakan protesnya selalu memilih cara yang tidak langsung menentang penguasa. Karena menurut pengalaman historis mereka, menentang langsung penguasa akan berakibat fatal pada diri mereka. Dengan cara berpiknik atau memasukkan suara mereka pada kotak kosong, mereka tidak akan ditindak oleh aparat negara dengan dakwaan "menyabot" pemilihan kepala desa di desa mereka. Sebab, bukankah tidak ada larangan berpiknik bersama-sama di Indonesia ini? Tetapi justru cara ini sangat efektif. Menurut Scott, protes gaya petani ini seperti plankton yang sedikit demi sedikit membentuk batu karang yang keras, yang akhirnya dapat menenggelamkan kapal yang melanggarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus