Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dari ABRI sampai Rupiah

Banyak materi kontroversi dalam rancangan amendemen UUD 1945. Ada soal TNI/Polri, judicial review, dan pengatur rupiah.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANCANGAN amendemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 praktis seperti undang-undang dasar (UUD) baru. Memang, sistematika UUD 1945 tak diubah. Tapi, dibandingkan dengan UUD 1945 yang terdiri dari 37 pasal, rancangan itu berisi 79 pasal. Separuh lebih materi UUD 1945 dilengkapi, bahkan ada yang diganti.

Masalahnya, dari segerobak materi amendemen itu, banyak muatan yang terhitung kontroversial. Berikut ini beberapa ketentuan yang mengundang polemik.Ternyata rancangan amendemen kedua UUD 1945 memuat ketentuan tentang anggota MPR dari utusan TNI dan Polri. Rumusan dalam rancangan itu tak secara eksplisit menyebutnya, memang. Di situ hanya dikatakan: MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berasal dari pemilu yang dipilih melalui pemilihan umum, ditambah dengan utusan masyarakat tertentu yang karena tugas dan fungsinya tidak menggunakan hak pilihnya.

Namun, bila menilik rancangan tentang aturan peralihan, barulah disebut bahwa tambahan itu adalah utusan TNI dan Polri. Dari segi teknis perundang-undangan, penjelasan dalam aturan peralihan itu agak janggal.

Pihak TNI/Polri, lewat wakil ketua fraksi mereka di MPR, Mayjen Tayo Tarmadi, menyatakan bahwa adanya unsur TNI/Polri di MPR terhitung wajar. Soalnya, TNI/Polri tak menggunakan hak memilih pada pemilu. "Sebagai komponen bangsa dan anggota sebuah keluarga, kami kan perlu sharing untuk ikut berbicara di MPR," kata Tayo, sebagaimana dikutip Kompas.

Ia menambahkan, tak bolehnya anggota TNI/Polri ikut pemilu dapat dimaklumi. Hal itu mengingat kondisi transisi yang bisa menimbulkan kerawanan baik ke dalam maupun ke luar TNI dan Polri. Kalau mereka berhak memilih, justru angggota TNI dan Polri bisa terkotak-kotak dalam partai politik. Tentu itu bisa menimbulkan loyalitas ganda: kepada komandan dan kepada partai politik yang dipilih.

Kontan saja banyak pihak mengecam rumusan di atas. "Itu pengkhianatan telanjang terhadap cita-cita reformasi," ujar pengamat politik Mochtar Pabottingi. Sebagaimana diketahui, gelora reformasi menjelang tumbangnya Orde Baru antara lain menuntut penghapusan dwifungsi ABRI.

Mochtar juga menganggap penambahan anggota MPR dari utusan TNI dan Polri, tentu lewat pengangkatan, melanggar prinsip kedaulatan rakyat, yang mengharuskan wakil rakyat dipilih melalui pemilu. Selain itu, sebelumnya anggota TNI dan Polri bisa menjadi wakil rakyat hanya berdasarkan undang-undang. Namun, sekarang ia hendak dikukuhkan dengan UUD.

Kritik senada juga diutarakan Hendardi. TNI dan Polri sebagai aparat pemerintah dan berada di bawah presiden, menurut Hendardi, sangat tidak logis bila duduk di lembaga legislatif seperti MPR. "Bagaimana mungkin pihak yang harus bertanggung jawab kepada presiden juga menjadi pihak yang menilai tanggung jawab presiden?" kata Hendardi.

Dewan Pertimbangan Agung

Dalam rancangan amendemen kedua, ternyata ada kemungkinan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapuskan. Boleh jadi pembubaran lembaga tinggi negara itu lantaran citra dan kinerjanya dianggap tak signifikan. Maklum saja, penunjukan 45 orang anggota DPA lebih berkesan sebagai balas jasa bagi sejumlah pejabat tinggi yang pensiun.

Buruknya pula, A.A. Baramuli sewaktu menjadi Ketua DPA malah terlalu banyak bicara dan mencampuri urusan di luar wewenangnya. Sampai-sampai ia diindikasikan terlibat skandal Bank Bali.

Itu sebabnya ahli hukum tata negara Harun Alrasyid setuju DPA dihapuskan. "Tanpa DPA, pemerintah bisa terus berjalan. Bahkan jadi efisien," ujarnya. Bila presiden membutuhkan penasihat, katanya, tinggal mengangkat pejabat ad hoc.

Ketua DPA, Achmad Tirtosudiro, tentu saja termasuk yang berharap DPA dipertahankan. "DPA merupakan salah satu pendukung penting bagi terciptanya good governance," ucapnya. Masalahnya tinggal meningkatkan mutu anggotanya dan mengefektifkan fungsinya.

Menurut Jimly Asshidiqie, sebaiknya anggota DPA terdiri dari orang yang sudah teruji pengalamannya di bidang kenegaraan. Umpamanya mantan presiden dan wakil presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, dan Ketua BPK.

Bank Indonesia

Seperti juga DPA, tampaknya nasib pahit juga akan menimpa Bank Indonesia (BI). Dalam soal BI, memang rancangan amendemen kedua lebih hebat ketimbang UUD 1945. Dalam UUD 1945, BI sama sekali tak diatur. Lembaga otoritas moneter itu cuma disinggung pada penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tentang keuangan negara. Disitu disebutkan perlunya undang-undang tentang BI, yang berwenang mengeluarkan dan mengatur peredaran uang.

Dalam rancangan amendemen kedua, kedudukan BI sebagai bank sentral yang independen disebut secara tegas. Persoalannya, ternyata ketentuan itu diikuti dengan rumusan alternatif berbunyi "…bank sentral atau lembaga otoritas keuangan lainnya.…"

Rumusan itulah yang kini membuat BI menjadi ketar-ketir. Sebab, lembaga lainnya itu dikhawatirkan bisa menggantikan kedudukan tunggal BI. Bahkan, tak mustahil BI pun akan dibubarkan untuk kemudian diganti dengan lembaga lain itu.

Berbagai dugaan pun mencuat seputar lembaga lain dimaksud. Ada yang menghubungkannya dengan currency board system (CBS), yang mampu menstabilkan nilai tukar rupiah, terutama terhadap dolar Amerika. CBS, yang diusulkan pemerintahan Presiden Soeharto berdasarkan gagasan Steve Hanke, sempat menimbulkan pro-kontra.

Ada juga yang mensinyalir bahwa rumusan di atas berasal dari Fuad Bawazier, anggota Fraksi Reformasi di MPR yang juga mantan Menteri Keuangan semasa Soeharto. Mendengar tudingan itu, Fuad berkata, "Itu cuma akal-akalan mereka untuk meminta dukungan BI," ujarnya seraya tertawa geli.

Menurut Fuad, ia hanya berharap agar rumusan BI dalam UUD 1945 tidak bersifat mutlak dan mendetail. Sebab, bila menilik dinamika keuangan dan mengantisipasi kemungkinan mendatang, mungkin saja ada bentuk institusi otoritas moneter yang lebih baik dari BI. Institusi itu bisa semacam modifikasi dari Monetary of Singapore atau Monetary of Hong Kong. "Dengan menampung kemungkinan itu pada amendemen Pasal 23 UUD 1945, kan cukup fair," ujarnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Mari Pangestu lebih menilik rumusan di atas sebagai upaya agar BI bisa menjalankan fungsinya secara efektif. Karena itu, BI harus dapat membuktikan keandalan manajemen dan personelnya. Juga agar tak terjadi penyalahgunaan keuangan. "Kalau BI tak bisa membenahi itu semua, ya ditutup," ucapnya.

Namun, Mari tak sependapat bila BI dibubarkan secara mendadak, lantas diganti dengan lembaga baru. Apalagi dari segi biaya dan personel, lembaga baru itu akan menimbulkan masalah lagi.

'Judicial Review'

Satu hal penting yang tecermin dalam rancangan amendemen kedua adalah kemandirian kekuasaan kehakiman (yudikatif). Agaknya, rancangan itu bermaksud membebaskan Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dari pengaruh eksekutif. Hal itu ditunjukkan dengan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung yang tak lagi oleh presiden, melainkan oleh MPR.

Selain itu, satu-satunya wewenang khusus yudikatif yang selama ini tak diberi peluang oleh peraturan perundang-undangan, yakni judicial review (menguji sesuai-tidaknya undang-undang dengan UUD 1945), diberikan kepada MA. Hanya, itu dengan catatan wewenang judicial review dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang berada di dalam MA.

Catatan itu menimbulkan pertanyaan. Kalau memang MA dikehendaki sebagai badan yudikatif yang independen dan menjadi penjaga gawang konstitusi, mestinya wewenang judicial review langsung disebut sebagai milik MA. Jadi, tak perlu ada istilah Mahkamah Konstitusi, yang menimbulkan kesan adanya lembaga baru.

Sementara itu, Albert Hasibuan tak sependapat bila Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari MA. "Seharusnya Mahkamah Konstitusi sebagai penguji pelanggaran terhadap konstitusi berada di atas semua lembaga tinggi negara," katanya.

Yang pasti, kelak berbagai undang-undang yang tak sejalan dengan UUD 1945 bisa dibatalkan. Itu termasuk Undang-Undang Perpajakan, haatzaai artikelen pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan penyiaran. Juga Undang-Undang DPR tentang anggota yang diangkat bukan dari pemilu, hak interpelasi serta hak angket, dan penanggulangan keadaan bahaya—bila jadi diteken presiden.

Hps, Nda, Dew dan Agh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus