Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Modus Soeharto Ala Soeripto

Mantan Gubernur Riau Soeripto dijaring dengan berbagai kasus korupsi. Tapi, seperti juga Soeharto, ia kini disebut sakit keras.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEJAK langkah Soeripto agaknya mirip dengan Soeharto. Sama-sama jenderal tentara yang menjadi pejabat sekaligus ketua yayasan. Setelah lengser, dijadikan tersangka kasus korupsi, tapi mengaku sakit. Perbedaannya, Soeharto di pusat sebagai jenderal bintang lima dan presiden enam periode. Sedangkan Soeripto di daerah sebagai jenderal bintang empat dan gubernur Riau dua periode. Seperti juga Soeharto, setelah tak lagi menjabat, Soeripto pun kini diusut oleh kejaksaan setempat. Soeripto, yang mengakhiri masa jabatannya selaku gubernur Riau pada 1998, dituduh mengorupsi dana reklamasi pasir Rp 24 miliar. Namun, panggilan dari Kejaksaan Tinggi Riau, Sabtu pekan lalu, cuma ditanggapi keterangan singkat dari pengacara Soeripto, Yuwilis. Kata Yuwilis, kliennya sakit keras. Kasus yang melibatkan Soeripto berawal dari ekspansi bisnis ekspor pasir di daerah Riau secara besar-besaran ke Singapura. Sesuai dengan ketentuan, para pengusaha penambang pasir dikenai pungutan untuk dana reklamasi (perbaikan lingkungan). Besar iuran itu sekitar US$ 2 per meter kubik pasir yang dikeruk. Ceritanya, sampai Januari 1992, ada tujuh dari segunung pengusaha pengekspor pasir Riau yang telah menyetor dana dimaksud sampai senilai Rp 11,1 miliar. Dana itu ada di empat bank pemerintah di Riau. Ketujuh pengusaha itu menambang pasir di lahan seluas 23 ribu hektare di kawasan Lobam, Moro, dan Bintan Utara. Ternyata, dana tersebut, yang kini berikut bunganya ditaksir mencapai Rp 24 miliar, tak kunjung masuk ke kas negara—dalam hal ini kas Pemerintah Daerah Riau. Padahal, puluhan ribu hektare lahan yang digali para pengusaha tadi sudah dipenuhi lubang besar dan menjadi tempat genangan air. Bahkan, areal itu telah disulap menjadi kawasan industri dan pariwisata oleh sebuah perusahaan di Singapura yang bekerja sama dengan Grup Salim. Usut punya usut, rupanya dana itu telah disetor ke Yayasan Raja Ali Haji sejak 10 Januari 1992. Yayasan yang diketuai Soeripto itu bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan budaya. Yayasan memiliki gedung sekolah dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Juga menjadi pengelola gedung dan kawasan Purna MTQ Pekanbaru. Tentu saja kejaksaan menganggap penyelewengan dana yang seharusnya menjadi milik negara itu sebagai korupsi. Selain Soeripto, Anwar Rachman—mantan Kepala Dinas Pertambangan Riau—juga akan dijadikan tersangka oleh kejaksaan. Meski kini Soeripto mengaku sakit, kejaksaan menargetkan peradilan kasus itu pada awal September 2000. Sebenarnya, kasus dana reklamasi pasir terhitung satu dari sederet kasus Soeripto. Bekas penguasa tunggal di Riau itu akan dijaring pula dengan berbagai kasus, antara lain dugaan manipulasi perizinan usaha dan penggelapan pajak dari beberapa bisnis keluarganya. Bisnis Soeripto dan anak-anaknya yang akan disorot antara lain Hotel Seruni dan penambangan batu granit di pelbagai tempat. Demikian pula bisnis di sejumlah hak pengusahaan hutan (HPH) dan perkebunan. Sepanjang tahun 1989 sampai 1990 saja Soeripto telah merekomendasikan 65 HPH untuk lahan hampir 3 juta hektare. Sementara itu, pengacara Soeripto, Yuwilis, menepis tuduhan jaksa dalam kasus korupsi dana reklamasi pasir di atas. Menurut Yuwilis, perbuatan Soeripto bukan tindak pidana korupsi. Alasannya, Soeripto selaku gubernur berwenang mengurusi masalah penambangan pasir. Selain itu, pengalihan kawasan penambangan pasir dimaksud menjadi kawasan industri dan pariwisata dilakukan berdasarkan kemauan negara (pusat). Karena peruntukan kawasan sudah dialihkan, dana yang disetor para pengusaha pasir tadi dikembalikan kepada mereka. Hal itu juga sudah disetujui DPRD Riau. Itu sebabnya, "Uang yang dialihkan ke yayasan bukan uang negara, tapi milik ketujuh pengusaha itu. Apalagi uang yang dikembalikan itu masih di rekening para pengusaha tersebut," kata Yuwilis. Kalaupun pengalihan dana itu hendak dituntut pertanggungjawabannya, sambung Yuwilis, tentu bukan tanggung jawab Soeripto, tapi menjadi tanggung jawab DPRD dan ketujuh pengusaha yang mengalirkan dananya ke yayasan. "Uang itu masuk ke yayasan. Tak ada yang masuk ke kantong pribadi Soeripto," tambah Yuwilis. Benar-tidaknya argumentasi Yuwilis, tampaknya lakon Soeripto akan menjadi semacam pelaksanaan otonomi daerah dari kasus Soeharto di pusat. Entah hasilnya kelak, mirip pulakah dengan kasus Soeharto? Happy S., Jupernalis Samosir (Riau)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus