Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bila Hakim Memeriksa Hakim

Subakri diadili hakim pn blora, jateng. ia didakwa memaki sudarji, ketua pn blora. Agar pengadilan berlangsung obyektif, seyogyanya pengadilan tinggi melakukan pengawasan.

3 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VONIS yang akan kami jatuhkan dijamin objektif, tak akan memihak," kata Hakim Ida Kade Ari dengan tegas. Hakim Pengadilan Negeri Blora, Jawa Tengah, itu merasa perlu menegaskan sikap untuk menjawab isu bahwa persidangan kasus terdakwa Subakri yang dipimpinnya akan berpihak. Pasalnya, Ida Kade Ari, sang hakim, termasuk anak buah saksi pelapor (lawan perkara Subakri), Sudarji, Ketua Pengadilan Negeri Blora. Persidangan ini berlangsung Kamis pekan lalu dengan Jaksa Albert Kalangit. Subakri, guru SD Tanjung II, Blora, dituduh memfitnah Sudarji lewat surat yang ditujukan kepada berbagai pejabat tinggi negara (mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kehakiman, Panglima ABRI, Kapolri, dan sejumlah pejabat di Jawa Tengah). Tembusan surat ini disampaikan langsung pada Sudarji. "Isi surat itu keterlaluan. Sebagai pejabat saya merasa dilecehkan terdakwa," kata Sudarji dengan geram. Subakri mengirim surat-surat itu sampai enam kali. Ia melaporkan sikap Sudarji yang sewenang-wenang, mengirim memori banding Reksodikromo (lawan perkara Subakri) dengan tenggang waktu di luar ketentuan yang berlaku. Memori banding Rekso dikirim lima bulan setelah vonis. Padahal, seharusnya paling lambat sebulan sejak pernyataan banding disampaikan ke panitera. Pernyataan banding pun hanya diberi tenggang waktu 14 hari setelah jatuhnya vonis. "Saya melihat banding itu hanya akal-akalan Ketua Pengadilan. Karena itu tidak sah," kata Subakri. Perkara Subakri dan Rekso menyangkut soal tanah. Pada Januari 1991, Hakim Ny. Sukarmi dari Pengadilan Blora menyatakan bahwa Subakri adalah pemilik sah tanah 6.500 meter di Desa Pulau, Kecamatan Kedungtuban, Blora. Rekso yang semula menguasai tanah itu diwajibkan Pengadilan mengembalikannya kepada Subakri. Subakri merasa menang karena setelah beberapa bulan lawannya tidak juga banding. Maka, ia menganggap putusan Pengadilan sudah mengikat. Tapi, ayah lima anak berusia 36 tahun itu kecewa, tatkala Pengadilan menolak melakukan eksekusi. Alasannya, Rekso berubah pikiran dan akan banding. Tentu saja Subakri terkejut, karena pernyataan banding Rekso kedaluwarsa. Subakri tidak mengajukan kontra banding, tapi mengirim surat ke rubrik konsultasi hukum Majalah Jayabaya, Surabaya. Ia menanyakan tenggang waktu banding. Jawaban yang didapatnya jelas: tenggang waktunya 14 hari setelah putusan dijatuhkan. Pengiriman berkas banding selambat-lambatnya sebulan sejak pernyataan banding disampaikan ke panitera. Subakri menyimpulkan bahwa pengiriman berkas banding Rekso oleh Pengadilan Negeri Blora batal demi hukum. Dengan modal ini, Subakri menghadap Sudarji di kantornya. Subakri minta penjelasan dan mengemukakan alasan hukum yang didapatnya dari konsultan hukum Jayabaya. Sudarji menjawab bahwa apa yang dilakukan Pengadilan tidak menyalahi hukum. Subakri tak puas dan melampiaskan ketidakpuasannya lewat surat yang dikirim ke berbagai pejabat tadi. Tak cuma melaporkan keterlambatan banding, Subakri dalam surat tertanggal 27 Januari 1992, yang ditujukan pada Presiden dan sejumlah pejabat itu, memaki Sudarji dengan kata-kata kasar. Antara lain, "Ketua Pengadilan Sudarji dan Hakim Sukarmi goblok, ndableg, asu gedhe menang kerahe (anjing besar menang kuasa)." Makian kasar itulah yang dianggap Sudarji melecehkan pejabat Pengadilan. "Kata-kata makian itu tak pantas diucapkan seorang pendidik," ujar Sudarji. "Karena ini menyangkut kewibawaan Pengadilan, saya harus tegas. Ini peringatan bagi siapa saja agar tidak menulis surat dengan bahasa yang tidak sopan," tegasnya. Benarkah prosedur banding yang dilakukannya menurut hukum acara perdata, atau memang akal-akalan agar Rekso menang? Kepada TEMPO, Sudarji menjelaskan bahwa pengiriman berkas banding memang diatur paling lambat satu bulan (Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 Pasal 11 ayat 2). Tapi menurut Sudarji, undang-undang tak mengatur sanksi bila pengiriman berkas banding melewati tenggang waktu itu. "Karena itu, dalam prakteknya pengiriman berkas banding memakan waktu sampai berbulan-bulan, bahkan sampai setahun," ujarnya. Pernyataan ini, Kamis pekan lalu juga diulangi Sudardji di persidangan saat ia diperiksa sebagai saksi. Soal persidangannya ia mengemukakan, "Kedudukan saya di muka hakim sama. Jadi, tak ada atasan bawahan. Semua saya serahkan pada majelis hakim. Saya tak mungkin mempengaruhi mereka," kata Sudarji. Pandangan ini diulang Hakim ketua Ida Kade Ari. "Persidangan ini terbuka untuk umum. Jadi, tak ada alasan untuk tidak objektif," ujar Ida. Namun, ahli hukum pidana Universitas Diponegoro, Dr. Muladi, tak yakin persidangan bisa berlangsung objektif. Ia berpendapat, seyogianya Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan. Bisa langsung atau pun tidak langsung, karena kasus semacam ini potensial dalam melahirkan vested interest. "Kemungkinan hakim berpihak pada kepentingan atasannya tidak bisa diabaikan," ujar Muladi. Aries Margono, Bandelan Amarudin, dan Heddy Lugito (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus