HOMOSEKSUALITAS adalah gejala lama dalam kemasan modern. Hubungan antara orang sejenis ini sebenarnya sebuah cerita tua. Dalam kebudayaan Yunani kuno, penyair Homerus mencatat gejala ini di 800 tahun Sebelum Masehi. Banyak tokoh Yunani masa itu, konon termasuk Sokrates, yang terang-terangan jadi homowan. Bahkan pada masyarakat primitif, gejala ini dikenal. Data penelitian antropologi yang dilakukan Ford dan Beach pada tahun 1964 menunjukkan dari 76 masyarakat primitif yang sudah diteliti lengkap, 64% menyadari adanya hubungan seksual sejenis. Mereka menerimanya sebagai gejala tidak aneh. Hal yang sama terdapat juga dalam masyarakat samurai di Jepang: orang-orang yang bertahun-tahun dilatih dalam ilmu perang dan hidup di antara sesama pria, akhirnya bercintaan antara sejenis itu pula. Penjelmaan baru gejala ini terdapat dalam diri pengarang Yukio Mishima, yang di tahun 1970 membunuh diri dengan melakukan seppuku. Ada yang menafsirkan, salah satu motif bunuh dirinya yang spektakuler itu mungkin buntunya percintaannya dengan salah seorang pria muda pengikutnya. Dalam salah satu novelnya, Mishima mengakui bahwa ia mengalami orgasme pertama kali ketika melihat gambar Santo Sebastian, setengah telanjang, terikat, dan dicoblos panah. Mishima di Jepang modern, seperti Socrates di Yunani kuno, tak sendirian dalam galeri ini. Dalam masa kemaharajaan Romawi, Julius Caesar juga diduga sebagai homowan agung. Siapa yang pernah menonton film tersohor Spartacus akan teringat akan tokoh penyair tampan, dimainkan oleh Tony Curtis, yang begitu dikasihi oleh majikannya, seorang senator yang berkuasa. Orang akan sulit memahami hubungan itu, kalau tak mengingat bahwa dalam suasana Romawi masa itu, hubungan kasih antara kaum sejenis cukup lazim di kalangan atas. Hubungan seks macam itu baru jadi masalah pada masyarakat Barat ketika agama Kristen menyeberang ke Eropa. Kebudayaan Kristen, yang memungut kebudayaan Yahudi lama, menganggap homoseksualitas sebagai kegiatan yang tercela. Seks diakui cuma punya tujuan tunggal, pro creasi atau menghasilkan keturunan. Apalagi di zaman yang kemudian, pada masa awal masyarakat Barat modern. Banyak yang menyebut masa panjang kekuasaan Ratu Victoria di Inggris di abad ke-19 sebagai masa ketat dalam soal akhlak. Bahkan dalam ketentuan bernegara, garis moral ini tercermin. Baik dalam undang-undang di Eropa maupun di Amerika Serikat, negara cukup memiliki kekuasaan untuk mengontrol tingkah laku seksual para warganya. Di tengah keadaan semacam itu, di tahun 1934 untuk pertama kalinya -- setelah terbenam berabad-abad -- homoseksualitas muncul kembali ke permukaan. Di tahun itu, seorang ahli ilmu faal dari Hungaria, Dr. Benkert, untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah "homoseks", yang diambilnya dari kata Yunani homoios yang berarti "sama". Benkert berpendapat, homoseks sebenarnya sebuah gejala normal. Disiarkannya "teori baru" itu bukan kebetulan. Pencatatan telah berjalan bersamaan dengan munculnya studi tentang seksualitas, yang sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya semenjak berdirinya Institut Seksuologi Hierschfield di Jerman pada 1919. Homoseks, dalam batasan Benkert, yang berarti hubungan sejenis secara umum, lebih ditujukan untuk mencatat gejala hubungan sejenis di antara pria. Istilah "lesbian " baru muncul beberapa tahun kemudian, di Institut Seksologi Hierschfield, diambil dari syair Yunani Kuno yang menggambarkan tradisi hubungan sejenis di antara wanita di Kepulauan Lesbos, Yunani. Teori baru tentang homoseksualitas itu memang mengejutkan. Di tahun 1933, Institut Hierschfield digeledah pemerintah Nazi, dan seluruh dokumennya dihancurkan. Kegiatan lembaga ilmiah itu sendiri kemudian dibekukan. Inilah untuk pertama kalinya omongan tentang homoseks dapat hantaman keras. Suasana menekan itu berlangsung lama, tapi akhirnya membangkitkan pemberontakan. Di Amerika Serikat, di tahun 1960-an yang riuh rendah itu, pemberontakan terhadap kekangan moral membuahkan "Revolusi Seks" -- sejalan dengan berkembangnya pola hidup yang "serba boleh" atau permisif. Di masa ini semua ketetapan pembatasan kegiatan seks ditentang. Sebelum masa itu, Alfred Kinsey telah menerbitkan telaahnya atas kehidupan sekrsual orang Amerika. Ia menemukan, 37% dari pria dan wanita yang diwawancarainya ternyata punya pengalaman homoseks. Ia juga mengutip penelitian antropologi Ruth Benedict, yang mengungkapkan bahwa dari 195 kebudayaan dunia, hanya 14% yang melarang hubungan sejenis pria dan 11% yang menabukan hubungan sejenis wanita. Benih informasi yang disebar Kinsey pada gilirannya meletupkan "Revolusi Homoseks". Dengan menyebut diri gay (yang punya konotasi "riang"), kaum homowan mulai menuntut hak. Mereka anggap hukum dan sikap masyarakat mendiskriminasikan mereka. Dalam jangka waktu 10 tahun, di 1960 tercatat 200 perkumpulan homoseks didirikan. Juni 1969, pemerintah federal AS bertindak. Polisi mengadakan operasi pembersihan di berbagai kota. Di New York, terjadi "perang dua hari antara polisi dan kaum homoseks di jalan dan di pelbagai bar homoseks. Kaum ini diseret, dipukuli, dan dijebloskan ke dalam penjara. Pada Juni 1969 itu juga kaum homoseks membentuk Front Pembebasan Gay. Organisasi ini segera dapat simpati masyarakat. Dukungan masyarakat tidak dapat dikatakan karena menyukai praktek itu, tetapi terutama karena tindakan kekerasan polisi. Sejak itu homoseks dapat perhatian dan publikasi sangat besar. Akhirnya, melalui media informasi internasional, angin pembebasan homoseks ini bertiup ke seluruh dunia. Jim Supangkat (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini