Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekhawatiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kini menjadi kenyataan. Upaya Presiden menyelamatkan wibawa Mahkamah Konstitusi-setelah ketuanya, M. Akil Mochtar, ditangkap karena kasus korupsi-menuai gugatan bertubi-tubi. Sebelumnya, "serangan" langsung muncul begitu Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) "penyelamatan" Mahkamah Konstitusi. Namun, begitu perpu itu disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, gugatan lama tersebut otomatis gugur. Lalu gugatan baru muncul pula sebelum undang-undang itu dilaksanakan.
Kini sidang Mahkamah Konstitusi yang melakukan uji materi atas perpu yang sekarang sudah jadi undang-undang itu memasuki tahap-tahap akhir. Awal pekan ini, setelah diberi kesempatan beradu pendapat, para pihak yang bersengketa diminta menyampaikan kesimpulan mereka. Selanjutnya hakim konstitusi akan bermusyawarah: menolak atau menerima gugatan uji materi alias judicial review itu. "Saya optimistis menang. Dari pemerintah tak ada perlawanan yang meyakinkan," kata Andi M. Asrun, pengacara yang memohon uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, Rabu pekan lalu.
Presiden Yudhoyono meneken perpu itu pada 17 Oktober tahun lalu-dua pekan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Akil Mochtar di rumahnya. Sewaktu mengumumkan rencana penerbitan perpu, Yudhoyono menyatakan harapan sekaligus kekhawatiran. Dia berharap perpu itu tak mudah dibatalkan, misalnya lewat uji materi. "Jika itu terjadi, tak ada yang bisa dilakukan untuk koreksi," kata Yudhoyono.
Sebagai dasar penerbitan perpu, Presiden merujuk pada Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal itu menyatakan presiden berhak menerbitkan perpu bila ada "kegentingan yang memaksa". Nah, menurut Presiden, penangkapan seorang Ketua Mahkamah Konstitusi bisa digolongkan sebagai kegentingan yang memaksa. Sepanjang sejarah Indonesia, belum pernah ada pejabat setingkat Ketua Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung tertangkap tangan.
Setelah Akil ditangkap, kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi pun anjlok. Itu terlihat dari hasil sebuah survei pada 4-5 Oktober tahun lalu. Dari 1.200 responden di 33 provinsi, hanya 28 persen yang masih percaya kepada Mahkamah Konstitusi. Padahal, sebelum Akil tertangkap, kepercayaan kepada Mahkamah Konstitusi selalu di atas 60 persen. Angka itu konsisten dalam tiga tahun terakhir.
Perpu itu juga terbit dengan alasan ada kebutuhan mendesak untuk mengantisipasi kekosongan kursi hakim konstitusi. Sebelum pemilihan umum legislatif, 9 April 2014, dua kursi bakal kosong. Satu karena ditinggalkan Akil Mochtar, jika dia diberhentikan tetap. Satu lagi ditinggalkan Harjono, yang bakal pensiun sebagai hakim konstitusi pada 24 Maret 2014.
Bila kursi tersebut tak segera diisi, hakim konstitusi yang tersisa tinggal tujuh orang. Padahal syarat sahnya sidang putusan di Mahkamah Konstitusi harus dihadiri minimal tujuh orang. Jika seorang hakim saja berhalangan, Mahkamah Konstitusi tak bisa membuat putusan. Kini, setelah keputusan presiden mengangkat Patrialis Akbar dan Maria Farida dianulir Pengadilan Tata Usaha Negara, ancaman krisis kursi hakim konstitusi semakin "di depan hidung".
Perpu tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Mahkamah Konstitusi itu mengatur tiga hal utama: penambahan syarat calon, perubahan mekanisme pemilihan, dan perubahan mekanisme pengawasan hakim konstitusi. Syarat calon hakim konstitusi ditambah keharusan lepas dari partai politik paling tidak selama tujuh tahun. Selama ini sejumlah hakim baru melepas keanggotaan partai ketika mereka mulai bertugas di Mahkamah Konstitusi.
Untuk menyeleksi hakim konstitusi juga dibentuk Panel Ahli. Panel terdiri atas tujuh orang: tiga anggotanya diusulkan masing-masing oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan presiden. Empat lainnya dipilih Komisi Yudisial. Selama ini presiden tinggal menetapkan calon hakim konstitusi yang diusulkan DPR, Mahkamah Agung, dan presiden sendiri. Dengan perpu ini, presiden hanya bisa menunjuk calon yang lolos uji kepatutan dan kelayakan oleh Panel Ahli.
Untuk pengawasan, perpu mengatur pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat permanen. Majelis Kehormatan dibentuk Mahkamah Konstitusi bersama Komisi Yudisial. Kebiasaan selama ini, Mahkamah Konstitusi baru membentuk majelis kehormatan ketika ada kasus dugaan pelanggaran etika oleh hakim.
Meski dirancang untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, perpu itu langsung dipersoalkan sejumlah kalangan sejak masih "jabang bayi". Sebagian politikus DPR, misalnya, mempersoalkan masa "idah" politik selama tujuh tahun. Adapun hakim konstitusi mempersoalkan rencana kehadiran lembaga pengawas dari luar lembaga yang bersifat permanen pula.
Beberapa hari setelah perpu itu diumumkan, sekelompok pengacara dan individu langsung mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Mereka antara lain Andi M. Asrun dan kawan-kawan yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi. Total tak kurang dari lima permohonan uji materi yang meminta perpu itu dibatalkan.
Lewat pemungutan suara, pada 19 Desember lalu, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui perpu itu menjadi undang-undang. Pada 30 Januari lalu, Mahkamah Konstitusi pun menyatakan permohonan uji materi perpu itu tak dapat diterima. Alasannya, setelah perpu berubah "kelamin" menjadi undang-undang, permohonan uji materi itu kehilangan obyeknya.
Kandas pada gugatan pertama, Andi M. Asrun dan kawan-kawan langsung menguji materi undang-undang yang belum seumur jagung tersebut. Sambil mempersoalkan "bolong-bolong" pada naskah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 itu, mereka pun menggugat substansi undang-undang tersebut. Tiga poin utama yang mereka persoalkan adalah penambahan syarat calon hakim konstitusi, seleksi oleh Panel Ahli, dan pengawasan oleh majelis kehormatan.
Asrun dan kawan-kawan juga secara khusus mempersoalkan penambahan peran Komisi Yudisial dalam seleksi dan pengawasan hakim konstitusi. Menurut mereka, peran itu tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial. "Undang-undang baru ini merusak sistem ketatanegaraan," kata Asrun, yang pernah menjadi anggota staf ahli Mahkamah Konstitusi.
Sejak lepas dari jabatan staf ahli pada 2006, Asrun menjadi pengacara puluhan perkara sengketa pemilihan kepala daerah yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Meski sering wira-wiri di Mahkamah Konstitusi, Asrun menolak bila gugatan mereka disebut mewakili kepentingan para hakim konstitusi. "Tidak ada cerita itu. Kami didorong oleh idealisme," ujar Asrun, yang juga Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor.
Di samping Asrun dan kawan-kawan, ada tujuh dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur, yang mengajukan uji materi undang-undang ini. Mereka, antara lain, mempersoalkan kualifikasi panel ahli yang boleh hanya bergelar "magister" atau berpendidikan strata 2 (S-2). Padahal calon hakim konstitusi yang mereka uji harus bergelar doktor atau strata 3 (S-3). "Tidak logis dan tidak wajar. Bagaimana mungkin seorang magister menguji calon yang bergelar doktor?" kata Nurul Ghufron, Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember yang juga merupakan salah satu pemohon uji materi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana berharap Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi. Menurut Denny, undang-undang itu justru dirancang untuk membantu Mahkamah Konstitusi kembali mendapat kepercayaan publik. Bila Mahkamah mengabulkan uji materi itu, ancaman krisis kekosongan hakim konstitusi pun akan makin sulit diatasi. Padahal Mahkamah Konstitusi menghadapi kemungkinan terjadinya sengketa hasil Pemilihan Umum 2014. "Jadi betapa berbahayanya jika permohonan ini dikabulkan," kata Denny, Kamis pekan lalu.
Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan wibawa Mahkamah Konstitusi bisa semakin terpuruk bila mengabulkan permohonan uji materi itu. Soalnya, publik bakal menilai Mahkamah tak mendukung peraturan yang justru dirancang untuk membenahi lembaga itu.
Suparman kembali mengingatkan prinsip imparsialitas yang berlaku di dunia hukum. Hakim semestinya tidak mengadili perkara yang menyangkut kepentingan sendiri. Mahkamah Konstitusi sudah dua kali mengadili perkara yang langsung menyangkut urusan dapur mereka. Salah satunya soal pengawasan oleh Komisi Yudisial. "Di situ jelas ada konflik kepentingan," ujar Suparman. Kini, karena Mahkamah Konstitusi telanjur menyidangkan permohonan uji materi, menurut Suparman, sebaiknya para hakim menolak gugatan itu. "Di babak akhir, mereka sebaiknya mengambil putusan demikian," katanya.
Jajang Jamaludin, Maria Hasugian, Tika Primandari, Mahbub Djunaidy (Jember)
Dituding Merusak Kemandirian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, yang dirancang untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, oleh para pemohon uji materi justru dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Mereka beralasan undang-undang tersebut bakal merusak kemandirian hakim konstitusi dan melemahkan kepercayaan publik.
Tiga poin utama yang mereka gugat:
1. Penambahan syarat calon hakim konstitusi, yakni tidak menjadi anggota partai politik paling singkat tujuh tahun.
2.Mekanisme pemilihan hakim konstitusi yang melibatkan panel ahli yang dibentuk Komisi Yudisial. Panel ahli itu beranggotakan tujuh orang: satu mewakili Dewan Perwakilan Rakyat, satu mewakili Mahkamah Agung, satu mewakili pemerintah (presiden), dan empat mewakili masyarakat.
3. Pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi yang bersifat permanen untuk mengawasi hakim konstitusi. Majelis beranggotakan lima orang ini dibentuk Komisi Yudisial bersama Mahkamah Konstitusi dengan sekretariat di Komisi Yudisial.
Tuntutan:
Dua Potensi Konflik Kepentingan
1.Para penggugat merupakan kelompok pengacara yang biasa beperkara di Mahkamah Konstitusi.
2.Mahkamah Konstitusi mengadili sendiri perkara yang menyangkut kepentingan lembaga dan para hakim konstitusi.
Teks: Jajang Jamaludin | Sumber: Berkas permohonan uji materi dan wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo