TAK seorang pun tahu, siapa keenam pria yang sore itu memaksa Binsar Parapat, 29, naik ke dalam minibus dan membawanya pergi. Persoalan menjadi jelas setelah delapan jam kemudian. Yaitu ketika Selasa dinihari pekan lalu, beberapa tamu mendatangi rumah orangtua Binsar di Jalan Abdul Hamid, Medan. Salah seorang di antara mereka berpakaian preman, lainnya mengenakan seragam dinas sebuah kesatuan ABRI. Kepada Bistok, 61, bapak Binsar, tamu itu memberi tahu bahwa anaknya berada di rumah sakit Kodam. Keadaannya kritis. "Kami telah telanjur terhadap anak Bapak. Mohon maaf," ujar salah seorang. Bistok dan nyonya, juga istri korban, Weny, diminta untuk menengok. Memang Binsar, pagi itu, sudah berada di Rumah Sakit Umum Pirngadi. Bukan untuk mendapat perawatan lebih lanjut, tapi untuk divisum. Ayah tiga anak yang bertubuh kekar itu sudah meninggal. Lehernya patah. Mata kiri melesat ke dalam, mulut dan hidungnya koyak. Bagian tubuhnya yang lain lebam biru penuh darah bercampur debu. Binsar bukan preman atau gali. Belum pernah ia berurusan dengan polisi. Kita bisa paham bila pagi itu juga ayahnya langsung melapor ke alamat Denpom Kodam I. "Saya tak terima anak saya diperlakukan sewenang-wenang," ujar pensiunan veteran ini dengan mata merah, karena sedih dan marah. Ia menolak tegas tawaran untuk menanggung semua biaya penguburan. Ia juga tak mau menerima, ketika ada utusan menyerahkan bunga tanda ikut berdukacita. "Tak ada guna semua itu, karena saya tak akan bisa melihat Binsar kembali," ujar Bistok, bapak sembilan anak. Apalah arti biaya untuk ganti nyawa anak keduanya itu. "Sungguh, kami sangat menyesalkan kejadian itu," ujar seorang perwira menengah ABRI kepada TEMPO. Menurut dia, kini para tersangka penganiaya yang menyebabkan kematian korban telah ditahan dan diperiksa. Meski pemeriksaan atas mereka masih berjalan, kata sumber TEMPO, hampir bisa dipastikan bahwa Binsar adalah korban salah sasaran. Itu bermula dari kejadian pada bulan Februari lampau di kantin Hotel Tiara, Medan. Seorang bintara, kabarnya, malam itu menenggak minuman keras sampai mabuk. Waktu sadar, dia menemukan dirinya sudah terluka. Orang-orang yang ada di situ mengatakan bahwa dia terjatuh dari tangga. "Entah soal apa tiba-tiba saya lihat mereka berkelahi, dan Binsar terlibat, lalu anggota ABRI itu jatuh dari tangga," tutur Simin, 20, penjaga kantin itu, kepada TEMPO. Informasi itulah yang rupanya membuat rekan-rekan yang jatuh marah. Mereka mencari Binsar, dan baru ditemukan Senin menjelang malam, pekan lalu. Sebab, nama Binsar di Medan tak bisa dihitung dengan jari. Binsar yang ini ketika itu, seperti biasa, sedang berada di stasiun bis Sambu, tak jauh dari Hotel Tiara. Ia sedang menggelar permainan uli: sebutir kelereng digelindingkan pada sebilah papan berpaku. Pemasang yang beruntung bisa mendapat hadiah rokok. Pekerjaan itu dilakukan Binsar, karena pria tamatan SD yang biasanya jadi buruh bangunan itu belakangan sering menganggur. Begitu ditemukan, Binsar dipaksa naik ke mobil dan dibawa pergi. Ternyata, mereka telah salah ambil. Sebab, kata Parsaroan, kakak korban, "Yang memukul seorang tentara di Hotel Tiara bukan Binsar Parapat, tapi Binsar Simanjuntak." Ia mendapatkan kepastian itu dari seorang karyawan hotel bernama Endang. Nah, Endang itu kabarnya kini sedang ditanyai pihak Denpom. Akan halnya Binsar si pemukul, kini entah berada di mana. Acara main hakim sendiri itulah, dan salah sasaran pula, yang tak bisa dimengerti Bistok. Ia berkeras agar perkara anaknya diusut. "Kalau aparat di Medan tak bisa menangani sampai tuntas, saya akan lapor ke tingkat pusat," ujarnya bersemangat. Sikap Bistok itu agak disayangkan oleh pihak pelaku, yang juga sangat menyesalkan kejadian itu. Kata sumber TEMPO, "Kami sudah berusaha mengadakan pendekatan kekeluargaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini