Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mati gaya santet

Saekan, warga dukuh Jatiagung, Gumukmas, Jember, tewas dikeroyok massa yang menuduhnya tukang santet. Arsumo, kiai dari Ranupakis, Klakah, Lumajang, tewas dibunuh karena ia diisukan tukang santet.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUDI buat Saekan adalah hiburan. Itu sebabnya, penjual barang rongsokan ini nyambi jadi bandar judi dadu. Tapi tak berarti Saekan mengabaikan ibadatnya. Setiap mendengar suara azan, ia hentikan judinya, lalu sembahyang. Dan malam harinya, hampir tiap malam ia lakukan wiridan, dengan suara yang keras. Mungkin karena bertingkah serupa itu, Saekan dianggap rada aneh oleh banyak penduduk desa, termasuk keponakannya sendiri, H.M. Noer S. "Ia memang punya kepribadian yang unik," kata Noer. Karena pribadi yang unik itulah, Saekan, 45 tahun, kemudian dengan gampangnya dituduh tukang santet. Padahal, warga Dukuh Jatiagung, Gumukmas, Jember, ini ribut dengan tetangga pun selama ini tak pernah. Maka, ketika Saekan minta pendapat Noer, keponakannya itu menyarankan agar pamannya pindah ke desa lain saja. "Demi keselamatan Paman," katanya. Tapi Saekan menjawab tegas, "Kalau saya pindah, orang kampung akan membenarkan saya sebagai tukang santet. Tidak. Saya tidak akan pindah. Lebih baik mati daripada harus pindah." Jumat, 8 Januari, sekitar pukul 10.00 malam, rumah Saekan digedor orang. Mereka ternyata Mbok Suria, 60 tahun, ditemani dua menantunya, Sori dan Suka. "Aku minta kau mengobati anakku, malam ini juga," begitu kata Mbok Suria selesai Saekan membukakan pintu. "Lho, saya bukan dokter, bukan dukun. Apa hubungannya dengan aku?" balas Saekan dengan nada tinggi juga. Mbok Suria tidak surut, malah makin geram. "Kaulah yang menyantetnya," kata Mbok Suria. Anak Mbok Suria -- istri Suka -- memang sakit, perutnya membusung besar. Tapi tak dibawa ke dokter malah diobati ke dukun, yang tak jelas namanya. Saran si dukun: Saekanlah yang bisa mengobati karena dari dia sumber santetnya. 15 Januari istri Suka meninggal. Selesai penguburan, sesepuh kampung berembuk dengan kesimpulan: Saekan harus disingkirkan. Senin malam, 18 Januari, dukuh yang belum berlistrik itu tiba-tiba menjadi gempar. Sekitar 50 orang sudah mengepung rumah Saekan. "Kita bertahan saja di sini," begitu kata Ginah, istri Saekan. Rumah dari gedek dan kayu dengan ukuran 5 X 6 meter mendadak seperti digoyang gempa. Batu-batu berhamburan ke atas genting, menghantam gedek dan pintu di sela teriakan hendak memusnahkan Saekan. Saekan bersembunyi di balik peti pengeras suara ukuran 1 X 1/2 meter. Sedang istrinya menghadang penyerbu yang hendak masuk lewat pintu belakang. Tapi, apalah artinya pertahanan itu. Ginah terjungkal karena dorongan yang begitu kuat. Oleh massa tangan Ginah langsung diikat dan didorong sekuat tenaga, hingga terjengkang berkali-kali ke luar rumah. Massa sudah kesetanan. Persembunyian Saekan gampang diketahui. Tanpa ampun, sebuah pisau panjang ditusukkan ke lehernya, hingga tembus. Teriakan minta tolong sia-sia, tertelan emosi massa. Saekan mati. Dan istrinya? Ia berhasil lari menuju ke kantor polisi yang berjarak 3 kilometer. Mayat Saekan oleh mereka dijejalkan ke dalam peti pengeras suara, lalu diusung ke arah barat. Di sebuah tegalan, di pinggir kali kecil berjarak satu kilometer dari rumahnya, Saekan diturunkan, dikuburkan di situ dinihari itu juga. Kubur ternyata sudah disiapkan -- entah oleh siapa. Beberapa menit kemudian polisi datang mengamankan. Dan dinihari itu pula berhasil membongkar kembali kubur Saekan. Ada 7 tersangka yang ditahan: Nipah, Dullah, Marju, Tirama, Misnatun, Minadi, dan Samurni. Kejadian main hakim sendiri secara sadistis ini mengingatkan kejadian Gestapu tempo hari. "Kematian Saekan memang mengerikan. Mengingatkan kita pada cara-cara PKI dulu, sangat keterlaluan," kata Hartono, pemuka masyarakat di Gumukmas. Dan, rupanya, main hakim sendiri dengan mengisukan tukang santet sudah menjalar di mana-mana. Arsumo, 86 tahun, kiai dari Ranupakis, Klakah, Lumajang, juga dihabisi hanya karena diisukan tukang santet. Syaiful dan Djalil, masing-masing 25 tahun, dituduh menghabisi nyawa Arsumo. Menurut keterangan Syaiful kepada polisi, ia mencelurit hingga putus leher Arsumo atas perintah guru ngajinya, Kiai Bahar. Kabar yang ditiupkan Kiai Bahar adalah -- menurut pengakuan Syaiful lagi -- ayahnya mati karena disantet Kiai Arsumo. Dengan alasan itu Syaiful siap menjalankan perintah. "Kalau tidak saya turuti, saya malu, Pak," begitu kata Syaiful kepada polisi. Syaiful dan Djalil memang lebih sering tinggal di rumah Kiai Bahar ketimbang di rumah sendri. Lagi pula, dalam agama, yang dikenal Syaiful adalah dogma: Sami'na wa ato'na, kami dengar dan kami taat. Sayang, penerapannya dikacaukan Syaiful. Arsumo kemudian dicelurit. Pada mayat yang tak berkepala itu ditaruh sobekan kertas kalender dengan tulisan spidol merah berbunyi: "Pengkhianat, pengecut, dan tukang tenung." Adapun peran Djalil dalam pembunuhan ini adalah ikut mengatur rencana pembunuhan. Peristiwa pada pertengahan Mei 1987 ini terungkap karena kopiah hitam Syaiful tertinggal di tempat kejadian. Hal lain, ternyata, ada pengakuan Sahir -- orang yang semula disuruh membunuh Arsumo tapi menolak. Syaiful, Djalil, Kiai Bahar pun ditangkap. Oleh pengadilan Negeri Lumajang, 28 Januari lalu, Syaiful diganjar 8 tahun, Djalil 3,5 tahun. Kiai Bahar akan diputus kemudian. Apakah Arsumo benar-benar tukang santet? Sampai kini tak jelas. Ada dugaan -- belum terbukti benar -- Kiai Bahar menyuruh menghabisi Arsumo karena rebutan pengaruh memperebutkan santri di situ. Lalu dilemparkan isu santet. Dan karena isu santet pula, di desa ini, beberapa bulan lalu juga terbunuh seorang perempuan tua -- dan pembunuhnya belum tertangkap, hingga kini. Widi Yarmanto (Jakarta) & Harry Mohammad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus