Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Raja Kembali Menjadi Republiken

Wewenang yang besar dan terpusat pada presiden dipangkas. Kekuasaannya kini bisa dikontrol dan diimbangi oleh DPR.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENDATI berjubah hukum dan bermahkota republik, presiden tak beda dengan raja. Kekuasaannya seolah-olah tak terbatas dan melampaui kekuasaan lembaga tinggi negara lainnya, seperti Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan Pertimbangan Agung.

Selain mengendalikan bidang eksekutif, kekuasaan presiden juga melingkupi bidang legislatif dan yudikatif. Presiden adalah mandataris MPR, kepala negara, kepala pemerintahan, sekaligus pembuat peraturan perundang-undangan.

Kekuasaan presiden yang demikian besar (heavy executive) dan tanpa sistem check and balance, apa mau dikata, telanjur dimuat dalam UUD 1945. Ketika UUD 1945 disusun, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Soepomo, memang menolak berbagai usulan untuk mengontrol kekuasaan presiden, baik oleh DPR, MA melalui mekanisme judicial review, maupun perangkat hukum hak asasi manusia.

Kelemahan UUD 1945 itu pun menjadi sarana ampuh untuk menjustifikasi praktek ketatanegaraan yang dijalankan presiden. Bahkan, semasa Orde Baru, Presiden Soeharto bisa menentukan pengangkatan dan pencopotan anggota lembaga tinggi negara yang lain. Hasrat pribadi presiden pun bisa diwujudkan sebagai keputusan pemerintah. Akibatnya, penyelenggaraan negara semakin jauh dari prinsip kedaulatan rakyat.

Kini, melalui amendemen UUD 1945, wewenang presiden dikurangi dan diimbangi dengan kekuasaan lembaga tinggi negara lainnya. Di bidang yudikatif, misalnya, kewenangan presiden—bersama DPR—membuat undang-undang bisa dikontrol MA melalui hak judicial review (menguji sesuai-tidaknya undang-undang dengan UUD).

Sementara itu, di bidang legislatif, dalam amendemen tahap pertama UUD 1945 pada Oktober 1999, kewenangan membuat undang-undang dialihkan dari presiden kepada DPR, kendati rumusan baru itu masih bersifat dualistis lantaran adanya anak kalimat ''dengan persetujuan bersama presiden dan DPR".

Dalam pengangkatan duta, penerimaan duta negara lain, dan pemberian amnesti serta abolisi, presiden juga harus memperhatikan pertimbangan DPR. Bahkan, dalam rancangan amendemen kedua UUD 1945, perjanjian utang luar negeri yang dibuat presiden harus disetujui DPR.

Tak cuma itu. Dalam rancangan amendemen kedua, DPR juga diberi berbagai hak penting yang tak ada dalam UUD 1945 lama, dari hak bertanya, meminta keterangan (interpelasi), menyelidiki (angket), sampai berpendapat. Malah, DPR bisa pula mengusulkan pemberhentian presiden kepada MPR.

Dari sisi MPR sebagai pemberi mandat kepada presiden, kekuasaan presiden pun semakin diawasi secara ketat. Menurut rancangan amendemen kedua, MPR bisa meng-impeach (memberhentikan) presiden bila ia melanggar UUD, melanggar haluan negara, mengkhianati negara, dan melakukan tindak pidana.

Namun, kata ahli hukum tata negara Harun Alrasyid, syarat dan mekanisme impeachment tidaklah gampang. Di Amerika Serikat, contohnya, meski sudah 43 orang presiden menjalankan pemerintahan selama 213 tahun, belum ada seorang presiden pun terkena impeachment.

Di Amerika, dengan sistem presidensial, jabatan presiden memang dijamin sampai masa akhir tugasnya. Dengan kalimat lain, selama masa jabatannya, presiden tak bisa diberhentikan oleh parlemen. Kecuali kalau presiden melakukan delik, ia bisa di-impeach.

Boleh jadi sistem di Amerika tak bisa dianalogikan dengan sistem pemerintahan Indonesia menurut rancangan amendemen kedua UUD 1945. Apalagi, pada rancangan itu ada rumusan yang memungkinkankan sidang tahunan MPR bisa direkomendasikan oleh MPR sendiri untuk menjadi sidang istimewa—berarti forum untuk mengadili presiden. Sidang tahunan yang mengharuskan adanya laporan presiden, juga ketua lembaga tinggi negara lainnya, tak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Amerika.

Dengan adanya sidang tahunan itu, berarti presiden bisa setiap tahun dinilai oleh MPR? Dalam hal ini, Harun Alrasyid tak sependapat. ''Tidak pantas bila presiden bisa dijatuhkan karena laporannya pada sidang tahunan ditolak MPR. Itu merendahkan martabat presiden," kata Harun. Satu-satunya cara menilai presiden, katanya, ya melalui sidang istimewa MPR.

Yang jelas, dengan semakin berdayanya DPR dan didgayanya MPR, presiden tak lagi super—kalau tak bisa dikatakan malah akan semakin sengsara. Sekalipun demikian, sesuai dengan prinsip konstitusionalisme, tentu DPR dan MPR jangan sampai menyalahgunakan kekuasaannya.

Happy S., Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus