KETIKA aktor ganteng Rock Hudson mati karena penyakit AIDS yang ditimbulkan oleh keranjingannya pada persebadanan dengan lelaki, maka berjatuhanlah pertanyaan aneh-aneh yang memerahkan telinga. Karena pertanyaan itu berbau tuduhan, sekurang-kurangnya berbau ejekan, sehingga memberi kesan si penanya sudah yakin, pertanyaannya tidak bisa disangkal lagi, bahwa orang kampung saya, Minangkabau, mempunyai juga perangai yang sama dengan aktor tenar itu. Pertanyaan itu bersumber dari asumsi bahwa Minangkabau memiliki istilah yang khas terhadap pelaku homoseksual, yaitu anak jawi dan induk jawi. Dari sepasang istilah itu orang mengaut hipotesa yang dikuatkan oleh adanya lembaga "surau", tempat tinggal bersama lelaki bujangan dalam masyarakat Minangkabau -- dari yang akil balig, bujangan tua, sampai para duda. Lebih spesifik lagi, dikatakan bahwa dalam masyarakat "anak indang" di Pariaman, adalah lazim perangai itu berlangsung, karena para pemain, yang remaja dan yang tua, berdempetan paha selagi bermain indang. Hipotesa itu diperkuat oleh fakta, jika orang Pariaman memaki lazimnya menyebut dubur dalam bahasa lokal, sedangkan di daerah lain menyebut milik ibunya. Bagaimana orang dapat membenarkan atau membantah asumsi yang bersumber dari istilah anak jawi dan induk jawi, yang dikait-kaitkan dengan "fakta" yang dapat menguatkan hipotesa itu, selama penelitian yang akurat belum pernah dilakukan? Pasti tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sekian juta orang Minangkabau tentulah ada penderita kelainan seksual, baik laki-laki ataupun perempuan. Tapi sulit menggeneralisasikannya sebagai sesuatu yang melembaga. Kalaupun nanti dilakukan penelitian, dan hasilnya positif "ada", mungkin jadi masyarakat Minangkabau akan kejangkitan histeria secara masal, karena merasa aib mereka telah disingkapkan kepada umum. Padahal, menurut alam pikiran mereka yang egaliter, segala macam bernama aib harus disimpan rapat agar martabat kaum jangan jatuh. Kalau hendak dibicarakan juga, tempatnya dalam "bilik kecil" antara awak dan awak. Andaikata kelak akan dilakukan juga penelitian berdasarkan asumsi tadi, hasilnya pastilah negatif. Karena tidak ada bukti bahwa penyakit kaum homoseksual yang menyebarkan firus AIDS itu merupakan penyakit rakyat di Minangkabau. Dari mana datangnya istilah khas Minangkabau yang artinya sama dengan gay bagi masyarakat AS itu? Menurut kamus St. Moh. Zain, Jawi berarti sapi. Menurut orang Arab, artinya sama dengan Jawa atau semua bangsa Indonesia. Dalam konteks pembicaraan ini, anak jawi berarti anak lelaki yang dikasihi oleh lelaki lain induk jawi ialah lelaki yang mengasihi anak lelaki. Menurut kamus Poerwadarminta, anak jawi ialah anak lelaki yang disayangi. Tidak jelas disayangi oleh siapa. Dalam bahasa Melayu memang ditemukan ungkapan jawi pekan dan peranakan jawi. Yang pertama artinya anak dari perkawinan campuran orang Melayu dengan India, sedangkan yang kedua anak dari perkawinan campuran orang Melayu dengan bangsa asing lainnya. Kemudian ditemukan pula istilah masuk jawi, yang artinya masuk Islam. Kalau demikian halnya, istilah jawi-menjawi, menurut kedua kamus itu, terutama pula hubungan yang sangat dekat antara bahasa Minangkabau dan Melayu, bisa menimbulkan berbagai tafsiran. Orang Melayu mengartikannya sebagai kelainan dalam perkawinan, sedangkan orang Minangkabau mengartikannya sebagai kelainan dalam perkelaminan. Ada pula yang mengatakan, istilah anak jawi dan induk jawi itu muncul dari kebiasaan guru agama atau guru silat yang mengajar dari satu desa ke desa lain dengan selalu membawa murid kesayangannya dalam arti sebagai kader yang diharapkan bakal jadi. Kebiasaan itu diibaratkan dengan induk sapi dan anaknya. Ke mana si induk pergi, ke sana si anak ikut. Kalau kemudian artinya menjadi miring, mungkin jadi oleh faktor tidur di surau yang menjadi tempat kediaman para guru dan murid. Bahwa kehidupan di surau bisa mendorong ulah homoseksual bukan hal yang tak mungkin. Jamil Suherman dalam novel Umi Kalsum juga menyinggung hal itu dalam kehidupan kaum santri di pesantren. Namun, tidak dapat dirujuk sampai ke tingkat bagaimana hubungan homoseksual itu dalam prakteknya. Karena tidak pernah diketahui adanya keluhan atau perawatan atas penderita akibat hubungan itu. Juga tidak ditemui ramuan tradisional untuk mengobati penyakit karena hubungan kelaminan normal atau abnormal dalam buku-buku tua di perpustakaan Museum Nasional, Jakarta. Bahkan tidak pernah ditemui kasus homoseksual di Pengadilan Negeri. Padahal, menurut Rizora, S.H., selama ia menjadi hakim di Pengadilan Negeri Payakumbuh, 20 tahun lalu, kasus hubungan seksual dengan gadis di bawah umur cukup tinggi. Menurut masyarakat Minangkabau, lelaki yang duduk berimpitan paha dengan teman di sisinya dipandang sebagai orang yang telah "rusak", seperti orang ber-anak jawi. Dari situlah datangnya pikiran curiga atas "anak indang" yang dalam gerakan bermainnya duduk bersila dengan rapatnya, sehingga pahanya berdempet. Apalagi, dalam bermain, mereka bercampur aduk baik yang tua maupun yang muda. Pikiran curiga itu boleh jadi akibat pertentangan antara golongan Islam pada awal datangnya aliran Naksabandiyah sebagai "kaum muda" dalam berhadapan dengan "kaum tua" yang memakai permainan indang dalam berdakwah. Kini permainan indang itu, yang sesungguhnya sudah lama hilang, dibawakan oleh murid sekolah atau pemuda desa untuk acara keramaian yang diselenggarakan pemerintah, dan sering pula dipakai sebagai kampanye pembangunan atau pemilu. Jadi, boleh dikatakan bahwa pikiran naif sajalah yang mengasumsikan adanya budaya homoseksual di Minangkabau jika berpangkal tolak dari adanya istilah jawi-jawian dan lembaga surau itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini