Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Menabur Angin, Menuai Vonis

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis penulis buku "siapa menabur angin..." Soegiarso Soerojo Rp 15 juta. Ia didakwa mencemarkan nama baik bekas Bupati Nganjuk Soendoro Hardjoamidjojo.

25 November 1989 | 00.00 WIB

Menabur Angin, Menuai Vonis
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON di rumah Jalan Gandaria 6, Malang, Jawa Timur, tak henti-hentinya berdering. "Semua teman-teman mengucapkan selamat kepada saya," kata Soendoro Hardjoamidjojo, pemilik rumah itu. Bupati Nganjuk 1960-1968 itu, Kamis pekan lalu, memenangkan gugatannya melawan penulis buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (SMAAMB), Soegiarso Soerojo, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Majelis hakim, yang dipimpin T.W. Siregar, berpendapat Soegiarso melakukan perbuatan melawan hukum. Ia tanpa mengecek terlebih dahulu telah menuduh Bupati Nganjuk, 1963, sebagai anggota PKI. Maka, hakim menghukum Soegiarso membayar ganti rugi Rp 15 juta dan memasang iklan permintaan maaf di koran Ibu Kota dalam ukuran 12 cm kali 3 kolom. "Tergugat telah melakukan kecerobohan yang mengakibatkan tercemarnya kehormatan dan nama baik Mr. Soendoro Hardjoamidjojo," ujar hakim. "Saya bersyukur, ternyata hakim berdiri di atas kebenaran dan keberanian," kata Soendoro, setelah mendengar putusan itu dari pengacaranya, R.T. Tambunan. Meskipun tidak semua tuntutannya dikabulkan, Soendoro merasa lega. "Target kami bukan materiil tapi kembalinya nama baik," ujar Soendoro, yang mencantumkan angka Rp 1,5 milyar dalam gugatannya. Buku Siapa Menabur Angin, sekitar September tahun silam, sempat mengundang perdebatan hangat di masyarakat. Soendoro, bekas anggota DPR dari unsur Partai Nasional Indonesia (PNI), yang membaca isi buku itu secara bersambung di koran terbitan Surabaya, terkejut ketika sampai pada bab III. Di bawah judul "Ibu Pertiwi Hamil Tua", bekas perwira intelijen itu menulis: sejak tahun 1963, PKI sudah merasa siap tempur. Anggota PKI kian besar, dan partai berhasil menyusupkan kadernya ke mana-mana. Di Jawa Tengah, misalnya, sejumlah posisi bupati dan wali kota sudah diduduki orang PKI. Begitu pula di Jawa Timur di antaranya: Bupati Nganjuk. Bupati Nganjuk 1963? "Bagaimana ia bisa menyimpulkan Bupati Nganjuk pada 1963 itu bekerja sama dengan PKI, sebab pada tahun itu saya yang menjadi bupati di sana," kata Soendoro, bekas Ketua I PNI Jawa Timur, yang bergabung dalam PNI pimpinan Osa Maliki dan Oesep Ranuwijaya (PNI Osa-Oesep). Ia langsung menelepon Soegiarso. "Saya minta nama baik saya direhabilitir lewat media massa," kata Soendoro. Tapi Soegiarso, yang mengaku tulisan itu bersumber dari laporan Committee Central PKI (CCPKI) Agustus dan Desember 1963, minta maaf lewat telepon, warkat pos, dan surat. Sedangkan pada buku SMAAMB, cetakan kedua, Soegiarso hanya bisa meralat di secarik kertas, yang ditempelkan di halaman pertama buku itu. Ralat itu, dianggap Soendoro tidak efektif. Apalagi ketika buku SMAAMB beredar, soal bersih lingkungan tengah ramai dibicarakan. Karena itu, November tahun lalu, Soendoro, yang Ketua Ikadin Cabang Malang, mendaftarkan gugatan ke meja hijau. Tergugat Soegiarso, 70 tahun, menerima putusan itu. "Saya kira saya terima saja," ujar Soegiarso, yang kini kurus akibat didera berbagai penyakit. Alasannya? "Saya tidak punya tenaga dan biaya untuk naik banding," kata Soegiarso. Kendati begitu, Soegiarso merasa tak pernah bermaksud mencemarkan Soendoro. Sebab, Bupati Nganjuk yang dimaksudnya, katanya, bukan Soendoro. Pada 1963 itu, katanya, ada dua bupati di Nganjuk. "Kepala daerah dengan gelar bupati yang diangkat pusat dan satu lagi bupati yang dipilih oleh daerah," kata bapak enam anak itu. Sayangnya, katanya, orang yang tahu betul ada bupati lain di Nganjuk, tak bersedia jadi saksi. Pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah Sarinah itu mengaku bukunya itu tak membuatnya jadi kaya. Sebab, setelah buku itu beredar, bajakannya pun meramaikan pasar. Malah, katanya, kini ribuan eksemplar buku itu menumpuk di gudangnya. "Sudahlah, saya hanya korban," kata Soegiarso pasrah. Bunga Surawijaya dan Herry Mohammad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus