Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ada asap, siapa yang salah ?

Banyak terdengar suara pro dan kontra atas hasil angket majalah matra tentang hubungan ekstramarital di kalangan pria di jakarta. pendapat beberapa pihak: emil salim, w.s. rendra, a.a. navis, dll.

3 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMIL SALIM: Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Kita tak bisa menarik kesimpulan umum hanya dari angket Matra. Apakah 500 responden sudah bisa mewakili sekitar 3,5 juta pria Jakarta? Kedua, teknik samplingnya terlalu kasar, hingga tidak bisa dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan. Bahwa penyimpangan itu begitu dominan dan besar, dan sudut metodologi sampling perlu dipertanyakan lebih jauh keabsahannya. Juga, untuk masalah seintim itu, jawaban yang jujur sulit diperoleh. Adakah orang yang senang mengaku bahwa ia telah berbuat serong? Salah satu keberhasilan angket Matra, ia berhasil menarik minat publik. Dan fenomena yang ia paparkan menyadarkan kita: bahwa ada sesuatu yang tak beres yang perlu kita teliti lebih jauh. Jika kelak terbukti benar, masya Allah, bagaimana nasib dan masa depan anak-anak kita. Untungnya, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya tercerabut dari akar budaya dan keyakinan agamanya. Masyarakat kita masih memiliki rasa antipati pada penyelewengan semacam itu. Juga terhadap korupsi. Adanya istri yang memberi toleransi kepada suami untuk menyeleweng -- tentu dengan berbagai pertimbangan -- Janganlah dianggap sebagai suatu pembenaran. Rujukan sejarah dan kebudayaan kita yang menyatakan toleransi itu harus diteliti kembali lebih cermat. Juga terhadap anggapan bahwa "di rumah ia suami, di luar rumah bukan lagi suami". Itu bukan suara mayoritas, dan jelas merendahkan dignity (martabat) wanita. Apakah kita sependapat, peran wanita hanya untuk meladeni suami di rumah sementara suami bebas berkeliaran di luar rumah, free of everybody? H. SA'AD SYAMLAN: 50 tahun, ulama, anggota DPR Mesti ada terapi buat penyelewengan. Caranya, dengan pendidikan agama pada keluarga. Kalau pendidikan di sekolah lebih banyak menekankan pengembangan akal, maka pendidikan keluarga bisa jadi pusat menanamkan iman agama. Lebih-lebih di kota besar macam Jakarta ini. Kota besar memang memberikan segala kemungkinan untuk terjadinya penyelewengan. Memang banyak masjid dan gereja di Jakarta. Tapi rumah-rumah ibadat itu hanya tempat bersinggah, untuk salat atau sembahyang sejenak. Begitu selesai, para lelaki penyeleweng itu kembali dituntut bekerja dan bekerja. Demi mencapai target materi sebanyak mungkin. Tak ada waktu untuk beriman atau untuk beragama secara sempurna. Tak ada waktu berefleksi tentang Tuhan. Hidup di Jakarta begitu mekanistis. Begitu capek. Mereka lari ke perempuan. NY. KARDINAH SOEPARDJO RUSTAM: Ketua Umum Dharma Wanita Pusat, ibu 2 anak Untuk menghindari penyelewengan, harus selalu ditumbuhkan rasa saling membutuhkan. Kita membutuhkan, dia juga. Bukan cuma satu yang butuh. Rasa itu harus selalu dipupuk, bukan hanya pada tahuntahun pertama perkawinan. Justru makin lama, kita harus merasa makin saling memerlukan. Apa yang diperbuat suami sebenarnya juga merupakan tanggung jawab istri, dan sebaliknya. Pernikahan itu membuat suami-istri jadi satu bungkusan, satu paket. Bukan pribadi-pribadi lagi yang bicara. Maka, mesti ada komunikasi dua arah. Selain itu, agama punya peran sangat penting. Dari sudut agama, hubungan seks di luar nikah merupakan dosa besar. Sedangkan hubungan emosional, selama mereka tidak melanggar apa yang telah disepakati suami-istri, saya kira tidak apa-apa. Tapi keterkaitan batin begitu bisa jadi bahaya besar dalam rumah tangga. Awalnya mungkin hanya pikiran, lama-lama ... wa. Orang yang selalu terbayang wanita lain yang bukan pasangan hidupnya itu orang yang labil. Imannya kurang tebal, jiwanya kurang mantap. W.S RENDRA: penyair, dramawan Penyelewengan seks tak beda dengan korupsi seks. Tapi tidak sama dengan korupsi duit, duitnya 'kan milik umum. Penyelewengan seks bersifat khusus, bersifat pribadi, hingga lebih tepat diungkapkan lewat novel, cerita pendek, puisi, atau film. Kalau diungkapkan dalam bentuk studi akademis, saya kok tidak yakin kebenarannya. Soalnya, pelaku-pelaku penyelewengan itu penuh dusta. Lalu bagaimana kita mau menyurvei dusta? Saya punya banyak teman yang tidak pernah nyeleweng hati, tidak pernah juga nyeleweng seks. Mereka kadang juga trenyuh terhadap diri saya. Itu mendorong saya dia bisa, mengapa saya tidak. Tapi kadang saya kecewa, ada orang yang tidak nyeleweng seks tapi kok nyeleweng duit. Atau nyeleweng moral lainnya. Tidak pernah nyeleweng seks, tapi dengki atau nran. Lha, itu 'kan ya sama saja. Sama buruknya. SIKUN PRIBADI: 75 tahun, guru besar psikologi, direktur Sekolah Istri Bijaksana, Bandung. Penyelewengan terjadi karena tidak adanya integrasi tiga unsur kepribadian manusia: roh, jiwa, dan badan. Kebanyakan penyelewengan muncul karena orang butuh kasih. Di dalam cinta selalu ada unsur kasih dan seks. Seks adalah jasmani dengan segala mekanismenya, sedangkan unsur kasih itu rohani kesemuanya bertemu dalam jiwa yang diorganisasikan oleh otak. Nah, yang menyeleweng itu seolah mencari ganti kerugian karena kurang kasih. Padahal, kasih itu sifatnya memberi. Pada umumnya, penyelewengan terjadi pada suami yang istrinya tidak bisa memberikan kasih yang murni. Misalnya istri pemarah atau keras, yang waktu kecilnya kurang mendapat kasih sayang. Penyelewengan memang sering berakhir dengan perceraian. Tapi itu bukan pemecahan masalah. KARTINA (IBU KAR) AMALIA SUYONO PAWIRABISMA: 62 tahun, konsultan keluarga, pengasuh rubrik Dari Hati ke Hati majalah Femina. Sangat mungkin, dalam berhubungan seks pria tidak terlibat secara emosional. Sehingga, karena kemampuan itu -- katakanlah begitu -- bisa saja pria mengadakan hubungan seks dengan wanita yang bukan Istrinya. Itu bedanya dengan wanita, yang pada umumnya baru mau berhubungan kalau sudah terlibat secara emosional. Dengan adanya angket dr. Tobing itu, meski saya tidak tahu keabsahannya, kita patut berterima kasih. Kita paling tidak jadi tahu bahwa ada asap. Saya tidak keberatan kalau ada orang seperti dr. Tobing, yang dengan polos melontarkan kelemahan kita sendiri. Kalau memang keadaannya bobrok, jangan ditutup-tutupi. Kita juga mendengar, banyak gejala anak sekolah yang terlibat dalam "perekisme". Saya kadang berpikir, ini gue yang kolot atau bagaimana. Sejauh ini, saya sampai pada kesimpulan sementara, kita kurang membekali anak gadis kita dengan self-defence. Jangan salah Interpretasi, saya sekadar mengamati bahwa kalau ada gadis-gadis muda belia menjual diri pada hidung belang itu bukan kesalahan si gadis. Tapi terutama pendidikan orangtuanya, hingga dia tidak bisa melihat ini benar dan itu tidak. Jangankan untuk bersetubuh dengan oom-oom, meninggalkan sekolah saja tidak bisa ditoleransi. Nah, sekarang kita lihat, kita sudah berada pada dunia permissiveness dunia yang ini boleh, itu juga boleh. A.A. NAVIS: 61 tahun, budayawan, penulis buku Alam Terkembang Jadi Guru. Untuk mencegah penyelewengan, sebetulnya sistem sosial punya andil besar. Masih banyak yang menganggap penyelewengan seksual tabu. Tapi sistem sosial kita, yang umumnya mengacu pada kolektivitas dan komunal, tak didukung oleh sistem hukum formal yang berlaku, yang merujuk pada liberalisme dan individualisme. Dalam prakteknya, hukum formal lebih berperan ketimbang sistem sosial. Beberapa tahun lalu kita bisa menyaksikan masyarakat menangkap basah pezina. Pasangan itu dihakimi, setidaknya dipaksa nikah. Tapi hukum formal bisa membela keduanya, dan masyarakat dipersalahkan karena "main hakim sendiri". Sistem sosial pelan-pelan terlindas oleh hukum formal, akhirnya mematikan kontrol sosial oleh masyarakat, termasuk untuk kasus penyelewengan seksual. Itu pula sebabnya, masyarakat tak berani melakukan kontrol, bahkan seperti tidak peduli. Syafiq Basri, Budiono Darsono, Agung Firmansyah, Sri Pudyastuti, Ahmadie Thaha, Ida Farida, Fachrul Rasyid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus