BANYAK cara menjarah uang. Dan inilah salah satunya. PT Fujindo Utama, yang bergerak dalam future trading (perdagangan dengan penyerahan barang kemudian) komoditi kedelai, kacang merah, gula, karet, dan emas, tampaknya menjanjikan sesuatu yang menguntungkan. Perusahaan itu menyebarkan brosur tentang future trading, lengkap berisi ihwal cara berdagang tanpa barang di depan mata, dengan petunjuk empat cara menekan kerugian, dan akhirnya meraih keuntungan. Namun, presiden direktur perusahaan itu, Syafril Tanjung, 40, belum lama ini diringkus satuan Serse Polda Metro Jaya di Jalan Ekor Kuning, Rawamangun, Jakarta Timur -- rumah Syafril sendiri. Gara-garanya, dia dilaporkan telah melakukan tindak pidana: penipuan dan penggelapan. Adalah Bunaidah, 23, yang bekerja sebagai pencari nasabah -- dengan sebutan advisor -- dari Graha Karya Yudha sejak Mei 1985. Karena belum paham benar soal bursa komoditi di perusahaannya, lulusan Akademi Akuntansi Yayasan Administrasi Indonesia ini hanya berani membujuk ayahnya satu-satunya nasabah yang diperolehnya sampai kini. "Saya nggak berani mencari orang lain," ujarnya. Atas nasihat anaknya, Abdullah, nama bapak itu, kemudian mengikuti bursa kacang merah. Modalnya lebih dari Rp 5 juta, sebagian besar dari hasil penjualan tanah seluas 100 m2 di Kampung Juragan, Grogol Utara, Jakarta Barat. Baru sebulan Abdullah menyetorkan modal ke Graha Karya Yudha, uangnya sudah bertambah US$ 500. "Rasanya enak, baru sebulan sudah untung," tutur Bunaidah, anaknya. Dan, tentunya, sebagai karyawan perusahaan tersebut ia pun kebagian rezeki. Namun, dalam dua bulan berikutnya, untung rugi silih berganti. Dan tahu-tahu, setelah Abdullah menghitung-hitung, ternyata ruginya lebih banyak. Karena keuntungan yang disebut Graha Karya Yudha itu cuma di kertas -- tak bisa diambil. Bila rugi ia harus menyetor lagi. Tak cuma Abdullah yang pusing, Bunaidah pun heran, ketika September 1985 ia dipindahkan ke Fujindo. Mula-mula ia senang, karena perusahaan tersebut belakangan ini ternyata lebih hebat. Selain Fujindo sebagai anggota Kobayasi Limited di Hong Kong, presiden komisarisnya pun seorang mayor jenderal -- purnawirawan, sudah barang tentu. Di kantor Fujindo itu pula terpampang foto presiden direktur perusahaan bersama peja,bat pemerintah. Foto seperti itu juga dipakai untuk merayu calon nasabah. Dan tanpa pikir panjang lagi, Bunaidah lantas menambah modal ayahnya dengan US$ 610. Rupanya, sejarah berulang. Di tahun 1977, pemerintah tidak lagi memberi izin diteruskannya perdagangan komoditi dengan penyerahan kemudian, karena disinyalir di situ banyak unsur spekulasi dan judi daripada perdagangan. Setahun kemudian, toh, sebuah perusahaan yang melakukan bursa komoditi emas, PT Gaya Caya Enterprise, terlihat belangnya. Lalu diikuti empat perusahaan lainnya, yang memperjelas adanya bursa komoditi gelap. DAN, Desember tahun lalu, berita seperti itu muncul lagi, sehingga para nasabah Fujindo pun khawatir perusahaan ini termasuk. "Semua advisor curiga," kata Bunaidah seakan mewakili ke-21 teman sejawatnya di Fujindo. Nah, Akta Pendirian Fujindo, ternyata, belum mendapat persetujuan Departemen Kehakiman -- meskipun sudah melakukan usaha. Para nasabah lantas meminta advisor agar menarik semua uangnya. Tapi, penanggung jawab keuangan Fujindo, Bona Hutabarat, yang kini dikabarkan melarikan diri, hanya memberi janji-janji melulu. Karena itulah, ke-22 advisor yang diwakili El Helwi minta bantuan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Singkat kata, Fujindo lalu digerebek polisi. Menurut Letkol (Pol) Legiman Soetjipto, Kaditserse Polda Metro Jaya, sudah ada 13 orang dari 20 nasabah, yang diperkirakan menanamkan uang di Fujindo dan Graha Giri Kencana, melaporkan dirinya. Kendati sudah dilarang, perusahaan yang bergerak dalam future trading diduga Legiman masih ada, sekitar 25 buah. Apakah karena resesi sehingga banyak perusahaan main spekulasi? Siapa tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini