Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bila gay hanya gaya, gaya, gaya ...

Kaum homo di indonesia mulai mencari legitimasi. akan terbit majalah khusus untuk para gay. mereka sudah memiliki tempat-tempat kencan. di solo dan surabaya kaum homo terorganisasikan dengan rapih.

10 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA gay di Indonesia mirip olah raga tenis. Dibicarakan, digemari (?), dan simbol gaya hidup kelas menengah. Semua lelaki punya peluang untuk bermain tenis atau menjadi gay, kalau ia mau. Analogi ini agak berlebihan, diucapkan oleh Dede Oetomo, 35 tahun, yang ternyata adalah seorang gay sejati. Doktor lulusan Universitas Cornell yang berdomisili di Surabaya itu tak melihat ada kelainan apa pun dari kaumnya, sehingga tak perlu disorot, diperbincangkan, dicemooh, dikucilkan, ataupun dikasihani. "Gay itu adalah sebuah gaya hidup. Ia adalah pilihan gaya hidup kelas menengah," ujar Dede, yang November nanti akan memimpin majalah Gaya Nusantara, meneruskan majalah kaum gay -- G: gaya hidup certa, yang tersendat penerbitannya. Lewat majalah baru itu nanti, gay se-Indonesia berikrar, "Kaum gay Nusantara, Bersatulah." Kamis dua pekan lalu, dalam sebuah simposium yang membahas "Penyakit Hubungan Seksual" di Universitas Diponegoro, Semarang, pendapat bahwa gay atau penganut homoseksual hanya merasuki kelas menengah dibantah. Di sini berbicara Psikiater Ismed Yusuf dari Laboratorium Psikiatri FK Undip. Ismed, 38 tahun, tidak memungkiri bahwa di banyak kota besar kaum homo itu orang menengah, terpelajar, dan berkecukupan. Tetapi ada homo tradisional yang kaitannya erat dengan budaya setempat, seperti gemblakan di Ponorogo. "Masyarakat Ponorogo sudah lama mengenal hubungan seksual sesama laki-laki. Tidak hanya terbatas pada kelompok kesenian reog saja, tapi meluas ke masyarakat lainnya," kata Ismed. Kesimpulan ini berdasarkan penelitian di Kecamatan Bungkal, Ponorogo. (lihat: Dari Mata Turun ....) Tentu saja, gaya hidup homo desa dan homo kota berbeda. Homo kota biasanya tertutup, eksklusif, ekonominya kuat, gemar pesta. Tengoklah kehidupan sepanjang malam di Press Club, Jalan Veteran, Jakarta. Lelaki perlente wangi parfum datang dengan kendaraan Mercy dan BMW. Lalu di restoran itu mereka berpasangan. Akhir pekan lalu, restoran itu kewalahan menampung pengunjung. Ada lelaki bule yang asyik membelai rambut pasangannya: lelaki pribumi yang jauh lebih muda. Selintas, seperti elusan kasih sayang seorang ayah untuk anak tercinta. Di meja lain, ada yang asyik saling meraba-raba paha. Sementara itu, lagu For Tonight dari suara Nancy Martines mengiringi pasangan-pasangan sejenis itu berdansa. Cara mereka mengentakkan kaki dan merangkul tak ubahnya dalam pesta yang "normal". Bercanda, berbisik, memeluk, cup ... cup .... Tak ada seorang wanita pun di sana. Aneh? Tergantung siapa yang melihat. Para gay itu sendiri tidak melihat keanehan apa-apa. Cinta adalah hak setiap orang dan bebas untuk ditumpahkan pada setiap orang pula, tanpa perbedaan kelamin. Begitu yang terucap dari mulut-mulut wangi lelaki ini. "Di sinilah saya mencari kepuasan," kata William Balker, warga negara Belanda, pengunjung setia Press Club itu. Tempat-tempat begini banyak di Jakarta. Ada di Tanah Abang, Kemang, Kebayoran. Ke mana pasangan-pasangan sejenis itu setelah melewati tahap klub malam? Ada yang mencari hotel, ada yang menuju rumah -- entah itu rumahnya sendiri atau rumah orang lain -- ada pula yang kabur dan memarkir mobilnya di tempat aman, misalnya di kuburan Ancol. Yang mereka perbuat tak usah lagi diterangkan di sini. Pokoknya, "main" dengan cara-cara yang lazim menurut kamus mereka, lho. Orang homo yang tidak mendapat teman kencan di klub malam tak perlu bimbang. Soalnya, Jakarta menyediakan banyak pilihan. Di Lapangan Banteng, di bawah patung Pembebasan Irian Barat itu, ada lelaki di bawah 15 tahun siap dijadikan mangsa. Anak muda harapan bangsa -- ditilik dari pakaiannya mereka bukan jenis penjaja koran atau tukang semir sepatu -- itu ditraktir dulu makan di warung. Jika cocok, dibawa kabur. Inilah bentuk "pelacuran" di kalangan gay. Di Surabaya, para homo punya beberapa tempat pertemuan restoran terhormat Hotel Elmi, umpamanya. Dari sinilah Dede Oetomo memproklamasikan gerakan kaumnya. "Gerakan gay tak ada bedanya dengan gerakan woman libs. Gerakan yang bagus untuk menolong orang-orang yang jiwanya tertekan," kata Dede. Tertekan bukan dari dalam, tapi dari luar. Di Kota Pahlawan ini, tahun lalu, berdiri rumah pelacuran yang menyediakan laki-laki sebagai P. Ini lokalisasi resmi, mungkin satu-satunya di Indonesia. LTS (Lelaki Tuna-Susila) ini, walau kabarnya juga diminati wanita tertentu, konsumennya sebagian besar gay. Entah mengapa, belum lama ini LTS itu dibubarkan. Mungkin karena lokasi itu berbaur dengan perumahan penduduk. Bukan berarti ini malapetaka. Sekarang untuk mencari LTS di Surabaya, cukup mendatangi Taman Ade Irma Suryani Nasution. Di bawah monumen Bambu Runcing dalam kompleks taman itu, para gay bebas mencari mangsa. Jika malam semakin larut, para homo itu langsung saja melakukan hubungan total di taman yang mengabadikan nama pahlawan cilik ini. "Di alam terbuka lebih mesra," kata mereka. Tak semua gay memenuhi naluri seksnya dengan gonta-ganti pasangan atau "membeli" di bursa LTS. Dede Oetomo -- terpaksa nama ini sering disebut karena dialah paling terbuka -- mengaku lebih senang memiliki "istri". Seperti halnya suami-istri yang lazim, "saya pun punya keterkaitan emosi dengan pasangan saya," katanya. Di Solo, gay lebih terorganisasi. Sekitar 400 orang homo di kota ini menghimpun diri dalam Lamda Indonesia (LI). "Kami secara rutin bertemu di Taman Sriwedari atau Tawangmangu," kata Yos -- sebut saja begitu -- senior di LI. Yang dibicarakan mereka adalah masa depan. "Ya, membicarakan nasib kami." Yang dimaksudnya bukan nasib terhalang menjadi lelaki sejati. Bukan itu. Para gay yang diwawancarai di berbagai tempat tak ada yang mencemaskan kehomoannya sebagai nasib buruk. Nasib yang dibicarakan itu menyangkut bagaimana meningkatkan prestasi, sesuai dengan profesi masing-masing. "Kami saling memacu karier. Bagi yang kuliah harus meraih gelar sarjana. Bagi yang bekerja harus mampu meraih jabatan lebih tinggi," kata Yos. Memang, gay di Solo terdiri dari orang-orang sukses. Hampir semua gay di sini punya pesawat telepon. Sekali-sekali LI Solo juga mengundang seorang dokter untuk berceramah. Yang diundang dokter non-gay, topik ceramah adalah masalah kesehatan, misalnya penyakit AIDS. "Setelah ceramah itu, kami hati-hati dengan pasangan yang baru. Dengan orang asing kami tak lagi 'main' total." Bagaimana peta kehidupan para homoseksual di kota lain? Bandung, Yogya, Semarang, Medan sama seperti Jakarta. Tempat kencan mencari pasangan mudah dikenali, tetapi para gay itu sendiri tidak terkoordinasi secara baik seperti di Solo atau Surabaya. Sementara itu, di Bali, surga pertemuan gay bertaraf internasional, tempat kencan mereka justru berpindah-pindah. Tidak jelas kenapa main kucing-kucingan seperti itu, padahal Pemda Bali tak pernah melarang. Mungkin gay pribumi takut, jika berkumpul di satu tempat terus-menerus, bisa cepat dikenali. Nah inilah problem gay di Indonesia. Mereka menuntut pengesahan, legitimasi. Tapi masyarakat di luarnya mencemooh atau mengasihani -- dua-duanya tak dikehendaki para gay. Dengarkan pengakuan seorang gay yang bekerja sebagai desainer di Jakarta untuk menyamarkan identitasnya sebut saja Saur Sambilan. "Saya tak ingin berubah menjadi lelaki yang mencintai perempuan, misalnya. I'm happy with that," ucap Saur mantap. "Mengubah diri, seperti dimaui orang lain tak akan saya lakukan. Kalau dibuat undang-undang yang mengharuskan kami berubah, itu sudah membantai hak asasi individu." Kehomoan Saur tak pernah menyulitkan pekerjaannya. Dalam menyalurkan hasrat seks, ia merasa normal seperti halnya lelaki yang lain: ada perkenalan, lalu pendekatan, kemudian hubungan batin, dan barulah bahasa seks. "Ini yang jarang ditulis. Pers hanya melihat kaum homoseks yang berganti-gantl partner, yang mencari pasangan sembunyi-sembunyi. Bahkan pers melihat kami ini sebagai makhluk dari planet lain," kata Saur. Singkatnya, Saur, yang sepuluh tahun hidup di Eropa itu, merasa dirinya normal, tidak kurang suatu apa, lengkap dengan kasih dan cinta. Hanya saja, semua itu diberikan kepada sesama gay. Putu Setia, Gatot T., Yopie H. (Jakarta), Herry Mohammad (Surabaya), Kastoyo Ramelan (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus