Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUMPUKAN dokumen itu beralih dari satu anggota ke anggota lain di Komisi Pertanahan DPR RI. Isinya bermacam-macam. Ada akta pendirian perusahaan, kuitansi jual-beli, juga surat girik berwarna merah. ”Semuanya asli, silakan diperiksa,” kata pengacara Yan Juanda Saputra. Di sebelah Yan, Direktur Utama PT Portanigra, Purwanto Rachmat, dengan cermat mengamati dokumen-dokumen yang berada di tangan wakil rakyat itu.
Kamis pekan lalu, untuk kedua kalinya Portanigra dipanggil DPR. Selain mengusung bergepok-gepok dokumen, mereka juga membawa gulungan-gulungan kertas yang menunjukkan posisi lahan mereka di Kelurahan Meruya Selatan, Jakarta Barat. Peta di atas kertas kalkir mereka beberkan kepada anggota Dewan. Sebelumnya, DPR juga sudah memanggil perwakilan warga Meruya Selatan dan pihak Pemerintah Kota Madya Jakarta Barat.
Tiga pekan terakhir ini nama Portanigra dan Meruya memang jadi buah bibir. Ini lantaran perusahaan itu, lewat pengadilan, akan mengeksekusi 44 hektare lahan di Meruya yang diklaim sebagai miliknya. Rencana eksekusi diputuskan setelah Mahkamah Agung pada 2001 silam memenangkan gugatan perusahaan ini kepada tiga makelar tanah, Djuhri, Yahya, dan Tugono. Tiga orang ini digugat lantaran dituduh menjual tanah-tanah bersurat girik yang sebelumnya sudah dijual ke Porta. ”Mereka memalsukan girik itu, sebab girik yang asli ada di Porta,” ujar Yan Juanda.
Berbekal kemenangan enam tahun silam itu, Februari lalu, Portanigra meminta penetapan eksekusi. Rapat koordinasi eksekusi dilakukan pada 26 April lalu di Pengadilan Jakarta Barat. Hadir, antara lain, Polres, Kodim, dan Pemda Jakarta Barat. Rencana eksekusi ditetapkan 21 Mei 2007. ”Waktu itu saya minta dilakukan penelitian dulu, karena kami tidak tahu batas-batas tanah yang sebenarnya,” kata Haryanto, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat kepada Tempo.
Rencana eksekusi bocor ke warga. Meruya langsung panas. Ribuan warga Meruya unjuk rasa dan bertekad melawan jika mereka diusir dari situ. Sejumlah ruas jalan ke daerah itu diblokir dan dijaga siang-malam oleh warga. Gubernur Sutiyoso langsung menyatakan mendukung sikap warga Meruya. ”Saya akan pasang badan, rakyat susah, maka pemimpin susah,” katanya. Belakangan, warga menggugat balik Portanigra. Saat menerima gugatan warga itulah, Ketua Pengadilan Jakarta Barat, Haryanto, menyatakan eksekusi lahan Meruya ditunda.
Kemelut Meruya sampai ke DPR. Selama tiga pekan terakhir Komisi Hukum dan Komisi Pertanahan silih berganti memanggil para pihak yang tersangkut sengkarut ini. ”Kami ingin kasus ini diselesaikan secara baik dalam koridor hukum,” ujar M. Nazir Djamil, anggota Partai Keadilan Sejahtera yang memimpin rapat dengan Portanigra, Kamis pekan lalu itu.
LAHAN yang diklaim Portanigra sebagai miliknya itu sudah padat dengan bangunan. Ada perumahan DPR, Kaveling DKI, kaveling BRI, dan juga rumah-rumah yang dibangun perorangan. ”Saya punya sertifikat tanah ini. Saya sendiri yang mengurusnya,’’ kata Bambang Endhar, penghuni RW 02 Meruya Selatan yang terancam tergusur jika Portanigra mengambil lahan di sana.
Bambang memiliki lahan itu sejak 1981. Menurut dosen ini, lahan seluas 150 meter persegi itu dibeli dari anak Masum, ahli waris lahan itu, seharga Rp 700 ribu, dengan mengangsur. ”Itu bagian dari tanah seluas 2.000 meter persegi yang di atasnya telah dibagi enam orang,” katanya. Pembelian lunas pada 1988 dan ia mendapat akta jual-beli.
Berbekal akta itulah Bambang kemudian mengurus pembuatan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional. Sejumlah persyaratan pengurusan itu dilengkapinya, misalnya fotokopi girik induk dan girik pecahan yang disahkan lurah. Petugas BPN juga kemudian datang mengukur lahan miliknya itu. Menurut Bambang, sekitar dua bulan kemudian sertifikat hak milik itu kelar. ”Kalau ada masalah, tentunya sertifikat itu tak keluar,” katanya.
Wali Kota Jakarta Barat, Fajar Panjaitan, juga menyatakan kaveling DKI yang kini jadi kompleks perumahan itu bukan milik Portanigra. ”Kami membelinya langsung dari warga,” kata Fajar. Bekas camat Kebon Jeruk periode 1969-1979, Zaenuddin, bercerita, saat pembebasan kaveling DKI itu, dia ditunjuk sebagai koordinator dalam proses tawar-menawar harga dengan warga. ”Tidak ada Djuhri, saya dibantu RT, RW, dan lurah Meruya,” ujarnya.
Tapi, justru ulah Pemda inilah yang menurut Portanigra menabrak aturan hukum. Menurut Yan Juanda, seharusnya kaveling-kaveling itu tidak bisa diperjualbelikan karena statusnya dalam sengketa. Sebagai saksi yang dilibatkan dalam gugatan Portanigra kepada Djuhri, ujar Yan, Pemda harusnya tahu kaveling itu diblokir. ”Pemda sendiri yang memblokir,” kata Yan. ”Semua pemblokiran itu diketahui juga oleh lurah dan camat. Janggal kalau mereka mengaku tanah itu tidak ada masalah,” kata Yan.
Penelusuran Tempo ke sejumlah warga yang memiliki sertifikat hak milik menunjukkan bahwa rata-rata warga mengurusnya saat tanah itu berdokumen girik. Selain itu, ada pula yang membeli lahan dari Pemda DKI dengan dokumen surat kaveling. Ini, misalnya, dilakukan Pemilik tabloid Cek and Ricek, Ilham Bintang. Ilham membeli kaveling DKI blok 148 yang kini menjadi kantor tabloidnya itu. Menurut Ilham, ia sudah memeriksa semua dokumen miliknya sebelum diurus jadi sertifikat. Pengurusan itu makan waktu sekitar sembilan bulan. ”Ada jeda waktu untuk melihat apakah ada yang mengklaim tanah itu, ternyata tidak ada,” katanya.
Sejumlah aparat Badan Pertanahan Nasional Jakarta Barat juga menyanggah jika ada kongkalikong dalam penerbitan sertifikat itu. Kepala BPN Jakarta Barat, Roli Irawan, menegaskan, pihaknya menjamin sekitar 6.000 sertifikat yang kini di tangan warga Meruya Selatan. ”Karena sudah sesuai prosedur,” katanya. ”Tidak ada dalam catatan buku tanah menyebut tanah Meruya dijual ke Portanigra,” katanya.
Tapi, kepada Tempo, seorang aparat BPN menunjuk lepasnya ”lahan-lahan” milik Portanigra itu bisa jadi karena warga sendiri yang menjualnya. Itu dilakukan, ujar sumber itu, karena mereka tidak puas dengan pembayarannya. ”Jika pun giriknya sudah diserahkan tidak masalah. Bisa dibikin lagi dengan minta ke lurah,” ujar sumber itu. BPN, ujarnya, mengeluarkan sertifikat karena percaya dengan dokumen yang dikeluarkan kelurahan. ”Memang demikian sistem pendaftaran tanah stelsel negatif,” katanya.
Ketua Agraria Watch Indonesia, M.J. Widijatmoko, juga mempunyai dugaan yang agak mirip. ”Zaman itu bisa saja Portanigra bekerja sama dengan aparat kekuasaan, membeli tanah warga secara murah, tapi hanya membayar uang mukanya,” kata salah satu Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia tersebut. Warga yang kecewa, katanya, lantas menjual lahan mereka ke pihak lain. ”Belum bisa disebut peralihan hak, karena Portanigra sendiri mengaku tidak memiliki surat pencabutan hak dari warga,” katanya
Untuk mengurai sengkarut ini, ujar Widijatmoko, kasus ini harus diusut dari transaksi awal pembayaran terhadap warga. ”Harganya apakah sesuai perjanjian atau tidak,” ujarnya. ”Dan girik Portanigra harus dicek di Puslabfor, asli atau palsu.”
Benyamin Mangkoedilaga, hakim agung yang memutuskan kasus Portanigra, menyarankan dibentuk tim independen untuk mengusut kasus ini. Pangkal masalahnya, ujarnya, tanah-tanah yang sudah disita dalam perkara pidana itu diperjualbelikan dan terbit sertifikatnya. ”Biang keroknya di situ,” ujarnya.
HINGGA kini belum ada tim khusus yang dibentuk untuk mengusut kasus Meruya. Yang terjadi justru ”perang baru” antara Portanigara dan warga. Senin pekan ini, Pengadilan Jakarta Barat menggelar sidang pertama gugatan warga Meruya terhadap putusan MA yang memenangkan Portanigra.
Ratusan warga Meruya akan hadir dalam sidang ini. ”Kami siapkan dua bus untuk mengangkut warga ke pengadilan,” kata Ketua Dewan Kelurahan Meruya Selatan, Kaharudin Dompu. ”Kami akan mati-matian mempertahankan hak kami.”
Pertempuran di meja hijau ini dipastikan panjang dan melelahkan. ”Harus dicari jalan lain untuk menyelesaikan kasus ini secara win-win solution,” kata Saut M. Hasibuan, anggota Komisi Pertanahan dari Partai Damai Sejahtera. ”Kalau tidak ini akan menjadi bom waktu.”
L.R. Baskoro, IGG Maha Adi, Kartika, dan Kurniasih Budi
Mengaduk-aduk Meruya
Kasus perebutan tanah di Meruya Selatan, Jakarta Barat, kian rumit. PT Portanigra yakin bahwa mereka memiliki bukti kepemilikan yang sah, sedangkan Badan Pertanahan Nasional juga mempertahankan sertifikat yang mereka terbitkan.
Kejanggalan Porta
- Portanigra telah membeli tanah warga kendati belum mengantongi izin lokasi.
- Membiarkan Djuhri membawa surat pencabutan hak (SPH), dokumen yang seharusnya dipegang Porta selaku pembeli tanah warga.
Putusan Mahkamah Agung Portanigra berhak atas tanah seluas 44 hektare di Meruya. Jumlah warga yang bakal terusir jika eksekusi dilakukan sekitar 20.000 (5.000 KK).
Profil Portanigra:
Didirikan di Jakarta pada 3 April 1970 di depan notaris Julizar. Pemilik: Purwanto Rachmat dan Permadi Rachmat. Modal awal Rp 20 juta dan bergerak, antara lain, di bidang pembangunan gedung, jalan, jembatan, dan lapangan terbang.
Dari Girik Menjadi Hak Milik
- Pemilik girik membawa ke kantor kelurahan
Lurah mengeluarkan dokumen riwayat tanah, salinan buku tanah yang menerangkan lokasi tanah itu, pernyataan tanah tidak dalam sengketa, dan pernyataan kepemilikan yang diketahui RT/RW, lurah dan camat.
- Dokumen diperiksa bagian tata kota untuk mengecek peruntukan tanah itu.
- Dibawa ke Kantor Badan Pertanahan Nasional untuk diproses menjadi sertifikat hak milik.
Beberapa modus manipulasi girik menjadi sertifikat:
- Bekerja sama dengan lurah menerbitkan kembali girik yang sebelumnya dijual. Semua data sama, kecuali nama lurah dan tanggal penerbitan. Dari sini diproses menjadi sertifikat.
- Mengaku giriknya hilang dan meminta polisi menerbitkan surat keterangan kehilangan girik. Berbekal surat keterangan ini meminta lurah menerbitkan girik baru. Dari sini diproses menjadi sertifikat.
IGGM/LRB
Jejak Gugatan Porta
1972-1973 Direktur Utama PT Portanigra Benny Purwanto Rachmat membeli tanah 78 hektare di Kelurahan Meruya Udik (sekarang Meruya Selatan) dari tiga kepala lingkungan (mandor): Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono, Rp 300 per meter persegi.
1977-1979 Ketiga mandor menjual kembali tanah milik Portanigra kepada, antara lain, Pemda DKI Jakarta (10 ha), BRI (2,5 ha), PT Copylas (5 ha), PT Intercon (10 ha), dan PT Labrata (10 ha), seharga Rp 200 per meter persegi.
1978 Operasi Pemulihan Stabilitas Keamanan dan Ketertiban (Opstib) turun tangan dalam perkara penculikan terhadap Djuhri yang dilakukan Tugono dibantu beberapa oknum tentara. Terkuak Djuhri menjual kembali tanah yang sudah dibebaskan Portanigra.
1983 Opstib menyerahkan berkas perkara ini ke kejaksaan. Kasus masuk pengadilan.
1985. Djuhri dihukum 1 tahun (tidak banding).
1987. Yahya dihukum satu tahun di tingkat banding (tidak kasasi).
1989. Tugono dihukum 1 tahun di tingkat kasasi.
1996 Portanigra mengajukan gugatan perdata terhadap Djuhri, Yahya, dan Tugono karena menjual kembali tanah yang sudah mereka beli. Dari 357 girik, kejaksaan baru menyerahkan 165 girik untuk tanah seluas 43,9 hektare.
24 April 1997 Pengadilan negeri menolak gugatan Portanigra.
29 Oktober 1977 Portanigra kalah lagi di pengadilan tinggi.
26 Juni 2001 Mahkamah Agung memenangkan gugatan Portanigra. Alasannya, antara lain, adanya putusan pidana berkekuatan hukum tetap terhadap Djuhri dkk.
26 April 2007 Rapat koordinasi rencana eksekusi. Keputusan: eksekusi 21 Mei 2007.
14 Mei 2007 Warga Meruya mengajukan gugatan perlawanan. Di hadapan warga, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Haryanto menyatakan bahwa eksekusi ditunda.
23 Mei 2007 Djuhri mengajukan peninjauan kembali (PK) kasusnya ke MA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo