DOKTER Hakim Sorimuda Pohan berkantor kembali di RSUP Palembang. Walhasil, di rumah sakit itu ada dua Kepala Unit Kebidanan. Sorimuda kembali ke RSUP setelah PTUN pekan lalu menangguhkan SK Rektor Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang. Dalam SK itu, Rektor menarik Sorimuda -- yang karyawan FK Unsri -- kembali ke Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri) dan menempatkannya di Balai Pengobatan FK Unsri. Sebelumnya, Sorimuda dipinjamkan ke RSUP Palembang dan menjabat Kepala Unit Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Sorimuda kembali tanpa mempedulikan protes Rektor Unsri. Pada 25 September, Rektor menolak keputusan PTUN. "Karena keputusan itu ditetapkan tanpa sidang," kata Machmud Hasyim, Pembantu Rektor I Unsri. Hasyim menyatakan pula bahwa kepala Unit Kebidanan RSUP Palembang yang sah adalah dr. Kurdi Syamsuri. Dasarnya, SK Direktur Jenderal Pelayanan Medik (Dirjen Yanmedik) Departemen Kesehatan, yang memberhentikan Sorimuda pada September 1991 dan mengangkat dr. Kurdi. Mudah diduga kembalinya Sorimuda, yang melibatkan PTUN itu, berpangkal pada rebutan kedudukan kepala Unit Kebidanan RSUP Palembang. Kisahnya, pada upacara serah terima yang berlangsung 20 Maret lalu, Sorimuda yang menjadi kepala Unit Kebidanan selama lima tahun terakhir, menolak menandatangani berita acara serah terima. Upaya direktur rumah sakit, dr. Sulaiman, membujuknya menyerahkan jabatan sia-sia. Karena itulah dr. Sulaiman minta agar spesialis ginekologi itu ditarik kembali ke FK Unsri. "Tindakan dr. Pohan menyebabkan disintegrasi di RSUP Palembang. Mohon segera ditarik kembali ke FK Unsri," tulis Sulaiman kepada Rektor Unsri. Awal Juni 1992, permintaan Sulaiman dikabulkan. Berdasarkan SK Rektor, Sorimuda ditarik dan dimutasikan ke Balai Pengobatan Unsri sebagai tenaga staf biasa. Sorimuda menganggap SK Rektor Unsri adalah hukuman. Masalahnya, Balai Pengobatan itu setingkat Puskesmas. Dan ia menjadi sejajar dengan dokter-dokter muda yang baru lulus. Sorimuda menolak SK itu dan mengajukan permohonan ke PTUN Palembang agar SK Rektor ditangguhkan pelaksanaannya. Permohonan inilah yang dikabulkan PTUN 2 September lalu. Langkah lain, Sorimuda menggugat Dirjen Yanmedik Depkes yang memberhentikannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sambil menunggu keputusan ini, berdasarkan putusan PTUN, ia kembali berkantor di RSUP Palembang. Asa muasal rebutan itu, yaitu rapat pemilihan kepala Unit Kebidanan dan Penyakit Kandungan/Kepala Laboratorium Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, pada 23 Juli 1987. Ada tiga calon kuat: dr. H.A. Kurdi Syamsuri, dr. Komar Syamsuddin, dan dr. H. Hakim Sorimuda Pohan. Hasil pemungutan suara: Komar mendapat 8, Kurdi 7, dan Sorimuda 7 suara. Persoalan muncul karena Komar mengundurkan diri. Sulit menentukan siapa yang harus maju karena suara Kurdi dan Sorimuda sama-sama 7. Terjadilah kesepakatan, yang kemudian diperkuat dengan perjanjian, jabatan itu akan digilir. Periode pertama diberikan pada Sorimuda karena faktor senioritas. Ia disepakati akan memegang jabatan ini selama tiga tahun. Sisanya, dua tahun, diberikan pada dr. Kurdi. Surat perjanjian ini dibacakan dan ditandatangani pada saat upacara pelantikan. Ternyata setelah masa tiga tahun, Sorimuda masih tetap menjabat kedudukan itu karena Kurdi belum selesai mengikuti pendidikan di Amerika Serikat. Maka, Sorimuda menganggap surat perjanjian ini sudah tidak lagi mengikuti ketentuan perjanjian. Ketika Kurdi pulang, Sorimuda menolak menyerahkan jabatan. Alasannya, surat perjanjian itu sudah tidak jelas lagi kedudukannya. "Surat perjanjian ini tidak punya landasan hukum untuk melakukan serah terima jabatan," katanya. Namun, Dirjen Yanmedik, pada September 1991, tetap memberhentikannya dari jabatan Kepala Unit Kebidanan dan mengangkat dr. Kurdi. Dirjen juga memerintahkan agar serah terima jabatan segera dilakukan. Sedianya, upacara itu akan berlangsung 5 Oktober 1991. Tapi, berkat campur tangan Gubernur Sumatera Selatan, Ramli Hasan Basri, serah terima terpaksa ditangguhkan. Ketika kembali diusahakan serah terima jabatan, 20 Maret 1992, muncullah kericuhan itu. Sorimuda menolak. Para dokter yang sedang mengambil brevet spesialis kebidanan mendukungnya dengan melakukan aksi mogok kerja selama 19 hari. Machmud Hasyim menyayangkan tindakan Hakim yang ngotot dan bercuriga. "Penempatan dia di Balai Pengobatan bukan hukuman. Ini bersifat sementara, sampai ada posisi yang sesuai dengan tingkat keseniorannya." kata Pembantu Rektor I Unsri itu. "Dia juga seharusnya malu. RSUP itu kan rumah orang, kita cuma nebeng. Kalau di sana sudah tidak terpakai tak perlu ngotot, lebih baik pulang ke rumah sendiri." Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini