Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Lumpuhnya Jagoan Desa

Warna, 36, tewas di tangan massa. Warga Desa Kertayasa, Tegal, itu sering berbuat kriminil. Sebelumnya kebal terhadap pukulan. Tak kurang dari 4 orang dibunuhnya termasuk sejumlah pencurian dilakukannya.

20 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NYALI Warna tak surut. Kendati tubuhnya terpasung -- leher terantai, tangan dan kakinya terikat -- residivis yang sering keluar-masuk tahanan itu tetap menantang dan mencemooh warga desa yang merubungnya. "Kalau saya bisa lepas dari ikatan ini, setengah warga Kertayasa akan saya habisi. Dan seperempat warga Kramat (desa tetangga) akan saya bunuh. Saya tidak bisa mati! Siapa mau bunuh saya?" begitu kata Warna, seperti dituturkan Kepala Desa Kertayasa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Adi Parwoto. Akibat tantangan itu warga desa naik darah. Sebab, Warna, 36 tahun, bukan cuma membuat desa mereka tercemar, tapi ia juga telah membacok empat orang warga desa. Salah seorang warga segera mengambil alu dan memukulkannya berkali-kali ke bahu Warna. Aneh, Warna malah tertawa. "Ayo, siapa lagi, pukul saya," begitu ayah seorang anak ini menantang. Massa semakin kalap. Bertubi-tubi berbagai pukulan singgah di tubuh Warna. Tapi lelaki itu tetap terbahak-bahak. "Ia tak apa-apa, biar kepalanya dihantam palu," cerita seorang warga. Ia sungguh kebal. Tapi keajaiban itu tak berlangsung lama. Salah seorang dari massa itu, yang tahu kelemahan bromocorah tersebut, segera menyumbat mulut, hidung, dan telinga Warna dengan daun alang-alang. Setelah itu, begitu terkena pukulan, Warna menjerit minta ampun. Tapi massa tak peduli. Lelaki itu babak belur: dari mulut, hidung, dan telinganya darah meleleh. Keesokan harinya, Jumat dua pekan lalu, Warna meninggal. Rupanya, penduduk memang sudah muak menghadapi Warna. Sejak remaja, Warna yang tak pernah mengenyam bangku sekolah ini sudah memusingkan penduduk di kampung nelayan itu, karena suka mencuri jaring untuk menangkap ikan. Akibatnya, ia menjadi langganan tahanan polisi dan lembaga pemasyarakatan. Pada 1979 Warna ditangkap karena membacok polisi. Tapi polisi terpaksa mengirimnya ke Rumah Sakit Jiwa Magelang, karena ia menunjukkan gejala seperti orang gila. Setelah itu, ia menghilang. Tahu-tahu, menjelang Lebaran 1987, ia muncul. Tingkahnya masih seperti orang gila. Ia seenaknya memukul siapa saja anak laki-laki yang dijumpainya. Kalau yang lewat anak perempuan, ia tak segan-segan mencolek. Ia baru menghilang lagi dari desa setelah membacok dua orang warga, Kimo dan Slamet, kendati korban tak sampai mati. Setelah enam bulan tak kelihatan, Kami subuh 28 Juli Warna muncul lagi. Bak jagoan, ia masuk ke kamar Waklim, tetangganya, dan membabat tuan rumah dengan parang. Akibat ulahnya itu, Waklim terpaksa dirawat di rumah sakit karena terluka sepanjang 16 sentimeter. "Sampai sekarang saya masih susah berjalan," kata Waklim, yang baru pekan lalu boleh pulang dari Rumah Sakit Kardinah, Tegal. Rupanya, hari itu tak hanya Waklim korban kegilaan Warna. Di pagi itu juga, ia membacok penduduk lain, Takwad. Setelah itu, Kintel dan Darman. Kendati keempat korban tak ada yang tewas, sejak Kamis itu, Desa Kertayasa siaga penuh. Anak-anak dilarang keluar rumah. Pintu dan jendela ditutup rapat. Siapa tahu, Warna mengamuk lagi. Benar saja, Jumat malam 29 Juli, Warna muncul di rumah Sadar, yang sedang mengadakan kenduri. Tentu saja tamu yang hadir malam itu pada bubar dan buru-buru menyelamatkan diri. Toh punggung seorang tamu sempat juga tergores parang Warna. Setelah itu, polisi mengetatkan pengejaran terhadap Warna. Baru pada hari ketujuh. Agustus, Warna tertangkap di Pasar Kram.n "Ketika ditangkap, dia malah tertawa," kata seorang polisi dari Polsek Kramat. Tapi karena dikategorikan sebagai orang gila, tak lama di kantor polisi, Warna, lewat pamong desa, dikembalikan ke orangtuanya. Kepala Desa Kertayasa, Adi Parwoto segera mengumumkan kepada warganya bahwa Warna telah tertangkap. Ia juga meminta warga agar tak perlu lagi takut atau gelisah. Penduduk desa malah berbondong-bondong melihat Warna, yang diikat seperti dipasung -- oleh pamong desa. Dan seperti telah diatur, laki-laki itu tewas dikeroyok massa. Pengeroyokan itu kini yang disesalkan ibu kandung Warna, Konah. Sebab, sebelumnya, kata Konah, Kepala Urusan Pemerintahan Desa, Warto, telah meminta cap jempolnya sebagai tanda menyerahkan Warna kepada desa untuk diamankan. Ternyata, anaknya itu tewas di tangan massa. Si ibu mengakui bahwa anak keempatnya itu yang sejak usia 7 tahun ditinggal mati ayahnya, memang jahat. "Bagaimanapun jahatnya, Warna itu anak saya," kata Konah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus