BUKAN salah Anang Rifai, 17 tahun, kalau ia baru sekarang duduk di tahun pertama SMP. Bahkan sebelum menjadi siswa SMP Terbuka Banyuurip Surabaya yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur Soelarso, Jumat dua pekan lalu, kata Anang, "Saya sempat menganggur selama setahun." Ia lulus dari SD Pamong, dua tahun silam, ketika usianya sudah 15 tahun. Ayahnya, Nawawi, sehari-hari tukang becak, tak bisa menyekolahkan Anang ke SMP Negeri, apalagi swasta. Penghasilan Nawawi rata-rata Rp 2 ribu sehari. Anang pun dititipkan bekerja di sebuah bengkel las. Juli lalu ada pemberitahuan dari perangkat Kelurahan Banyuurip, bahwa mulai September didirikan sebuah SMP Terbuka, yang pusat kegiatannya nebeng di SDN Banyuurip VII. "Karena gratis, akhirnya saya mendaftarkan anak saya," kata Nawawi. Inilah SMP Terbuka yang pertama di kawasan Kodya Surabaya. Atau yang ketiga di Jawa Timur. Dua sebelumnya di Kalisat, Jember (jumlah siswa 370 anak) dan Malang (jumlah siswa 523 anak). Gubernur Ja-Tim ketika meresmikan SMP Terbuka Banyuurip mengatakan, tidak tertutup kemungkinan akan mendirikan SMP Terbuka di semua kabupaten di Jawa Timur. Mengingat lulusan SD dan madrasah ibtidaiyah di kawasan ini pada akhir Pelita IV persentasenya 99,04%. Sedangkan yang diterima di sekolah lanjutan cuma 68,4%-nya. Atau dalam penelitian IKIP Malang, pada tahun ajaran 1988/1989, di Jawa Timur ada 700 ribu lulusan SD dan madrasah ibtidaiyah, yang melanjutkan ke SMP 470 ribu. Keberadaan SMP Terbuka menolong anak-anak dari kalangan yang tak mampu. Yang di Banyuurip itu, umpamanya, tak ada keharusan berseragam bagi 30 muridnya. "Maklum, murid-murid kami kebanyakan dari ekonomi lemah," kata Sardjono H.S., Kepala SDN VII Banyuurip yang menjadi guru pembimbing di situ. Pelaksanaan belajar bersama di kelas dilangsungkan pukul 18.00 sampai 20.00 WIB. Ini menguntungkan sejumlah siswanya yang pagi harinya bekerja. Modul pelajaran semester pertama berisi PMP, Bahasa Indonesia, IPS, IPA, Matematika, Bahasa Inggris, Olahraga dan Kesenian, Kesehatan dan Keterampilan Jasa. Untuk pelajaran Olahraga, tentu baru teorinya saja, karena, kata Drs. Sarno, seorang pembina di situ, "Saya belum tahu olahraga apa yang cocok untuk malam hari." Tentunya yang murah. SMP Terbuka adalah gagasan Daoed Yoesoef -- ketika itu Menteri P dan K -- yang mulai didirikan 1979/1980. Perintisnya adalah di Kalisat (Jember), Kalianda (Lampung), Plumbon (Cirebon), Terara (NTB), dan Adiwarna (Tegal). Cara belajarnya bisa tak sama, namun konsepnya serupa. SMP Terbuka Adiwarna, misalnya, benar-benar terbuka. Muridnya tidak tiap hari berada di kelas. Mereka hanya masuk kelas untuk kegiatan konsultasi dengan guru pembimbing. "Guru lebih banyak berperan sebagai motivator dan konsultan bagi siswa," kata Drs. Magfuri, Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum P & K Jawa Tengah. Kegiatan belajarnya, selain tergantung kedisiplinan masing-masing di rumah, juga dilakukan lewat Paguyuban Kelompok Belajar (PKB), tiga hari seminggu bersama guru pembimbing. Yang di Plumbon juga memberlakukan sistem PKB, cuma kedatangannya lebih sering, dari Selasa sampai Sabtu. Hari Senin, "Para siswa dikumpulkan di SMP induknya, dalam hal ini di SMPN I Plumbon," kata Kepala SMP Terbuka Plumbon Moch. Abas Soegijono. Uniknya, keharusan datang ke PKB -- biasanya di gedung SD tempat kepala SD itu ditunjuk sebagai guru pembimbing -- bisa diganggu oleh musim. "Kalau dekat musim panen atau hujan, jumlah kehadiran murid menurun," kata Moch. Abas. Maklum, mereka banyak yang sambil bekerja. Dan SMP Terbuka tampaknya tetap dibutuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini