SEJUMLAH warga Singapura akhir tahun lalu berangkat ke Guangzhou (Canton), RRC, untuk menjalani operasi transplantasi ginjal di Rumah Sakit Nan-Fang. Operasi ini diadakan khusus untuk Cina perantauan. Tapi akhir Januari berselang, negeri itu geger karena tujuh warganya pulang dari sana sudah dalam keadaan tidak bernyawa. "Kematian akibat operasi ang gagal itu terjadi dalam angka waktu singkat, enam minggu terakhir," tulis harian The Straits Times (TST) engan nada menyesal. Di samping ketujuh pasien ward Singapura itu, menurut TST, seorang pasien dari Indonesia juga meninggal. Sejak beberapa waktu lampau memang banyak keturunan Cina dari Indonesia, Singapura, dan Malaysia pergi berobat ke Daratan Cina. Hal itu dibenarkan seorang pengusaha biro perjalanan di Hong Kong, yang keberatan dikemukakan namanya. Melalui wawancara telepon dengan TEMPO, pengusaha asal Indonesia itu menyebutkan, tiap bulan sekitar 30 orang penderita masuk ke Cina untuk berobat. Di musim panas, jumlah itu bisa meningkat. Menurut pengusaha itu, daya tarik pengobatan di Cina yang utama adalah penggabungan terapi modern dan tradisional. Di samping itu, bila dibandingkan dengan biaya pengobatan di Eropa dan Amerika, biaya di Cina jauh lebih murah. Faktor pendukung lainnya: keluar masuk Cina di masa kini sangat mudah. Namun, keberangkatan sejumlah warga nanura dan Indonesia November tahun lalu ke RS Nan-Fang, Guangzhou, punya motivasi khusus. Semuanya penderita ginjal harus menjalani transplantasi. Kesulitan mereka sama, karena tidak tersedianya ginjal, baik di Singapura maupun di Indonesia, sementara di Guangzhou ginjal donor tersedia cukup banyak. Juga di Singapura dan Indonesia, UU yang menyulitkan pasien ginjal mendapatkan donor. Singapura baru memperbaiki UU tentang transplantasi organ tubuh 16 Januari lalu. Indonesia belum terdengar akan mengambil langkah ke sana. Rangkaian operasi yang gagal itu menurut TST, terjadi November lalu. Sekitar 10 penderita dioperasi secara maraton selama dua hari dua malam. Semua pasien, terkena infeksi, dan terpaksa dirawat lebih lama. Pertengahan Desember, lima di antara 10 pasien meninggal dunia. Maka, keresahan pun meluas di antara pasien-pasien yang menunggu. Sebagian besar membatalkan rencana operasi dan memutuskan kembali ke Singapura. Lima pasien yang masih terbaring karena infeksi sebenarnya mengajukan pula permohonan untuk pulang. Namun, tak mendapat izin. Akhir Januari lalu, tiga lagi pasien meninggal -- satu yang dari Indonesia. Dua pasien lagi diperkenankan pulang dalam keadaan cukup parah. Inilah yang menimbulkan reaksi di Singapura. "Kami tidak akan lagi memberikan izin operasi transplantasi di luar negeri, kecuali mendapat jaminan adanya fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai di negara itu," ujar seorang pejabat kementerian kesehatan Singapura. "Saya sangat terkejut melihat kondisi buruk seorang pasien saya yang pulang dari Guangzhou," ucap seorang dokter Singapura. Dokter ini menyesal telah memberikan rekomendasi, karena lima penderita ginjal yang meninggal di Nan-Fang adalah pasiennya. Para pejabat kesehatan Singapura memperkirakan, kegagalan transplantasi itu karena buruknya perawatan masa pasca operasi. Neo Eng Hin, salah seorang pasien yang masih hidup, merasa beruntung karena ia bisa pulang. "Kencing saya harus dikeluarkan melalui kateter dari perut, sesudah operasi," katanya. "Dan sesudah 23 hari lubang di perut saya infeksi." Dokter dan perawat, menurut Neo, mendiamkan saja keadaannya. Chia Siew Yan, seorang pasien wanita menyebutkan pengalamannya dirawat di Nan-Fang sebagai mimpi buruk. Bersama enam pasien lainnya, Chia bercerita tentang kondisi RS Nan-Fang yang sangat buruk. Kamar kecil di unit gawat darurat, kata mereka, sangat kotor dan menyebarkan bau busuk. Tenaga kesehatan di rumah sakit itu juga tidak memadai. Para perawat, tidak profesional, para dokter baru giat apabila dijanjikan hadiah kue kering, minuman keras, atau rokok. Begitu parah mental para dokter itu, hingga seorang pasien sampai memberikan uang, sesuai dengan permintaan sang dokter. Biaya pengobatan, jadi melonjak. Rata-rata pasien Singapura yang terpaksa tinggal di Guangzhou selama hampir tiga bulan, harus mengeluarkan biaya sekitar Sing$ 20.000 (Rp 16 juta). Benarkah semua uraian itu? Pihak RS Nan-Fang yang dihubungi TST lewat telepon menyangkal keras. Prof. ZhangGuoliang dari rumah sakit itu mengatakan, dalam operasi maraton November lalu hanya dua pasien yang meninggal. Itu pun karena usia lanjut. Zhang juga menyangkal adanya pungli. Menurut Zhang, ada 112 operasi transplantasi ginjal di Nan-Fang tahun lalu, dan 85% berhasil. Sementara itu, dr. Tan Tjin Hong, ahli radiologi di Bandung yang pernah berkunjung ke Guangzhou, menyatakan bahwa fasilitas kesehatan di sana cukup memadai. "Kamar perawatannya cukup bersih, ada yang ber-AC seperti hotel," katanya. Namun, menurut Tan keterampilan para dokter di sana tidak istimewa. Dokter-dokter di Indonesia -- sudah sekitar 80 transplantasi ginjal dilakukan di sini -- menurut Tan tidak kalah. Tan, yang berkunjung ke Guangzhou untuk melihat-lihat berpendapat, bahwa kegagalan transplantasi seperti yang baru saja terjadi di Guangzhou sebagai hal yang sangat mungkin. "Risiko ini bisa terjadi pada semua kasus operasi," katanya. Kontaminasi, misalnya, merupakan ketakutan umum dalam operasi. Tercemarnya peralatan oleh kuman, yang mungkin tidak disengaja dan terkategori kecelakaan, memang bisa berakibat fatal. Repotnya, penyebab kontaminasi tak segera bisa ditemukan. Untuk mencegah korban lebih banyak, biasanya operasi-operasi selanjutnya dihentikan. Kemungkinan besar inilah yang terjadi. Menurut beberapa pasien Singapura yang pulang belakangan, semua operasi transplantasi ginjal di Nan-Fang dibatalkan begitu pasien kedelapan meninggal pertengahan Januari lalu. Namun, sebegitu jauh tak ada konfirmasi. Prof. Zhang menyangkal juga pernyataan itu. Operasi sampai sekarang jalan terus, katanya. Jis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini