Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari cukur rambut sampai maksiat

Di jakarta terdapat 226 buah panti pijat, 39 diskotek, 90 bar/pub, 9 motel, 91 hotel dan 34 wisma tamu. diduga terjadi penyalahgunaan fungsi resmi seperti tercantum dalam surat pendaftaran.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASAP rokok berpadu dengan keremangan, sementara berpuluh pasangan berdansa mesra. Itulah suasana khas klub malam di Jakarta, yang sering juga bisa dilihat dalam film-film Indonesia. Bau alkohol menyengat setiap hidung, dan tawa cekikikan dari mereka yang duduk di balik gelap ikut meronai suasana. Lain sekali, misalnya, dari ruang bawah tanah di satu pelosok di New York, yang "dikuasai" serombongan besar remaja penggemar disko. Di sini percintaan dekade 80-an masih membersitkan kesegaran dan kesahajaan orang muda. Sedangkan pria yang terjun di klub-klub malam di Jakarta umumnya tidak lagi muda. Dan mereka datang ke situ semata-mata karena merasa bahwa "wanita memang diciptakan untuk pria". Lagi pula, tidak terlihat alasan untuk tidak merasa demikian. Tepat pukul 11 malam, pembawa acara tampil di atas panggung. "It is show time, Folk." Alunan musik mendadak keras, penuh entakan. Puluhan lampu disko menyorot ke arah panggung. Seorang penari bergaun malam -- kata pembawa acara diimpor dari Filipina -- meliuk-liukkan badan, mengipas gairah lawan jenisnya. Dengan lirikan mata dan senyum menawan, dia menanggalkan busana satu per satu. Puncaknya terjadi ketika sang penari melepas penutup payudara. Lampu mendadak gelap, ia pun lenyap ke balik panggung. Itulah petikan acara yang biasa disajikan hampir semua klub malam di kota-kota besar republik ini. Para manajer di sana yakin betul, tanpa suguhan acara erotis, agak sukar menarik minat pengunjung. Ini mudah dipahami, lantaran tak sedikit pecandu hiburan malam yang menuntut suguhan "internasional." Klub malam memang tergolong sarana hiburan yang digemari. Di sana juga ada pramuria, yang secara resmi hanya bertugas ngobrol dan berdansa dengan tarif Rp 4.500 sampai Rp 9.000 per jam. Bisa dijamin, para tetamu tak akan sulit mengajak "petugas" itu, untuk melewatkan malam bersama di hotel ataupun motel. Kekhawatiran akan ditolak petugas hotel atau motel boleh disisihkan. Sebab, status "cewek" yang Anda bawa pasti tak akan ditanyakan, kendati biasanya di kamar tergantung peringatan: "Dilarang membawa tamu lain jenis". Lucu. Sebab, tak sedikit hotel, termasuk yang memasang peringatan semacam itu, yang justru berfungsi untuk menghibur tamu dari lain jenis tadi. Kampanye mengganyang maksiat -- pernah digalakkan sebentar pada Oktober 1984 -- sekarang boleh dikatakan sudah hilang gemanya. Kini di lobi-lobi hotel gampang ditemui wanita yang duduk sendiri dengan tingkah yang sepintas bisa ditebak. Di hotel-hotel berbintang lima sekalipun. Sembari meletakkan kunci kamar di atas meja, sambil menenggak segelas bir, wanita semacam itu akan tergoda untuk menghampiri. Bisa diawali dengan senyuman, kerdipan mata, atau menyapa. "Lho, kok sendirian, Pak?" Bila cocok, "dialog" itu bisa berlanjut dengan ketukan pintu di malam hari. Bagi mereka yang mau lebih hemat, juga tersedia klub-klub malam spesial, yang bertebaran di daerah-daerah perdagangan di kota-kota besar. Di Jakarta, misalnya, banyak terdapat di kawasan akarta Kota. Kawasan ini, menurut seorang pengamat, sudah sedemikian rupa "canggihnya", hingga sulit dibedakan dengan kawasan hiburan malam di Hong Kong, misalnya. Di tempat itu tersedia kamar-kamar bagi mereka yang sudah tak tahan menahan gairah, setelah digojlok oleh alkohol dan tarian erotik. Jangan khawatir, dengan modal sekitar Rp 50 ribu, Anda pasti bisa mengajak kencan seorang pramuria, tanpa perlu merayu lebih dulu. Lalu, siapa yang lebih suka kencan di motel? Tentu orang yang takut kepergok teman atau sanak-saudara. Ia tak perlu repot melewati lobi hotel dan berhubungan dengan resepsionis. Mobil bisa langsung diparkir di garasi tertutup, bahkan semua rekening bisa diselesaikan di kamar. Tarifnya di Jakarta berkisar Rp 20 sampai Rp 30 ribu per 6 jam. "Di sini kebanyakan orang pacaran, Oom," kata seorang pelayan sebuah motel di kawasan Tanjungpriok. Kamar-kamar di sana umumnya juga didesain untuk suasana asmara. Dinding kiri-kanan dan plafon sengaja dibuat berlapiskan cermin. Persis seperti love hotel yang bertebaran di Jepang, yang memang dibangun sebagai tempat bermain cinta. Padahal, motel adalah singkatan dari motorist hotel, alias tempat peristirahatan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan Gubernur DKI Wiyogo ternyata tak menutup mata. Dia bermaksud meninjau kembali perizinan tempat-tempat hiburan, khususnya motel. "Semula 'kan untuk menunjang pariwisata," tuturnya. Tapi dia tetap percaya bahwa yang datang ke sana blasanya orang luar kota. Kalau ternyata ada yang menganggap motel sebagai salah satu sarana untuk menyeleweng, "Ah, itu tergantung pribadi masing-masing." Mengapa motel-motel di Jakarta terus menjamur? Benarkah memang dipakai untuk menampung perkembangan pariwisata? Atau jangan-jangan tempat semacam itu makin digemari oleh mereka yang berbakat menyeleweng, termasuk para pengusaha yang pintar menghindari pajak. Betapa tidak. Para langganan biasanya "alergi" pada kuitansi, sehingga pembayaran bisa disisihkan dari pembukuan perusahaan. Penyelewengan pajak di dunia hiburan memang sulit dilacak, karena didukung oleh para konsumennya. Maklum, membawa pulang rekening pembayaran motel, panti pijat, klub malam, atau tempat lain sejenis sering meledakkan malapetaka rumah tangga. Jadi jangan heran kalau Wiyogo bilang, "Pajak hiburan hanya menyumbang 5-10% penghasilan DKI." Padahal, sektor ini tumbuh pesat, khususnya yang berpotensi besar untuk memadu kebutuhan seks. "Memprihatinkan," kata Wiyogo. Tak jelas. mengapa penaturan izin untuk tempat hiburan tidak dibuat seperti apotek -- hanya satu dalam radius sekian km. Dan tak pula bisa dipastikan mengapa sepesat itu pertumbuhannya. Hanya untuk memudahkan kontrol, Gubernur punya gagasan untuk membangun beberapa lokalisasi bagi tempat-tempat hiburan tersebut. Secara resmi, sesuai dengan catatan DKI, di Jakarta terdapat 226 buah panti pijat, 39 diskotek, 90 bar/pub, 9 motel, 91 hotel, dan 34 wisma tamu. Catatan itu tentu dibuat berdasarkan fungsi resmi seperti tercantum dalam surat pendaftaran. Padahal, bukan rahasia lagi, di balik itu terjadi penyalahgunaan secara terang-terangan. Tengoklah tempat-tempat hiburan di sekitar Jalan Mangga Besar, Jakarta. Di sana bertebaran panti-panti pijat, tempat cukur rambut, kedai kopi, dan hotel berbintang. Hampir semuanya berfungsi rangkap sebagai pusat maksiat, disko, dan klub malam. Menyediakan minuman keras, pertunjukan musik, dan kamar-kamar yang berderet di lantai atas. Lengkap dengan sejumlah pramuna dan lantai dansa. Soal tarif, itu tergantung kemauan. Paling murah tentu kalau hanya sekadar mengajak ngobrol atau berdansa. Lebih dari itu dihitung berdasarkan "transaksi". Tarif terendah antara Rp 20 dan Rp 50 ribu. Tapi kalau mau kencan di luar, masih kena ongkos tambahan sekitar Rp 15 ribu. Ada panti pijat yang ruang-ruang pijatnya didesain seperti kamar hotel, bahkan menyajikan happy hours. Antara pukul 4 dan 6 sore semua tamu diberi korting 50% untuk sewa kamar, yang bertarif resmi Rp 15 ribu per jam. Sebagai pelengkap, disediakan kamar kaca tembus pandang tempat berkumpul para juru pijat. Persis seperti di klub-klub malam atau kedai kopi. Selain itu, ada juga fasilitas maksiat lain kegemaran bapak-bapak yang tak mau aib-nya terbongkar, yakni rumah-rumah bordil di kawasan perumahan elite. Para pelanggan cukup mengangkat telepon untuk "memesan", disertai nama dan nomor kamar hotel yang harus didatangi teman kencan. Polisi sudah berkali-kali mengadakan penggerebekan. Yang paling menggegerkan adalah penggerebekan sebuah rumah di kawasan Jalan Prapanca, Kebayoran Baru, beberapa waktu lalu. Kabarnya, di sana berkumpul sejumlah "putri ayu" langganan bapak-bapak berkantung tebal, yang mampu membayar setengah juta rupiah sekali pakai. Namun, masih banyak saja rumah-rumah semacam itu yang tetap aman. Tapi bagaimana nasib kaum Adam dari golongan ekonomi lemah? Gampang. Sekarangmereka bisa juga menikmati panti-panti pijat maksiat kelas gubuk, yang tumbuh subur di kawasan pinggiran kota. Kota-kota besar, khususnya Jakarta, memang tempat serba memungkinkan. Fasilitas memadai, kesempatan berlimpah. Tinggal iman dan keberanian yang menentukan. Praginanto & Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus