Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menerobos tbc dengan pap

Dr Indro Handojo dari UNAIR Surabaya menemukan cara baru & murah untuk mengetes penderita TBC, disebut uji peroksidase-anti-peroksidase (PAP). Terbuka peluang besar untuk melacak penderita TBC di Indonesia.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGUKUR tingkat kemiskinan tidak selalu harus dengan menghitung penghasilan per kapita penduduknya. Ada cara lain: menghitung jumlah penderita TBC. Statistik ilmu kesehatan masyarakat menunjukkan, penyakit ini adalah pasangan tetap kemiskinan. Rendahnya tingkat perekonomian suatu masyarakat senantiasa berarti besarnya persentase penderita TBC. Sebaliknya, ekonomi yang sehat di suatu neara selalu diikuti turunnya angka penderita tuberkulosis, atau TBC. Karena itu, TBC lebih merupakan masalah ilmu kesehatan masyarakat, daripada ilmu kedokteran. Seluk-beluk TBC di sisi medis, dari penyebab sampai vaksinasi dan pengobatannya, praktis sudah lengkap ditemukan. Yang masih terus dicari terobosannya ialah bagaimana menyusun program pemberantasan penyakit itu secara efektif. WHO, organisasi kesehatan sedunia itu, hingga kini masih terus mencari strategi lapangan. Yang harus dikejar adalah angka penambahan penderita yang mencapai 10 juta per tahun di dunia, dengan angka kematian 3 juta setiap tahun. Dalam keadaan yang memprihatinkan itu, Januari lalu seorang dokter di Universitas Airlangga, Surabaya, membuat terobosan unik. Dokter itu Indro Handojo, berhasil menegakkan metode tes yang terbilang baru di bidang ilmu kedokteran, dan sekaligus efektif untuk melacak penderita TBC di lapangan. "Target saya mencari cara yang akurat tapi murah untuk digunakan di lapangan," ujar Indro. Ahli patologi yang sudah membuat 18 publikasi internasional ini berhasil mencapai target setelah mempertahankan disertasinya berjudul, Uji Peroksidase-Anti-Peroksidase (PAP) pada Penyakit Tuberkulosis. Ayah satu anak, dan lahir pada 1 Januari 1949, itu lulus dengan predikat cum laude. Yang menjadi penggerak utama bagi Indro ialah kenyataan, masih tingginya angka penderita TBC di Indonesia. Terhitung sejak awal pencatatan yang akurat di tahun 1965, tidak terlihat perubahan yang berarti. Penurunan angka penderita TBC di Indonesia rata-rata hanya 0,3% per tahun. WHO memperkirakan ada sekitar 5 juta penderita TBC di negeri ini, tapi yang tercatat hanya sekitar 450.000. Yang mencemaskan justru sebagian besar dari yang tidak terjaring itu yang berada pada stadium aktif untuk menularkan bibit penyakit. Berbagai upaya telah dijalankan Departemen Kesehatan dengan bantuan WHO, mulai dari pengetesan, vaksinasi, sampai penyebaran obat. Namun, hasilnya terbatas, karena mahalnya semua upaya itu. Di sinilah letak pentingnya terobosan Indro. Staf pengajar Universitas Airlangga dan juga dokter pada RS dr. Soetomo Surabaya ini justru tertarik untuk menekan biaya pengetesan. Secara pukul rata, pengetesan penderita TBC yang dilakukan berulang-ulang selama 6-9 bulan, masan biaya sampai Rp 120.000,00 per orang. Maka, untuk 450.000 penderita saja -- belum terhitung pengetesan mencari penderita baru -- diperlukan dana Rp 18 milyar per tahun. Indro dengan tes temuannya -- disebut uji Peroksidase-Anti-Peroksidase (PAP) -- bisa menurunkan biaya tes secara menakjubkan, dari Rp 120.000,00 menjadi Rp 7.500,00 saja. "Untuk satu tes, cukup Rp 2.500,00" katanya. "Bila dalam jangka 9 bulan perlu diulang sampai 3 kali, jumlah biaya total Rp 7.500,00." Selain murah, peralatan tes yang diperlukan juga sangat sederhana. "Biasanya diperlukan mikroskop Juorescence yang harganya Rp 100 juta lebih. Dengan PAP yang diperlukan hanya mikroskop biasa yang sederhana," ujar dokter itu. Maka, pengetesan TBC, yang biasanya harus dilakukan di rumah sakit besar, kini bisa dilakukan juga di puskesmas-puskesmas. Keluarbiasaan penemuan Indro bukan cuma pada biaya murah itu. Metode uji PAP ternyata juga bisa digunakan tunggal, sebagai satu-satunya tes untuk menegakkan diagnosa. Dan ini jauh lebih mudah dibandingkan cara pengetesan yang berlaku kini, yang bukan hanya ruwet tapi juga tak cukup dengan satu kali tes saja. Soalnya, diperlukan pengetesan dahak di laboratorium, lalu pemeriksaan radiologis (ronsen), observasi klinis, dan beberapa lagi. Semua jenis pengujian ini punya kelemahan, sehingga harus digabungkan untuk memastikan apakah seseorang menderita TBC atau tidak. Metode tes yang ditemukan paling akhir -- sebelum Indro -- adalah uji serologis immunofluorescense assay yang ditegakkan di tahun 1980. Pengujian ini bisa dilaksanakan secara tunggal dan cepat terhadap sejumlah besar sampel darah, karena prinsipnya hanya mencocokkan grafik hasil tes. Namun, seperti uji serologis radioimmunoassay dan ELISA yang diterapkan untuk melacak AIDS, pengujian ini memerlukan peralatan canggih yang mahal. Tidak demikian halnya dengan temuan Indro. Metode pengujian dokter dari Surabaya ini, pada dasarnya, adalah pelacakan bakteri penyebab TBC mycobacterium tuberculosis melalui mikroskop. Kekhasannya adalah: media (campuran) yang digunakan pada pengetesan itu. Dan inilah pokok penelitian Indro sejak 1983. Media itu berupa antigen (zat perangsang antibodi), yang ditemukan Indro pada plasma sel bacille Calmete-Guerin atau BCG (salah satu turunan mycobacterium toberculosis yang juga digunakan untuk vaksinasi). Media ini terbukti bisa melacak kehadiran sejenis protein penting pada darah, yan disebut Imunolobulin G (Ig G) yang secara khas diproduksi darah, khusus menghadapi bakteri TBC. Dengan menganalisa Ig G saja, semua kondisi TBC bisa dilacak, termasuk awal kejangkitan, proses penyembuhan, dan resistensi. Menurut Indro, RS dr. Soetomo sudah memutuskan akan mengambil prakarsa membuat media pelacak Ig G itu, untuk nantinya disebarkan ke puskesmas-puskesmas. Bila program ini kelak diambil alih Departemen Kesehatan dan WHO, akan terbuka peluang besar untuk melacak penderita yang tersembunyi di Indonesia, yang jumlahnya masih sekitar 4,5 juta itu, dan 10 juta penderita TBC baru di dunia, yang muncul setiap tahun. Jim Supangkat (Jakarta) dan Z. Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus