Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pihak Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih bersedia melakukan tes DNA untuk mengungkap dugaan bayi tertukar.
Kepolisian akan melakukan tes DNA dan menelusuri rekam medis bayi.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati menyatakan potensi tertukarnya pasien karena kesalahan identifikasi seharusnya tidak terjadi.
DUGAAN bayi tertukar di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih, Jakarta Pusat, viral di media sosial setelah ayah sang bayi berinisial MR, 27 tahun, mengunggah pernyataan soal bayinya tertukar dalam keadaan meninggal. Dalam video, MR mengatakan anaknya lahir di RS Islam Cempaka Putih pada 16 September 2024, kemudian keesokan hari kondisi bayinya dilaporkan kritis, lalu meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angel, pendamping keluarga MR, menyatakan bahwa orang tua bayi itu memiliki sejumlah bukti yang menguatkan dugaan bayi yang dilahirkan pada 16 September itu berbeda dengan ciri-ciri bayi yang dinyatakan meninggal oleh pihak rumah sakit. Dia menyebutkan pihak keluarga sudah mengukur panjang jasad bayi dengan menggunakan sarung anak-anak setelah membongkar kembali kuburnya.
“Waktu itu sempat ditaruh di atas sarung dan ternyata panjang bayi itu melebihi sarung yang dilipat,” kata Angel saat dihubungi, Ahad, 15 Desember 2024.
Ada sejumlah bukti yang diklaim oleh MR, di antaranya panjang tubuh bayi, tahi lalat di bagian wajah, hingga pusar bayi.
Untuk membantah klaim MR itu, pihak RSIJ Cempaka Putih menyatakan bersedia melakukan tes DNA untuk mengungkap kasus dugaan bayi tertukar. Sebab, menurut Direktur Utama RS Islam Jakarta Cempaka Putih Pradono Handojo, pihaknya telah menjalankan prosedur yang berlaku tentang operasional rumah sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menjelaskan bahwa rumah sakit sudah memberikan informasi tentang jenis kelamin bayi dan informasi lain sesuai dengan prosedur yang berlaku. “Berdasarkan hal itu, kami meyakini semua prosedur telah dijalankan sebagaimana mestinya,” kata Pradono melalui keterangan resmi melalui akun Instagram RSIJ Cempaka Putih, pada Selasa, 10 Desember 2024.
Pihak Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih, Jakarta Pusat, bersama MR, 27 tahun, di Jakarta, 9 Desember 2024. ANTARA
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Susatyo Purnomo Condro telah turun tangan dalam kasus dugaan bayi tertukar di RSIJ Cempaka Putih. “Membentuk tim khusus untuk penanganan perkara tersebut,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Muhammad Firdaus melalui aplikasi perpesanan WhatsApp.
Firdaus menuturkan, untuk membuktikan klaim MR itu, kepolisian akan melakukan tes DNA dan menelusuri rekam medis bayi.
Menurut ahli hukum kesehatan dari Universitas Indonesia, Wahyu Andrianto, selain penelusuran rekam medis dan informed consent, tes DNA dapat dilakukan untuk memperkuat dalam membuktikan dugaan bayi tertukar di rumah sakit. “Selain penelusuran rekam medis dan informed consent, secara medis dapat diperkuat dengan tes DNA,” kata Wahyu saat dihubungi.
Dia menjelaskan, sebelum ada tes DNA, pembuktian orang tua bayi dapat dilakukan dengan tes golongan darah. Tes golongan darah diterapkan dalam kasus bayi tertukar pada 1987, yakni kasus Cipluk dan Dewi. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, ditemukan tes DNA yang lebih akurat. “Kemungkinan, nantinya dalam perkembangan lebih lanjut di masa yang akan datang, dapat dipergunakan tes genom,” ujarnya.
Untuk penelusuran rekam medis, Wahyu mengatakan, pihak yang berwenang meminta adalah penegak hukum. Di dalam rekam medis tercatat lengkap bagaimana riwayat bayi, dari waktu kontrol, persalinan, hingga penyerahan bayi kepada orang tua. Begitu juga dengan informed consent, yaitu informasi yang disampaikan dokter atau tenaga medis kepada pasien sebelum pemberian tindakan.
Wahyu menyatakan seharusnya kasus bayi tertukar di rumah sakit tidak boleh terjadi. Rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum yang dibagi menjadi dua. Pertama adalah pelayanan medis. Kedua adalah tindakan medis.
Dalam kasus bayi tertukar, berarti ada pelayanan medis di rumah sakit yang tidak berjalan sebagaimana mestinya atau tak sesuai dengan prosedur operasi standar. Di rumah sakit, ada standar pelayanan, standar profesi, dan standard operating procedure (SOP). Karena itu, apabila kasus dugaan bayi tertukar ini terbukti, harus ada tindakan dari rumah sakit untuk menyelesaikannya dan bertanggung jawab.
Apabila ditarik dari Undang-Undang tentang Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009, pada Pasal 46 jelas disebutkan bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Undang-undang ini kemudian dicabut pada 8 Agustus 2023. Meski demikian, aturan ini tetap hidup, bahkan lebih kuat, melalui Pasal 193 Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Dalam pasal tersebut tegas dinyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh sumber daya manusia (SDM) kesehatannya. SDM kesehatan ini meliputi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan tenaga pendukung. Artinya, apa pun penyebabnya, terlepas dari kelalaian tenaga kesehatan, sebagai suatu institusi atau badan hukum, rumah sakit harus bertanggung jawab berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Selain dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, bisa juga ditarik dari Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain atau barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. “Ini kalau ditarik ke ranah pertanggungjawaban itulah yang disebut vicarious ability,” ujar Wahyu.
Terlepas dari kelalaian tenaga kesehatan, rumah sakit harus memastikan kualitas tenaga kesehatannya. Karena itu, di rumah sakit ada namanya proses kredensial dan rekredensial yang dilakukan secara berkala. Tidak hanya itu, ada juga namanya SOP, Hospital bylaws, atau Peraturan Internal Rumah Sakit.
Kredensial adalah proses untuk mengevaluasi kompetensi, pengalaman, dan profesionalisme tenaga kesehatan dalam suatu profesi. Sedangkan rekredensial adalah proses evaluasi ulang terhadap tenaga kesehatan yang sudah memiliki kewenangan klinis untuk menentukan kelayakan pemberian kewenangan klinis.
Dalam penanganan kasus bayi tertukar, apabila merujuk pada Undang-Undang Kesehatan, kata Wahyu, ada yang namanya pidana korporasi, tapi dalam implementasinya belum jalan. Selain itu, ada yang namanya ganti rugi secara materiil.
Pada Undang-Undang Kesehatan pun terdapat pasal yang mengatur mengenai ganti rugi yang harus diberikan oleh rumah sakit atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga medis, maupun tenaga pendukung yang jadi tanggung jawabnya. Bahkan, jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada dua pasal yang bisa dijadikan rujukan. Pertama, Pasal 1367 tentang tanggung jawab institusi atau badan hukum terhadap pekerjanya. Kemudian Pasal 1365 tentang perbuatan melawan hukum. Rumah sakit harus memberikan ganti kerugian kalau seandainya memang terjadi kasus bayi tertukar.
Atas dasar inilah, Wahyu mengingatkan bahwa seharusnya di rumah sakit ada regulasi yang jalan, yang disebut Hospital bylaws.
Menanggapi peristiwa ini, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati menyatakan potensi tertukarnya pasien karena kesalahan identifikasi seharusnya tidak terjadi. Sebab, identifikasi pasien telah menjadi salah satu standar akreditasi rumah sakit tentang sasaran keselamatan pasien.
“Di Indonesia, secara nasional, untuk seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, diberlakukan sasaran keselamatan pasien nasional sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien,” kata Ani.
Sasaran keselamatan pasien yang dimaksudkan terdiri atas sasaran satu mengidentifikasi pasien dengan benar; sasaran dua meningkatkan komunikasi yang efektif; sasaran tiga meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai; sasaran empat memastikan sisi yang benar, prosedur yang benar, pasien yang benar pada pembedahan/tindakan invasif; sasaran lima mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan; dan sasaran enam mengurangi risiko cedera pasien akibat jatuh.
Sasaran Keselamatan Pasien juga telah tercantum dalam KMK Nomor HK.01.07/MENKES/1596/2024 tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit. Dalam standar akreditasi Rumah Sakit, rumah sakit harus menerapkan proses untuk menjamin ketepatan identifikasi pasien. Pelaksanaan identifikasi pasien dilakukan setidaknya menggunakan minimal dua identitas, yakni nama lengkap dan tanggal lahir/barcode (tidak termasuk nomor kamar atau lokasi pasien), agar tepat pasien dan tepat pelayanan sesuai dengan regulasi rumah sakit.
Dalam dugaan bayi tertukar ini harus dipastikan lebih dulu apakah benar terdapat kejadian bayi tertukar atau tidak. Di luar hal tersebut, insiden keselamatan pasien, seperti bayi tertukar, dapat terjadi karena faktor individu, faktor sifat dasar pekerjaan, faktor lingkungan organisasi dan manajemen, serta faktor lingkungan fisik dan tempat kerja.
Jika terjadi insiden keselamatan pasien, kata Ani, rumah sakit melalui komite/tim penyelenggara mutu menindaklanjuti laporan dengan melakukan investigasi komprehensif (RCA) atau investigasi sederhana (Simple RCA).
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Diyah Puspitarini menuturkan kasus dugaan bayi tertukar di RSIJ Cempaka Putih perlu segera diselesaikan. “Menurut saya, perlu segera dibuktikan bayi tersebut benar tertukar atau tidak dengan tes DNA,” tutur Diyah.
Menurut dia, secara umum, potensi bayi tertukar dalam beberapa kasus bisa terjadi karena faktor kelengahan SDM, seperti halnya kasus bayi tertukar di Rumah Sakit Sentosa Bogor yang berakhir damai. Sementara itu, dalam kasus RSIJ Cempaka Putih, kedua belah pihak akan menempuh jalur mediasi di KPAI sembari menunggu tes DNA beserta hasilnya.
Selain faktor kelengahan SDM, longgarnya pengawasan bisa menjadi celah terjadinya kasus bayi tertukar. Sebab, pengawasan memegang kunci dalam aktivitas medis di rumah sakit. Apabila kasus dugaan bayi tertukar tersebut terbukti, kata Diyah, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab rumah sakit, terutama jika tidak ada unsur kesengajaan, sama seperti kasus yang terjadi di Bogor. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo