Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sudah Renta Dibuang Pula

Tak sanggup membayar biaya, seorang pasien "dibuang" ke jalanan. Melibatkan pejabat rumah sakit.

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suparman alias Mbah Darmo, 60 tahun, mengerang kesakitan ketika dipapah masuk ambulans. Kain perban masih membebat kedua tangan dan kakinya yang tinggal tulang berbalut kulit. "Tak ada pemberontakan," kata Muhaimin, sopir ambulans Rumah Sakit Umum Dadi Tjokrodipo, Lampung, menuturkan kembali peristiwa Senin sore, 20 Januari lalu, itu kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Ketika memapah Suparman, semula Muhaimin hanya dibantu seorang perawat bernama Rika Aryadi. Adapun dua atasan mereka mengamati dari jauh. Keduanya adalah Heriyansah, Kepala Subbagian Umum dan Hubungan Masyarakat, serta Mahendri, Kepala Ruangan Inap Gedung E Bagian 2.

Sewaktu Muhaimin, 33 tahun, hendak memasukkan Suparman ke ambulans, tiga petugas kebersihan tiba di area parkir belakang rumah sakit. Mereka adalah Andika, 25 tahun, Adi Subowo (21), dan Andi Febrianto (23). Ketiganya langsung membantu menaikkan Suparman ke dalam mobil.

Sore itu, sekitar pukul 15.00, Andika dan dua kawannya datang ke tempat parkir atas perintah Mahendri. Padahal jam kerja mereka berakhir pada pukul 14.00. "Saat dalam perjalanan pulang, saya diminta kembali," ujar Andika.

Menurut Muhaimin, mereka berlima kemudian mendapat instruksi membawa keluar Suparman, yang sudah empat hari dirawat di ruangan E2. "Kami mendapat perintah dari Pak Heriyansah dan Mahendri membuang pasien itu ke pasar," kata Muhaimin. Agar aksi itu tak dilihat pasien dan pengunjung rumah sakit, menurut Muhaimin, ia diminta Mahendri memindahkan mobil ambulans ke lahan parkir di belakang rumah sakit.

Karena perintah datang langsung dari atasan, Muhaimin dan kawan-kawan tak kuasa menolak. Andika, misalnya, mengaku takut kehilangan pekerjaannya. Sebelum meninggalkan rumah sakit, kelima orang ini mengajak seorang tukang parkir, Rudi Hendra Hasan, 38 tahun, turut bersama mereka membawa Suparman.

Ambulans Suzuki APV dengan nomor polisi BE-2472-AZ itu pun melesat tanpa sirene. Dari gerbang rumah sakit, ambulans belok kanan menyusuri Jalan Pangeran M. Noer. Jalan itu menghubungkan Pasar Induk Tamin dan Pasar Bambu Kuning, yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Kota Bandar Lampung.

Ketika memasuki perempatan Jalan Cut Nyak Din dan Agus Salim, ambulans berbalik arah dari pasar dengan berbelok ke kanan. "Saya mengusulkan membuang dia di gubuk karena kasihan," ucap Andika.

Mereka menjumpai sebuah gubuk di pinggir jalan di Kelurahan Sukadanaham, Kecamatan Tanjungkarang Barat. Ketika dikeluarkan dari ambulans, Suparman terus mengeluarkan erangan kesakitan. Lelaki malang itu mereka tinggalkan dalam posisi tergeletak di gubuk tersebut.

Setelah membuang Suparman, keenam orang itu kembali ke rumah sakit. Mereka menemui Heriyansah dan Mahendri. Kedua orang itu lantas mengajak anak buahnya ke sebuah ruangan kosong. Heriansyah meminta mereka mengarang cerita jika kelak ditanya atasan atau pihak lain. "Katakan saja si pasien kabur dari ambulans saat hendak dirujuk ke rumah sakit Abdul Muluk," ujar Andika menirukan rekayasa yang dibuat Heriyansah.

Sosok Suparman, korban penelantaran oleh rumah sakit, memang agak misterius-tak jelas asal-usulnya. Kakek sebatang kara itu kerap menumpang di beberapa rumah warga di sekitar rumah sakit. Rohimah, warga yang tinggal di Jalan Basuki Rahmat, misalnya, menuturkan, saat masih sehat, Suparman biasa disuruh dengan upah apa saja. Setelah mulai sakit-sakitan, Suparman hanya sanggup membuang sampah atau mencabut rerumputan di sekitar rumah yang ditumpanginya. Menurut Rohimah, Suparman tak menunjukkan tanda-tanda gangguan jiwa. "Dia hanya menggelandang," katanya.

l l l

Selasa, 21 Januari 2014, warga menemukan Suparman tergeletak di gubuk kosong itu. Awalnya mereka mencoba menitipkan pria itu ke Rumah Sakit Dadi Tjokrodipo. Tapi petugas unit gawat darurat rumah sakit tersebut menolak dengan alasan bangsal umum sudah penuh. Selanjutnya, Suparman pun dibawa ke Rumah Sakit Abdul Muluk, Lampung. Namun, esok harinya, ia meninggal.

Mendengar kisah tragis Suparman, Camat Tanjungkarang Barat Nurzuraidawati pun melapor ke Kepolisian Sektor Tanjungkarang Barat. Polisi yang mengusut kasus menemukan sejumlah saksi melihat Suparman diturunkan dari mobil ambulans berpelat merah.

Pada 30 Januari lalu, polisi menangkap Muhaimin. Dari keterangan Muhaimin, polisi lantas menemukan nama-nama tersangka lain. "Setelah memeriksa tempat kejadian perkara, memeriksa saksi dan bukti, kami menangkap mereka," ucap Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung Komisaris Derry Agung Wijaya. Terakhir salah seorang tersangka, Adi, menyerahkan diri.

Untuk menyamarkan bukti, kepada polisi, para tersangka mengakui telah mengubah tampilan ambulans. Stikernya dicopoti. Lampu isyarat (rotator) di atas mobil pun dicabut.

Polisi menjerat para tersangka dengan pasal pidana penelantaran orang yang mengakibatkan kematian. "Ancamannya sembilan tahun penjara," kata Derry.

Buntut kasus ini, pihak rumah sakit sudah mencopot Heriyansah dari jabatannya. Dia dianggap bertanggung jawab atas "pembuangan" Suparman. Ditemui Tempo pekan lalu di rumahnya, Heriyansah membantah jika disebut otak pelakunya. "Tuduhan itu tidak benar," ujarnya.

Kisah Suparman tak hanya menggegerkan warga Lampung. Di Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kementerian Kesehatan telah membentuk tim untuk menginvestigasi skandal ini.

Ketua Subkomisi Pemantauan dan Pe­nyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Komnas HAM Natalius Pigai telah mene­lisik kasus ini. Kepada sang Komisioner, pihak rumah sakit menerangkan bahwa Suparman menderita penyakit kurang gizi, infeksi, dan sakit jiwa. Menurut Natalius, rumah sakit menyatakan tak tahu siapa nama pasiennya itu. "Mereka menyebut dia pasien anonim," katanya.

Seorang dokter jaga, menurut Natalius, mengaku melihat dan mendengar Heriyansah, Mahendri, Muhaimin, dan Rika membahas soal pemulangan pasien di bangsal rumah sakit. "Dia merasa heran mengapa untuk pemulangan pasien sampai melibatkan pejabat seperti Heriyansah," ujar Natalius.

Menurut Natalius, dengan alasan apa pun, rumah sakit tak bisa sewenang-wenang menyingkirkan pasiennya. "Mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak dasar warga negara." Dan menghalang-halangi orang mendapat hak dasar itu jelas pelanggaran hukum.

Yuliawati, Nurochmanarrazie (Lampung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus