SUARA Hakim Lalu Mariyun meninggi. Wajahnya tak bersahabat. "Siapa bilang saya menolak mutasi? Saya tidak ada beban di sini. Kalau diserahi tugas ke luar daerah, akan saya terima," kata Lalu setengah berteriak. Bibirnya tampak bergetar menahan amarah. Padahal, di salah satu ruang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu, ada beberapa wartawan dan hakim.
Lalu Mariyun, hakim asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang namanya mencuat karena kasus korupsi bekas presiden Soeharto, memang seperti tengah duduk di atas bara panas. Dalam dua pekan belakangan, isu menyangkut pemindahan dirinya berembus kencang. Dia disebut-sebut membandel karena menolak pindah meski telah tiga tahun menduduki jabatan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Saya tidak pernah mengatakan menolak pindah," katanya.
Lalu adalah salah satu hakim daerah yang didatangkan ke Jakarta melalui sebuah program Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra yang bertujuan menciptakan penyegaran di lingkungan dunia peradilan. Jakarta Selatan, tempatnya yang baru, adalah salah satu gudang kasus besar. Selain menggelar pengadilan Soeharto, yang ternyata macet, Lalu mengadili bekas Kepala Bulog Rahardi Ramelan dalam perkara korupsi yang melibatkan Ketua DPR Akbar Tandjung.
Setelah tiga tahun, kini saatnya Lalu dimutasi. Menurut sumber TEMPO di Departemen Kehakiman, mutasi Lalu tertunda karena dia menjadi ketua majelis hakim dalam kasus Rahardi. "Namun kini tak ada alasan lagi," kata sumber itu, "Rahardi sudah divonis."
Keluhan soal mutasi hakim ini tak kurang justru datang dari Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Menurut Bagir, sejumlah hakim di tingkat pengadilan negeri dan tinggi belum melaksanakan perintah mutasi, menundanya sampai setahun lebih, dengan alasan masih menyelesaikan perkara. "Mahkamah Agung hanya akan memberikan kesempatan selama tiga bulan kepada hakim yang akan dimutasi untuk menyelesaikan perkaranya," kata Bagir, yang hingga pekan lalu masih tergolek di rumah sakit akibat serangan demam berdarah.
Tapi Soejatno, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman, membantah adanya hakim yang menolak mutasi. "Yang ada adalah pengajuan keberatan karena alasan keluarga atau kesehatan," katanya. Contohnya, menurut dia, ada hakim yang keberatan dipindah ke daerah terpencil karena tidak adanya fasilitas sekolah luar biasa padahal si hakim punya anak cacat. Ada pula hakim yang keberatan dimutasi karena memerlukan perawatan kesehatan khusus yang hanya ada di Jakarta. "Kami cuma ingin mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan,'' katanya.
Menurut Soejatno, pekan ini Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Mahkamah Agung tengah menggodok 200 nama hakim yang akan dimutasi dari 2.942 hakim yang ada di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah Hakim Lalu Mariyun itu. "Jadi tidak benar sinyalemen Hakim Mariyun menolak mutasi," katanya, "Surat keputusan mutasi kini dalam proses."
Proses mutasi hakim, menurut Soejatno, diputuskan oleh tim khusus beranggotakan Direktur Teknis Peradilan dan Kepala Subdirektorat Mutasi Departemen Kehakiman serta "Tim 11" dari Mahkamah Agung. Selain itu, kata Soejatno, ada Dewan Kehormatan Hakim yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dewan ini punya wewenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik.
Teorinya memang begitu. Namun, menurut seorang hakim senior, tak tertutup kemungkinan ada hakim nakal yang bisa mempengaruhi tim mutasi agar tidak mengirimkannya ke daerah terpencil atau daerah yang tidak mendatangkan uang suap dari kasus-kasus besar. "Kalau sudah berada di tempat basah, mana mau dia bagi pindah ke daerah terpencil, karena tak ada lagi yang bisa diolah," kata hakim itu sambil tertawa getir.
Dengan logika sama, tak aneh jika pengadilan-pengadilan Jakarta menjadi ajang perebutan yang seru. Para hakim berlomba menyingkirkan kolega yang sudah lama bercokol di ladang basah.
Ahmad Taufik, Anggoro Gunawan, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini