EDDY bin M. Otang Suhaedi bukanlah sosok yang layak ditakuti. Anaknya ganteng, bersih, dan jalannya agak pincang. Anak jebolan kelas III SMP yang masih pengangguran itu umurnya masih 18 tahun. Masa kecilnya kurang bahagia, karena ketika ia umur 8 tahun, ibunya meninggal. Setelah itu, ia diasuh ibu tiri, sampai dua kali. Sebagai penganggur, kawan akrabnya adalah minuman keras. Sekali waktu, dengan bau khas minuman keras yang keluar dari mulutnya, ia menemui temannya Usin bin Ratain. Kepada Usin yang umurnya sepantar itu, Eddy menyuruhnya mengasah pisau yang disodorkan. Untuk apa? "Untuk membunuh Kakek dan Nenek Noing," jawabnya. Usin, pengangguran yang cuma jebolan kelas V SD itu tak berani menolak ketika diajak ke rumah Kakek Noing. Beberapa hari sebelumnya, ia juga diajak Eddy merampok, tapi ditolaknya. Kini, ajakan itu sulit dihindari. Rumah Kakek Noing di Kapuk, Cengkareng, Jakarta, bukanlah tempat yang jauh. Hanya berjarak 30 meter dari rumah Eddy. Minggu malam, 10 Mei 1987, mereka berdua pura-pura bertamu di rumah Kakek dengan alasan menunggu jemputan mobil yang hendak ke Bogor. Sampai pukul 23.00 mobil jemputan -- yang memang cuma karangan itu -- jelas tak nongol. Sementara itu, Kakek Noing dan Nenek Onah sudah mulai terserang kantuk. Adegan selanjutnya, seperti yang ada di skenario Eddy. Radio dinyalakan keras-keras. Ia dekati ranjang neneknya, kelambu dibuka. Tangan kanan memegang pisau, tangan kiri memegang bantal. Secara bareng pisau ditusukkan ke lambung, dan tangan kiri membekap mulut neneknya. Ternyata, Nenek Onah masih bisa berontak, masih berteriak minta tolong. Lalu ia sudahi dengan tusukan pada buah dadanya. Nenek Onah, 69 tahun, pun meninggal. Mendengar suara Onah minta tolong, Kakek Noing, 70 tahun, langsung bangkit dari tidurnya di lantai yang beralas tikar. Di sini, giliran Usin beraksi. Pisaunya dihunjamkan ke perut si kakek hingga sulit dicabut. Melihat kakeknya masih bisa memberi perlawanan, Eddy buru-buru mencabut pisau miliknya yang nyangkut di kelambu, lalu menusukkannya ke leher Kakek Noing. Tapi, tenaga si kakek masih ada. Dan dengan sisa tenaga itulah ia berhasil melukai jari telunjuk Eddy dengan cara menggigit. Setelah itu Kakek Noing mati. Kerja besar telah selesai, Eddy lalu menyuruh Usin mencopot tiga cincin dari jari neneknya, juga gelangnya. Suara radio yang keras tetap berbunyi, sedang lampu di rumah itu dimatikan. Dua remaja pembunuh ini pun meninggalkan rumah itu tanpa rasa risau. Hasil emas jarahan dijual Rp 100 ribu yang Rp 40 ribu untuk beli pakaian, sisanya untuk bekal melarikan diri. Usin lari ke Rangkasbitung, sedangkan Eddy ke Baros, Serang, rumah bapaknya yang baru ditempati. Sampai hari keenam setelah melarikan diri, Eddy gelisah. Di hadapan bapaknya dengan menangis ia menyatakan penyesalan. "Maaf, Pak. Saya yang membunuh Kakek & Nenek di Kapuk," kata Eddy, menurut cerita bapaknya. Dan sebelum orangtua Eddy menyerahkannya kepada yang berwajib, Eddy sudah dijemput polisi. Seperti juga Eddy, Usin akhirnya berterus terang kepada familinya, Sukarman. Dan oleh Sukarman, Usin diserahkan ke polisi Rangkasbitung, 30 Mei 1987. Di persidangan PN Jakarta Barat, Eddy tak berbelit mengakui perbuatannya. Hal itu dilakukan, karena, katanya, kakek-neneknya pilih kasih terhadap cucu-cucunya. Saudara perempuannya minta uang Rp 600 ribu langsung diberi. Sedangkan ia pernah minta Rp 100 ribu untuk biaya kursus potong rambut, tak diberi. Padahal, kakek-nenek ini kaya. "Saya merasa sakit hati," katanya. Pekan lalu, Hakim Ketua Nyonya Siti Djuwariah, S.H., mengganjar Eddy dengan hukuman 15 tahun penjara, dan Usin 9 tahun penjara. Mendengar vonis itu, Usin langsung menangis. Ia tak kuasa berjalan meninggalkan sidang, dan harus dipapah petugas. Sedang Eddy masih bisa senyum. "Mungkin saya akan lebih tenang di bui daripada di tengah keluarga," katanya. W.Y. & Priyono B. Sumbogo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini