PAK NATSIR 80 TAHUN Buku pertama: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda Penyunting: H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais Penerbit: Media Da'wah, Jakarta, 1988, 198 halaman DELAPAN belas tokoh "generasi muda" Islam yang berusia 31 sampai 54 tahun bekerja sama. Hasilnya: sebuah buku yang disunting oleh Endang Saifuddin Anshari dan Amien Rais, untuk menghormat dan mensyukuri ulang tahun Dr. Mohammad Natsir ke-80. Buku Pak Natsir 80 Tahun, Pandangan dan Penilaian Generasi Muda ini dengan lancar dapat diikuti berkat kecermatan dan ketelitian penyunting, sehingga pembaca tidak terganggu oleh kesalahan cetak. Urutan tulisan tampaknya disusun atas dasar urutan umur para penyumbang, dimulai dari mereka yang berusia 50-an, seperti Lukman Harun, Rusjdi Hamka, Ayip Rosidi ditutup oleh mereka yang berusia 30-an, seperti Lukman Hakiem, Natsir ubaidi, Said Tuhuleley. Para penyumbang berasal dari lingkungan politis yang sama, kecuali Ayip Rosidi. Mereka pernah berkecimpung dalam ormas kepemudaan/kemahasiswaan Muhammadiyah, HMI, dan PII Sehingga, terasa napas yang sama memandang sosok Pak Natsir. Jikalau penyunting dalam pengantarnya mengatakan bahwa Pak Natsir adalah seorang dzu wujuh, mempunyai banyak wajah dalam arti yang baik, maka yang terhidang dalam buku ini cuma seraut wajah Pak Natsir. Para penyumbang umumnya berpendapat bahwa Pak Natsir adalah seorang "juru bicara" Islam yang paling vokal, istiqamah dalam berpendirian, sederhana dalam keseharian. Barangkali kesan Pak Natsir sebagai pemimpin Islam milik umat Islam Indonesia akan semakin kuat bila kesaksian juga diberikan tidak saja oleh para penyumbang yang berasal dari lingkungan politis yang sama. Tentu saja pihak pemrakarsa penerbitan mempunyai pertimbangan sendiri, sehingga tidak menampilkan tokoh seperti Abdurrahman Wahid, atau Ridwan Hasyim, bekas ketua umum PII, dalam deretan para penyumbang. Pak Natsir sebagai seorang pluralis atau dzu wujuh, seperti dikatakan penyunting, tidak terungkap oleh buku ini. Dalam kampanye pemilu 1955, Pak Natsir adalah seorang jurkam Masyumi yang menghidangkan moderate appeal, seperti dikatakan Robert J. Myers dalam disertasinya yang berjudul The Development of the Indonesian Soaalist Party. Menurut Myers, Natsir dalam kampanye sering mengatakan bahwa Masyumi menolak setiap cara yang tidak demokratis dan menekankan bahwa negara bukan didirikan untuk Masyumi saja. Semangat kampanye Natsir sejalan dengan sikapnya di masa revolusi 1945, ketika sebagai Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir II Natsir menulis dalam brosur yang diterbitkan oleh harian Merdeka, memperingati enam bulan Republik Indonesia. Natsir menulis: Maka, kita dapat berbesar hati bahwa kita di sini pun, seperti juga di tempat-tempat lain, melihat bagaimana bagian bangsa kita yang berdiri di depan ini, baik di Jakarta, pusat kedudukan Pemerintah Republik, ataupun di kota-kota yang lain, di desa-desa di tepi gunung, di seluruh kepulauan Indonesia, bangsa semuanya mengetup geraham, menjepitkan lidah, memicingkan mata, supaya dapat mempertahankan kedudukan Republik berdiri tetap teguh dan kokoh. Kutipan, dari Myers dan brosur penerbitan harian Merdeka Februari 1946 itu memperlihatkan wajah Natsir sebagai tokoh bangsa yang bukan sekadar milik golongan tertentu dalam Islam. Sampai dengan tahun 1957 Natsir tampil sebagai figur yang mempunyai hubungan yang akrab dengan tokoh-tokoh Kristen dan Katolik, dalam suka maupun duka. Ketika di sekitar Januari-Februari 1957 banyak tokoh politik di Jakarta yang mengalami teror dan intimidasi, Natsir bersama Achsien (NU), Aruji Kartawinata (PSII), Tambunan (Parkindo), dan Kasimo (Partai Katolik) menghadap Jaksa Agung Suprapto melaporkan kejadian itu (Keng Po, 2 Maret 1957). Kejadian ini semua sudah berlalu, Natsir kini pemimpin Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia sejak 1967, yang sibuk menggumuli persoalan umat. Dalam sosok seperti inilah Natsir ditampilkan oleh mayoritas penyumbang buku Pak Natsir 80 Tahun. Buku ini tetap punya daya tarik, setidaknya Lukman Harun telah menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi khazanah pengetahuan sejarah. Di bawah judul Hari-Hari Terakhir PDRI, Lukman Harun mengangkat catatan stenografi yang dibuat kantor PDRI tentang jalannya rapat umum PDRI di lapangan Koto Keciek, Sum-Bar, 7 Juli 1949. Rapat umum PDRI dihadiri Natsir yang datang dari Pusat untuk meminta PDRI menerima persetujuan Roem-Royen. Selain itu, tulisan Ayip Rosidi berjudul Kebesaran Mohd. Natsir cukup menarik. Di situ Ayip mempersoalkan keterlibatan Natsir dalam pemberontakan PRRI. Agaknya, banyak yang sepakat dengan kesimpulan Ayip, "Seorang politikus tentu tidak bersedia bunuh diri dalam suatu pemberontakan yang sejak awal sudah diketahui tidak akan memberi peluang untuk menang." Buku untuk memperingati ulang tahun seorang tokoh wajar saja kalau berisi pujian atas amaliah yang bersangkutan. Tapi Natsir Zubaidi dan Lukman Hakiem, dalam tulisan mereka yang berjudul Tak Penat Memandu Umat, agaknya berkelebihan. Mereka mengatakan bahwa buku mengenai agama, kebudayaan, dan hukum yang ditulis Natsir merupakan bukti ketajaman pikiran Natsir. Sampai di sini Zubaidi dan Hakiem benar. Tetapi mereka keliru dalam menunjuk contoh. Mereka mencontohkan Komt tot het Gebed dan Het Vasten, buku yang ditulis Natsir tahun 1933 dan 1934. Padahal, itu mengenai pedoman sembahyang dan puasa. Tentulah itu cuma membuktikan ketekunan Natsir, bukan ketajamannya berpikir. Walau tak perlu dibantah bahwa Natsir memang seorang politikus pemikir. Ridwan Saidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini