Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bak Menembak Nyamuk Dengan Meriam

Lien Chen Yung alias A Yung, 45, bandar judi buntut diadili pengadilan negeri Medan. Ia dituntut dengan UU antisubversi karena merongrong kebijaksanaan pemerintah lewat program TSSB/SDSB.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNDANG-UNDANG subversi kembali menelan korban. Setelah beberapa bandar judi buntut yang mendompleng undian resmi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) di Pulau Jawa dihukum penjara berdasar ketentuan itu, pekan-pekan ini giliran seorang bandar lotere buntut di Medan, Nyonya Lien Chen Yung alias A Yung, 45 tahun, dijaring ke Pengadilan Negeri Medan. A Yung, menurut Jaksa T. Napitupulu, setidaknya sejak 1983 telah menyelenggarakan judi buntut yang tegas-tegas dilarang pemerintah. "Bisnis" nomor itu dilakukannya bersama suaminya, Miepo alias Sanjai Rozabai -- hingga kini masih buron. Hebatnya, lotere yang semula mengekor penarikan Toto Kuda di Singapura itu berpusat di rumah A Yung, yang letaknya bersebelahan dengan kediaman Kapoltabes Medan, Kol. Pol. I.K. Ratta, di Jalan Sukamulia, Medan. Belakangan, usaha buntutnya dijalankan dengan mendompleng nomor-nomor buntut dari undian resmi TSSB dan SDSB. Untuk melancarkan bisnis buntutnya, A Yung punya lima orang agen -- empat di antaranya belum tertangkap -- dan tiga nomor telepon. Dari seluruh permainan itu, masih menurut jaksa, A Yung setidaknya sudah mengantungi keuntungan Rp 261 juta. Pada 26 April 1989, markas judi A Yung digerebek polisi. "Rasanya bagaikan mimpi," tutur ibu empat anak yang bertubuh kurus itu. Toh A Yung masih mencoba menawar. "Kasih Uang Habis Perkara (KUHP)". Dalam pengakuannya, polisi meminta Rp 10 juta, sementara ia cuma sanggup Rp 2 juta. Polisi akhirnya meringkus A Yung dan membawa uang Rp 4 juta yang disodorkannya -- sebagai barang bukti. Di depan meja hijau, A Yung ternyata dibidik dengan senjata antisubversi. Jaksa T. Napitupulu mendakwanya telah merongrong kebijaksanaan pemerintah yang mencanangkan program pengumpulan dana olahraga lewat TSSB/SDSB. Gara-gara judi buntut A Yung, kata jaksa, omset TSSB/SDSB yang ditargetkan Rp 2 milyar setiap putaran menyusut menjadi kurang dari Rp 900 juta. Tapi A Yung -- seperti bandar-bandar buntut lainnya -- membantah tuduhan itu. "Ini semua saya lakukan sekadar untuk menghidupi dan menyekolahkan anak-anak saya," kata A Yung, yang mengaku tak tahu jika "bisnisnya" itu bedampak negatif terhadap peredaran SDSB. A Yung, yang juga mengaku usahanya itu cuma "buntut-buntutan", pun menyatakan, keuntungan perputaran dari bisnisnya cuma Rp 200 ribu -- tak sampai Rp 1 milyar. Bahkan dari tiap putaran, sambungnya, selalu ada penebak jitu. "Kadang-kadang saya kalah, pernah sampai Rp 2 juta," kata A Yung di hadapan majelis hakim yang diketuai Hadi Manaf. Benar-tidaknya dalih A Yung, itu yang kini diuji hakim. Yang jelas, perdebatan tepat-tidaknya penerapan subversi judi buntut kembali mencuat ke permukaan. Seorang pengacara dari LBH Medan, Darwan Perangin-angin, misalnya, tetap menganggap tuduhan subversi berlebihan untuk kasus itu. "Kan cukup didakwa dengan pasal 303 KUHP," katanya. Darwan malah menilai penafsiran subversi lama-kelamaan menjadi semakin meluas dan elastis. "Bisa-bisa wartawan atau pengacara yang terlalu vokal nanti juga dituduh merongrong pemerintah," tambah pengacara yang menduga dakwaan subversi itu berdasar instruksi semata-mata. Keberatan Darwan itu disambut seorang jaksa di Medan cuma dengan argumentasi teknis yuridis yang enteng. "Penerapan Undang-Undang Antisubversi terhadap judi buntut sudah tepat. Lain halnya jika mereka cuma main joker Karo, bisalah digunakan pasal 303 KUHP," kata jaksa itu. Polemik begitu mungkin akan terus bergema. Toh upaya pemerintah untuk "menyubversikan" para bandar buntut -- berdasarkan Instruksi Presiden tanggal 8 Desember 1988 -- jalan terus. Hanya saja, pemanfaatan senjata "berat" dengan ancaman hukuman mati itu, bagaikan menembak nyamuk dengan meriam, tapi korban cuma luka-luka. Sebab, dari beberapa kasus judi buntut, ternyata hakim memvonis ringan-ringan saja -- di bawah 5 tahun penjara. Contohnya, kasus bandar buntut di Yogyakarta, Oei Thien Ming alias Miming, 32 tahun. Pengadilan Negeri Yogyakarta, awal bulan ini, hanya memvonis Miming 4 tahun 6 bulan penjara. Padahal, omset bisnis Miming jauh lebih besar ketimbang A Yung. Ia, kabarnya, mengeruk keuntungan dari judi buntut itu sampai Rp 4 juta per minggu. Sebelum kasus Miming tersebut, Pengadilan Negeri Semarang memvonis tiga orang pengedar lotere buntut yang membonceng SDSB di daerahnya, Nyonya Tjio Giok Nio, Koo Tek Djong, dan Ahmad Sogol. Tapi, itulah, ketiganya juga cuma dihukum 2 tahun 6 bulan sampai 3 tahun penjara. Jaksa Abdul Rasyid, yang sebelumnya menuntut Miming 7 tahun penjara, menganggap angka hukuman terhadap bandar buntut itu lantaran soal kategori jenis perkara. "Ini kan perkara subversi sosial budaya. Kalau untuk perkara subversi yang menentang ideologi negara, memang vonisnya bisa rata-rata di atas lima tahun," kata Kepala Seksi Sosial Politik Kejaksaan Tinggi Yogyakarta itu. Happy S., Irwan E. Siregar (Medan), dan Heddy Lugito (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus