Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bila Jenderal Besar ke Mahkamah?

Kasus Soeharto bergulir kencang dan sudah ke pengadilan. Tapi jenderal bintang lima itu sulit diadili karena mengalami kerusakan otak?

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAGI-LAGI mantan presiden Soeharto. Meski perhatian masyarakat sedang tersita oleh Sidang Tahunan MPR, ini bukan berarti kasus korupsi bekas penguasa Orde Baru itu diam di tempat. Buktinya, Selasa pekan lalu, berkas perkara jenderal bintang lima itu diserahkan kejaksaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Melalui dakwaan jaksa setebal 45 halaman, Soeharto selaku ketua tujuh yayasan dituduh melakukan korupsi sehingga negara dirugikan senilai Rp 1,4 triliun. Hal itu terjadi lantaran dana ketujuh yayasan bukan digunakan untuk kepentingan sosial, melainkan untuk bisnis kerabat dan kroni Soeharto. Tentu saja pelimpahan perkara itu agak mengobati rasa penasaran masyarakat. Soalnya, selama ini, pengusutan kasus itu oleh kejaksaan tak menunjukkan kemajuan. Artinya, kasus Soeharto segera diadili? Toh, sampai pekan ini, pertanyaan besar itu masih menggantung. Dulu, Jaksa Agung Marzuki Darusman pernah sesumbar bahwa kasus Soeharto bisa diadili sebelum 10 Agustus 2000. Ternyata, kini Marzuki menyatakan bahwa kasus itu mungkin diadili seusai Sidang Tahunan MPR, yang berakhir pada 18 Agustus 2000. Sementara itu, majelis hakim yang terdiri atas lima orang dan diketuai langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Lalu Mariyun punya ancar-ancar sendiri. Menurut mereka, dibutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk mempelajari berkas perkara Soeharto setebal 3.500 halaman. Ada lagi ganjalan lain, yakni tempat persidangan. Diduga, peradilan Soeharto akan dibanjiri masyarakat. Karena itu, faktor ruang besar dan keamanan harus diperhitungkan. Hal itu tak mungkin dipenuhi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sempat dipikirkan kemungkinan sidangnya di Balai Sidang Jakarta atau di Mahkamah Agung. Tapi itu belum diputuskan. Yang penting, "Masih di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," ucap Lalu Mariyun. Itu soal teknis. Masih ada ganjalan yang lebih serius, yaitu kesehatan Soeharto. Pengacaranya, Muhammad Assegaf, menganggap peradilan kliennya tak banyak berarti. "Pak Harto bisa duduk, tapi tak mampu menyimak keterangan saksi," ujar Assegaf. Sebaliknya, Marzuki Darusman merasa yakin bahwa Soeharto bisa diadili. Sebab, pada proses pengusutan sebelumnya, Soeharto terhitung sehat. "Kalaupun pengacara Soeharto ngotot, kami juga siap dengan bukti-bukti bahwa Soeharto sehat," kata Marzuki. Begitupun, ia menganggap hakimlah yang layak memastikan sehat-tidaknya Soeharto. Terlepas dari aspek formal itu, Assegaf pun membidik sisi materiil kasus Soeharto. Katanya, dakwaan jaksa tergolong lemah. Soalnya, perbuatan Soeharto masih dalam koridor sebagai ketua yayasan sesuai dengan aturan internal organisasi sosial nirlaba tersebut. Paling banter, "Pak Harto akan dikatakan kebangetan karena memutar uang pada anaknya. Tapi kebangetan kan tidak melanggar hukum?" ujar Assegaf. Agaknya, argumentasi sang pengacara didukung oleh pendapat ahli hukum pidana Loebby Loqman. "Apa betul perbuatan Soeharto bisa memenuhi kriteria korupsi? Atau sekadar penyimpangan prosedur? Yayasan kan boleh mencari keuntungan?" kata Loebby. Bagi kejaksaan, tentu saja pendapat itu dinilai terlalu formal. Lagi pula, bila hukum—yang diterapkan penegak hukum ataupun diyakini pejabat pemerintah—terpaku pada paham demikian, bisa-bisa berbagai penyelewengan keuangan negara tak dianggap sebagai delik. Akibatnya, para pengusaha dan pejabat yang terlibat konspirasi korupsi bisa luput dari hukum. Gejala seperti itu banyak terjadi, di antaranya pada kasus korupsi ruilslag tanah Bulog-Goro dan skandal Bank Bali. Padahal, ada esensi penting pada unsur perbuatan melawan hukum dalam delik korupsi, yakni asas kepatutan. Patutkah ratusan miliar rupiah dana yayasan dibobol untuk keuntungan para kroni dan kerabat tadi? Itu baru dari asas kepatutan, belum lagi dari aspek penyalahgunaan kekuasaan Soeharto selaku presiden sewaktu memimpin yayasan. Untuk itulah kejaksaan sudah menyiapkan segerobak bukti. Tak aneh bila kejaksaan siap-siap pula menyita berbagai aset Soeharto yang diduga diperoleh melalui korupsi. Sekalipun demikian, Marzuki berharap masyarakat tak memandang kasus itu secara berlebihan. Jadi, kapan dan di mana kasus Soeharto diadili? Yusi, Tomi, Karin, dan Iwan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus