SUASANA haru, Rabu pekan lalu, menyelimuti gerbang perbatasan internasional Indonesia-Malaysia di Entekong-Tebedu, sekitar 320 km dari Pontianak, Kalimantan Barat. Sembilan bayi Indonesia yang diselundupkan ke Serawak, Agustus lalu, pada hari itu dikembalikan ke Indonesia. Para perawat RSU Serawak, yang selama ini mengasuh mereka, rupanya, tak kuat menahan perasaan ketika harus melepas kembali bayi-bayi itu. "Hampir tiga bulan kami merawat mereka, berat rasanya melepaskan. Kalau saja kami boleh mengasuhnya terus...," ucap salah seorang perawat Serawak dengan air mata menggantung di pelupuk matanya. Pada hari itu, mewakili Polisi Diraja Malaysia, Kepala Reserse Polisi Daerah Serawak Kol. Awang Ehsan secara resmi menyerahkan kembali sembilan bayi itu ke pihak Indonesia, yang diwakili Kadit Serse Polda Kal-Bar Letkol. Anwar Affan. Pada upacara itu hadir pula Soegeng Soediro dari Direktorat Konsuler Departemen Luar Negeri, Kakanwil Departemen Sosial, Kanwil Kehakiman dan Kejaksaan Tinggi Kal-Bar, tiga dokter, dan 10 orang bidan dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI), serta wakil dari PMI. Tampak pula sekitar 10 orang perawat dan seorang dokter RSU Serawak -- tempat kesembilan bayi itu dirawat sebelumnya -- plus sejumlah wartawan RTM dan media cetak Malaysia. Bayi-bayi itu -- semula berjumlah sepuluh -- Agustus lalu, entah bagaimana caranya, diboyong penyelundup ke negara jiran itu. Setelah berhasil melewati perbatasan, komplotan yang sedang membawa bayi berusia 2-3 bulan itu tertangkap di Kampung Telaga Air, Sibu, Serawak. Polisi Distrik Kuching menahan enam wanita Kalimantan Barat -- dua lainnya lolos ke hutan -- dan empat lelaki Serawak selaku penyelundupnya. Ternyata, awal September lalu, Pengadilan Serawak cuma menghukum para penyelundup itu karena terbukti memasuki wilayah Malaysia secara ilegal. Masing-masing dihukum dua bulan penjara dan denda M$ 2 ribu (sekitar Rp 1,3 juta). Rupanya, kejahatan pencurian bayi belum diatur perundang-undangan Malaysia. Sementara itu, kesepuluh bayi, yang berasal dari keluarga Cina miskin di Singkawang dan Pontianak tadi dirawat di tempat penampungan di RSU Serawak -- seorang bayi lelaki meninggal di sini. Kesembilannya sudah diberi nama-nama Indonesia, di antaranya Emilia dan Suharto. Pada Rabu pekan lalu, bayi-bayi itu -- tujuh lelaki, dua perempuan -- digendong para bidan IBI dan diangkut dengan bis ke Pontianak, untuk kemudian dirawat di Yayasan Rumah Bersalin Kasih Ibu (YRBKI) di kota itu. Tapi persoalannya kini, bagaimana status bayi-bayi itu. Sebab, kendati mereka telah kembali ke tanah air, baik Kepolisian Kuching maupun Kadit Serse Polda Kal-Bar Letkol. Anwar Affan mengakui, belum diketahui siapa orangtua bayi-bayi itu. "Biarlah nanti pengadilan yang menentukannya," kata Anwar. Kepastian status itu, menurut Anwar, akan ditentukan melalui proses peradilan terhadap para penyelundup itu, setelah mereka menjalani hukuman di Kuching. Rencananya, mereka akan diekstradisikan ke Indonesia dan diadili di Pontianak. "Karena kejahatannya terjadi di Indonesia," kata sumber TEMPO di situ. Mereka, menurut Anwar, akan dijaring dengan pasal 277 KUHP (penggelapan asal-usul orang lain). Dalam sejarah peradilan pidana Indonesia, pasal dengan ancaman hukuman maksimum 6 tahun itu pertama kalinya diterapkan pada kasus tertukarnya bayi Dewi-Cipluk. Berdasarkan itu, pada Juni 1988, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Nyonya Nuraini 6 bulan penjara. Nah, sambil menunggu proses peradilan itu, Departemen Sosial rupa-rupanya menempuh jalan menitipkan "barang bukti" bayi-bayi tadi ke sebuah tempat yang dianggap netral, yakni YRBKI tersebut. Jika perkaranya sudah diputuskan oleh pengadilan, "Ada baiknya dijadikan anak negara," ujar Anwar. Tapi, bukan berarti orok itu tak mungkin punya ibu angkat, lewat lembaga adopsi. Sebab, tak sedikit orang tua di daerah Pontianak yang berminat, terlebih Yayasan Kesejahteraan Ibu dan Anak -- yang berafiliasi dengan YRBKI. "Bisa saja diadopsi, asalkan memenuhi ketentuan Undang-undang Kesejahteraan Anak Indonesia tahun 1969," tandas Kanwil Sosial Kal-Bar Letkol. Ali Amran. Laporan Djunaini K.S. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini