INI bukan acara khitanan. Seorang remaja laki-laki sekitar 12 tahun, bersarung kain batik, tangan kirinya berarloji, sandalnya bertutup -- bukan sandal jepit murahan. Ia bergigi emas. Wajahnya bersih, jalan dan suaranya agak keperempuan-perempuanan. Di saku bajunya selalu ada rokok. Kadang-kadang ia berkaca mata hitam pula. Satu atau beberapa lelaki kekar berotot mengawalnya. Itulah pemandangan yang hanya bisa dilihat di Ponorogo, Jawa Timur. Anak laki-laki itulah gemblak -- istilah yang tak ada kaitannya dengan khitanan, meski ada hubungannya dengan seksualitas. Adapun para pengawal, itulah warok. Kehadiran gemblak dan warok bermula pada pantangan: jangan menyentuh wanita, bila kamu ingin sakti. Maka, untuk meneduhkan gairah berahinya selagi memantapkan ilmu, warok Ponorogo mengangkat pacar remaja laki-laki. Dari situ muncullah tradisi gemblakan, atau homoseksualitas jauh sebelum orang Amerika terteror AIDS, sebelum Paus Yohanes Paulus II mengecam kaum homo. Boleh jadi di Ponorogolah, gemblakan atau homoseksulitas bukan saja tidak dikutuk, tapi malah jadi simbol status. Hubungan seks sejenis ini menyatu dengan tradisi warok dan reog. Warok adalah jagoan, sejenis kepala gang yang punya wilayah tertentu di sebuah kota. Dulu, biasanya warok jadi pemimpin grup reog. Makin banyak gemblakan seorang warok, makin ia bergengsi dan ditakuti. Cerita-cerita seperti itu setengah dipercaya, setengah disangsikan. Adalah dr. Ismed Yusuf dari Universitas Diponegoro, Semarang, yang lewat sebuah penelitian mengungkapkan ihwal sebenarnya. Tradisi yang dulu berjalan terang-terangan ini kini memang masih hidup, meski tersembunyi, dan sudah berkurang jumlah pelakunya, tutur Ismed. Bila Ismed, 38 tahun, baru menyampaikan hasil penelitian lima tahun lalu ini di simposium tentang hubungan seks, di Undip, dua pekan lalu, tak lain "karena saya tidak berani buru-buru mempublikasikannya. " Berkat seorang mahasiswanya, dokter ahli psikiatri anak itu bisa menembus sumber-sumber yang biasanya tertutup. Di Desa Bancar, 17 km tenggara Ponorogo, ia menemukan dua kelompok gemblakan yang masih aktif. Itu sebabnya penelitian dilakukan di sini. Lima puluh responden dipilih secara acak. Antara lain 15 laki-laki yang aktif dalam perkumpulan, 5 gemblak, 2 bekas gemblak, 5 ibu rumah tangga, 3 tokoh masyarakat, dan seorang guru SD Inpres. Selama enam hari dengan modal Rp 500.000,00 bapak tiga anak ini memperoleh masukan tentang norma-norma sosial yang mendukung homoseksualitas hidup damai di Ponorogo. Warok dan gemblak bukan hanya dihormati, kata Ismed yang sudah haji itu. Tapi secara tak langsung tradisi ini punya arti sosial, yakni mendukung hal-hal yang di zaman sekarang sangat dianjurkan: menunda usia perkawinan, dan membudayakan yang kini disebut anak asuh. Berbeda dengan pacaran biasa, seorang warok diikat kewajiban tertentu terhadap kekasih sejenis ini. Aturan itu merupakan kesepakatan tak tertulis, punya kekuatan hukum mirip hukum adat. Umpamanya warok wajib menyekolahkan gemblaknya. Ia pun mesti mampu memberikan pakaian bagus-bagus, dan makanan yang baik. Singkat cerita, memelihara gemblak harus punya banyak uang. Di zaman sekarang di Ponorogo, ketika warok bukan lagi profesi yang bisa membuat kaya, tampaknya ini susah. Maka, dibentuk perkumpulan, sejumlah jagoan memelihara satu atau dua gemblak bersama. Gcmblak biasanya bukan warga Ponorogo asli. Ia mungkin orang dari Blitar, Trenggalek, pokoknya daerah sekitar Ponorogo. Dan mereka berasal dari keluarga tak berada. Dalam urusan pergemblakan ini pun, ada mak comblangnya. Bila comblang sudah punya pandangan -- biasanya cah bagus berusia 9-16 tahun, bertingkah laku lemah gemulai, dan sudah putus sekolah karena miskin -- ia akan mendatangi rumah orang tua calon gemblak. Kata si comblang, anak itu akan dimanfaatkan guna keperluan perkumpulan sinoman (para orang muda). Anak itu akan disekolahkan dan dirawat. Bapak dan ibu biasanya lalu maklum, anaknya dilamar untuk dijadikan gemblak. Bila gayung bersambut, langkah berikutnya adalah tawar-menawar masa kontrak dan imbalan. Berapa tahun anaknya akan dipakai, tiap tahun dia akan memperoleh apa, dan lain-lain. Menurut Ismed, biasanya pihak orangtua calon gemblak tak banyak mengajukan syarat. Mereka sudah merasa untung ada yang menanggung hidup anaknya. Bila sudah akur, sang ketua akan menengok si gemblak, cocok di hatinya atau tidak. Menurut hasil penelitian, jarang sekali pilihan comblang ditolak ketua perkumpulan. Atau mungkin dia bersikap praktis, tidak mau menunggu-nunggu lagi. Maka, tibalah saat yang dinanti-nantikan. Lain dari perkawinan biasa -- ketika pihak lelaki mendatangi pihak wanita -- dalam hal pergemblakan, pihak calon gemblaklah yang datang ke sebuah upacara yang sudah disiapkan. Tanpa penghulu, sudah barang tentu. Selain anggota perkumpulan, hadir pula lurah dan pamong desa yang lain. Tampaknya, figur lurah dianggap penting. Hingga bila ia berhalangan datang, misalnya, pihak warok wajib memperkenalkan gemblaknya ke kelurahan. Ketika menyerahkan "pengantin"-nya, pihak orangtua calon gemblak lalu menumpahkan segala harapan: agar anak mereka mendapat pendidikan yang baik, mendapat asuhan menyenangkan, dan lain-lain yang demi formalitas belaka. Yang esensi dalam serah terima ini, ketua perkumpulan bertanya kepada anggotanya apakah nama pacar mereka perlu diganti atau tidak. Selanjutnya adalah "bulan madu". Tentu, ketualah yang berhak atas malam pertama. Hak istimewa itu diperoleh dengan imbalan, ia wajib melatih gemblak baru ini, agar anggota perkumpulan yang lain tak perlu melakukan uji coba sendiri. Dengan telaten sang ketua -- yang tentunya sudah makan asam garam -- mengajarkan apa saja yang mesti dilakukan gemblak, perlengkapan apa saja yang harus disediakannya. Biasanya, perlengkapan itu berupa minyak rambut dan rokok. Bila sudah dianggap lulus, gemblak digilir, ketua yang mengatur. Yang mendapatkan giliran tinggal menunggu di rumah, gemblak akan diantarkan, biasanya, pada jam-jam sesudah magrib. Gemblak dibekali rokok bukan untuk dia, tapi untuk anggota yang mendapat giliran. Juga, bila gemblak diajak jalan-jalan oleh warok, saku bajunya akan dipenuhi rokok, untuk diberikan kepada kenalan warok di mana saja bertemu. Makin banyak rokok dibagikan, makin bergengsilah warok yang mengawalnya. Mabuk kepayangnya warok kepada gemblak tak main-main (lihat Pengakuan Seorang Warok). Ada warok yang melarang gemblaknya mengerjakan apa pun, agar tangannya jangan menjadi kasar, dan pacar itu dilayani sebagai putri raja. Tentu, dalam kesempatan, warok itu ganti yang minta dilayani. Itu semua berarti biaya. Dan meski kini gemblak ber-"poliandri", tetap saja ada warok yang bangkrut. Ismed menyaksikan seorang warok terpaksa menjual sepedanya sehabis kebagian pacaran selama beberapa hari dengan gemblak kolektif. Yang tak lagi ditemui Ismed dalam penelitiannya adalah perang warok karena gemblak. Soepeno, warok berusia 56 tahun bercerita kepada TEMPO, urusan gemblak dulu sering memancing perkelahian antarwarok. Ia ingat, ketika ia masih remaja, seorang gemblak yang dipinjam seorang warok dari temannya meninggal sebelum dipulangkan. Ini bencana. Pecahlah pertarungan antarwarok, dan korban jatuh tak sedikit. Dalam Serat Centhini, karya sastra Jawa oleh tiga pujangga keraton di zaman Paku Buwono IV, di pertengahan abad ke-18, ada juga dilukiskan pertempuran warok berebut gemblak. Cebolang, tokoh utama kisah bersama muridnya bernama Nurwitri dua-duanya laki-laki tulen -- asal Sokayasa (sekitar Mataram) sedang mengembara. Sampai di Ponorogo banyak warok jatuh cinta kepada mereka. Terjadi perkelahian memperebutkan dua pengembara itu. Banyak yang luka. Malam hari kedua pengembara memberikan hiburan. Mereka berpakaian laiknya wanita, lalu menari. Malam berikutnya sejumlah warok datang ingin pacaran dengan Cebolang dan Nurwitri. Mungkin kepepet, Cebolang dan muridnya setuju, asal setelah mereka berdua melayani para warok itu, bini dan anak para warok ganti melayani mereka. Dan warok-warok pun menyanggupi. Ada take and give di sini, ada sikap luwes yang condong memudahkan. Serat Centhini juga menceritakan petualangan Cebolang dengan Ki Adipati Wirasaba. Adipati yang rupanya biseks itu tergila-gila benar kepada Cebolang dan Nuwitri. Padahal Ki Adipati telah punya selir, Jahe Manis namanya, dan sejumlah selir yang lain. Lucunya, Jahe Manis pun jatuh cinta kepada Cebolang. Dalam ringkasan buku tersebut oleh Sumahatmaka (terbitan PN Balai Pustaka) dikisahkan begini. Ki Dipati jinambu dadya gerah .... Rupanya praktek homoseksual di Jawa sudah ada istilahnya sejak, setidaknya, abad ke-18. Yakni jinambu (pasif) atau anjambu (aktif). Bahkan menurut Dick Hartoko, Pemimpin Redaksi Basis, seorang Belanda bernama Van Goenls mencatat bahwa Amangkurat I menunjukkan tanda-tanda seorang homoseks juga. Catatan yang dibuat pada 1647 itu, menceritakan bahwa Raja Mataram itu bila menghadiri upacara sodoran, perang-perangan bersenjata tombak panjang sambil naik kuda, selalu dikelilingi oleh pria-pria muda yang tampan. Dalam catatan si Belanda orang-orang tampan itu disebut dengan kata blau, kekasih. Tampaknya, tradisi gemblak dan homoseksual di Jawa pun mencatat sejarah yang panjang. Tetapi, ternyata, bukan cuma warok yang menghidupkan tradisi gemblak. Adalah adat lama perkawinan Ponorogo yang unik. Setelah resepsi perkawinan usai, ternyata mempelai wanita masih harus tidur dengan keluarganya. Pasalnya, mereka memang belum saling kenal karena dijodohkan orangtua. Maka, untuk menemani pengantin lelaki, pihak mempelai perempuan menyediakan gemblak. Setelah beberapa malam -- biasanya lima malam -- baru kedua pengantin yang sebenarnya berkumpul sebagai bukti bahwa gemblak diterima wajar di masyarakat Ponorogo, Ismed menemukan seorang aktivis organisasi di kelurahan, bahkan seorang lurah, yang dulunya gemblak. Mereka sudah menikah. Lurah itu misalnya, yang juga menjadi pimpinan grup ketoprak setempat, bapak enam anak. Dari pihak wanita memang tak ada keberatan apakah suami mereka bekas gemblak atau warok. Menurut Ismed Yusuf, dokter psikiatri itu, homoseksualitas di Ponorogo lebih bersifat kemasyarakatan. Budaya masyarakat menghendaki hal seperti itu berlangsung, dan tentunya ada tujuannya. Mungkin, kata Ismed, ada faktor gotong-royong (soal anak asuh). Juga memberikan jalan bagi penyaluran kebutuhan seksualitas di masa sebelum menikah. Tapi homoseksualitas karena budaya masyarakat punya beban dan batasnya. Ada kewajiban yang mesti dipenuhi, ada batas waktu kontrak. Ini yang berbeda mencolok dengan homoseksulitas umumnya. Baik gemblak maupun waroknya, sama-sama tetap ingin membuktikan diri sebagai laki-laki sejati yang bisa punya anak. Ini mirip dengan yang disebut anak jawi (lihat kolom A.A. Navis) di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Dalam kesenian yang disebut indang, dulu-dulunya, para penari adalah remaja lelaki. Mereka oleh sipatuang sirah (manajer grup) sangat dimanja. Dan karena diperlukan tingkah laku mirip cewek, remaja lelaki itu didandani agak mirip remaja putri: Celakanya, mereka pun sehari-hari diperlakukan lembut. Dan karena mereka tidur dalam satu ruangan, akhirnya terjadilah homoseksualitas: antara anak asuh dan manajer, antara anak asuh dan anak asuh. Kini hal ini sudah menipis, karena pelaku kesenian indang diganti bukan lagi remaja lelaki tapi wanita. Apakah lalu tak terjadi yang serupa, wallahualam bissawab. Selain warok dan kesenian indang, bermesraan dengan sesama jenis di pesantrenpesantren, konon terjadi. Dan kegiatan berintim-intim di pesantren disebut mairilan. Wartawan TEMPO di Jawa Timur mencoba mewawancarai beberapa kiai dan santri di sebuah pesantren di Madura, yang mempunyai santri pria dan wanita, yang sudah tentu asrama mereka dipisah. Menurut para pimpinan pesantren yang keberatan disebut identitas pesantren dan diri mereka itu, "memang dulu terjadi." Kini, katanya, tak pernah lagi. Tapi seorang kiai di pesantren yang didirikan menjelang akhir abad ke-19 ini memberikan keterangan tanggung. "Potensi berahi 'kan muncul di saat-saat tertentu," tuturnya. "Karena yang berdekatan dengan mereka teman-teman sesama santri lelaki, yah, tahu sendirilah." Tapi kiai lulusan IAIN Malang yang mengajar di pesantren ini sejak 1973 ini tak bersedia menjelaskan "yah"-nya itu. Dari para santri sendiri pun, tak bisa diperoleh cerita yang bisa diyakini. Mereka, remaja belasan tahun, ada yang bilang masih ada mairilan, bahkan katanya pernah memergoki sendiri. Yang lain menjawab, "Kini sudah tak ada yang begitu." Yang jelas, santri-santri itu mengatakan bahwa liwath, perbuatan homoseksualitas, menurut ajaran kiai mereka lebih besar dosanya daripada berzina. Tapi apakah ini menjamin bahwa tak akan ada keintiman antara mereka? Ada keterangan menarik dari seorang santri, "Intim, ya, ada. Tapi tak sampai berbuat liath. Cuma saling menempelkan bagian tubuh yang peka, istilahnya atampeyan." Ia, berusia 18 tahun, mengaku pernah memergoki dua temannya. Dari tiga contoh homoseksualitas tradisional ini, memang cuma tradisi gemblak yang didukung oleh, istilah dr. Ismed, budaya masyarakat. Yang lain, seperti kesenian indang, apalagi yang terjadi di pesantren, boleh disebut sekadar "kecelakaan". Soalnya kini, bila para warok pun ternyata setelah beristri dan beranak cucu masih ingin mengenang masa gemblakannya, apakah tak mungkin dari "kecelakaan" pun lalu bisa ada kelanjutannya. Kenyataannya, dunia homoseks ada di segala zaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini