HAWA panas menguar dari sebuah ruangan di lantai 12 Gedung Danamon di kawasan Sudirman, Jakarta, akhir pekan lalu. Pendingin ruangan seolah tak mampu menyejukkan suasana pertemuan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sesekali Raymond van Beekum, Kepala Divisi Komunikasi BPPN, beradu argumen dengan Dasa Sutantio, staf ahli di lembaga perbankan itu.
Menurut sumber TEMPO di BPPN, pokok perdebatan antara Dasa dan Raymond menyangkut strategi mengantisipasi gugatan Gunawan Jusuf ke lembaga perbankan tersebut. Pekan lalu, bos Makindo Securities itu mengayun kapak perang dengan melayangkan somasi kedua bagi Kepala Badan Pertanahan Nasional, Luthfi Nasoetion. Selain itu, Kepala BPPN Syafruddin Temenggung, Deputi Bidang Asset Management Investment BPPN Taufik Mappaenre Maroef, serta Grup Salim juga bakal digugat.
Itulah episode paling anyar dari perseteruan lama Gunawan Jusuf versus Grup Salim dalam penjualan Sugar Group. Melalui Pengacara Hotman Paris Hutapea, PT Garuda Pancaarta menuntut Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar segera mengeluarkan izin hak guna usaha atas tanah seluas 52.389 ha di Kabupaten Lampung Tengah dan Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Lahan yang dulunya eks Register 47 inilah yang memicu kemelut Sugar Group. Sejak Garuda menang tender yang digelar BPPN pada November 2001, kepemilikan seluruh aset Sugar Group seharusnya berpindah dari keluarga Salim ke tangan Gunawan Jusuf. Tetapi, saat penandatanganan Master of Settlement and Acquisition Agreement dulu, Salim dengan "lihai" hanya menyerahkan 60 ribu hektare dari 113 ribu hektare lahannya. Sisa 52.389 ha dicantumkan dengan status "kemitraan". Celakanya, akal-akalan Salim ini luput dari perhatian pejabat BPPN saat itu.
Membaca gelagat buruk ini, pada Desember 2001 Gunawan langsung terbang ke Lampung untuk memeriksa lahan Sugar yang mereka beli. Ternyata separuhnya cuma rawa. Ironisnya, di dekat pabrik Sugar mereka menemukan 52.389 hektare lahan produktif "kemitraan" yang dikuasai Salim lewat PT Indolampung Buana Makmur (ILBM) dan PT Indolampung Cahaya Makmur (ILCM). Gunawan mengira lahan ini termasuk dalam aset Sugar yang ditawarkan BPPN. Menurut seorang pejabat BPPN yang enggan disebut namanya, baik BPPN maupun Gunawan merasa kecolongan.
Untuk menyelesaikan kemelut Sugar, pada 12 Desember 2001 Holdiko, BPPN, dan Garuda menandatangani kontrak tambahan (supplemental agreement). Sebagai fasilitator, BPPN bermaksud melakukan upaya terbaik untuk mengalihkan lahan yang dikuasai ILBM dan ILCM kepada Garuda. Selain itu, jika merasa keberatan dengan kondisi Sugar, Garuda diberi hak mundur dari transaksi sampai 28 Februari 2002. Saat itu Gunawan merasa percaya diri menghadapi Salim karena ia didukung sobatnya, I Gde Putu Ary Suta, yang sedang menjadi Kepala BPPN. Pada 4 Maret 2002, lewat surat bernomor 0172/LDIR-HP/III/2002, Putu Ary Suta meminta Dasa Sutantio, Deputi AMI BPPN, dan Scott Coffey, Direktur Holdiko, agar menyatakan lahan 52 ribu hektare dan pabrik gula di Sugar Group itu adalah bagian yang tak terpisahkan.
Posisi Gunawan makin kuat dengan dikeluarkannya appendix A akta berita acara 4 Maret 2002 yang dibuat di hadapan Notaris Rismalena Kasri, S.H. Di sana tertulis: "Istilah tanah berarti segala hak atas tanah sebagaimana tersebut dalam Exhibit 8 dari perjanjian tambahan tertanggal 12 Desember 2001, di mana tanah itu dikuasai oleh PT Indolampung Buana Makmur dan PT Indolampung Cahaya Makmur." Jika merujuk dua dokumen di atas, tanah eks Register 47 Lampung memang termasuk aset Sugar yang dijual. Menurut sumber TEMPO di BPPN, surat appendix ini juga memicu perdebatan di antara para pejabat BPPN. "Surat itu kan dibuat pada zaman Pak Putu, yang dekat dengan Gunawan. Padahal saat ini Pak Syaf lebih dekat dengan Salim," kata sumber TEMPO di BPPN.
Posisi berbalik ketika Putu Ary Suta dicopot dari BPPN dan digantikan oleh Syafruddin Temenggung pada pertengahan 2002. Syaf cenderung lebih akomodatif terhadap Grup Salim. Bahkan Hotman Paris, pengacara Gunawan, dengan terang-terangan menyebut Syaf dan Luthfi, Kepala BPN, berpihak pada Salim. Terbukti, Syaf berusaha mengingkari dokumentasi hukum yang dibuat Putu. Bahkan ia juga berusaha mengingkari akta notaris Rismalena. Bukti lainnya, permohonan hak guna usaha (HGU) atas lahan eks-register yang diajukan Garuda sejak Agustus 2002 lalu mendadak macet di BPN Pusat. Padahal, menurut Hotman, semua persyaratan untuk mengurus HGU sudah dilengkapi. Akibatnya, sampai saat ini lahan eks register itu masih dikuasai Salim. Hal itulah yang membuat Gunawan ngotot memilih jalur hukum untuk menyelesaikan kemelut di Sugar Group.
Bagi Gunawan, percuma saja memiliki pabrik gula bila tanpa mempunyai kebun produktif. Ini karena Sugar tak akan mampu mempertahankan produksi 300-400 ribu ton setahunnya. Padahal Sugar menguasai 25 persen produksi gula nasional. "Jika pabrik dianggap mobil, pabrik butuh tebu agar bisa berproduksi, dan mobil butuh bensin agar bisa berjalan," katanya.
Menanggapi rencana gugatan Garuda, BPPN mengaku telah siap. "Selama ini BPPN tak pernah lepas tangan dalam kasus Sugar. Kami siap menghadapi gugatan itu," kata Raymond. Sayangnya, Luthfi Nasoetion tak bisa dihubungi. Stafnya di kantor cuma bilang ia sedang sibuk. Siapa pemenang konflik Salim vs Gunawan itu sendiri masih sulit diraba.
Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini