Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mandor Djuhri Memilih Ngumpet

Sebagai mandor ia disegani sekaligus ditakuti. Hartanya habis setelah berurusan dengan Opstib.

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAJI Djuhri kini tak bisa lagi dijumpai sedang duduk santai di sofa teras rumahnya. Sejak kasus Meruya meruyak, kakek 87 tahun ini lebih banyak mendekam di rumahnya. Ia tak mau menemui siapa pun yang tak dikenalnya. ”Tapi, kondisinya sehat. Tidak pernah stroke seperti dikatakan Yan Juanda, pengacara Portanigra,” ujar Firmansyah, anak Djuhri kesembilan kepada Tempo. ”Hanya kadang-kadang pikunnya kumat, anaknya sendiri juga tak dikenali.”

Sehari-hari di rumah yang terletak di Jalan H. Djuhri itu—yang memang diambil dari namanya—bapak 10 anak ini kerap ditemani pembantu setianya, Uri. Sebelum kasus Meruya merebak, ritual harian Djuhri adalah setiap pagi dan sore duduk bersantai di teras rumah atau berjalan-jalan di sekitar kediamannya. ”Lainnya, ya, di rumah, makan, tidur,” kata Uri.

Sebelum ”pensiun” karena uzur, Djuhri adalah mandor sekaligus kepala lingkungan kampung Meruya Udik. Yang menunjuknya sebagai mandor adalah Lurah Meruya Udik, Sana bin Sini. Sana mengangkat Djuhri lantaran selain sebagai jawara, Djuhri juga hafal setiap jengkal tanah Meruya. Selain sebagai mandor, saat itu Djuhri juga mulai berbisnis jual-beli tanah.

Suatu ketika, pada 1972, adik Djuhri, Yahya, mengenalkan sang abang ini dengan Muhammad Yatim Tugono. Kepada sang jawara Meruya itu, Tugono berkisah, seorang bernama Benny Purwanto Rachmat ingin membeli tanah dalam jumlah besar. Benny adalah direktur PT Portanigra dan sepupu William Soeryadjaya, pemilik kelompok bisnis Astra. Ketika itulah mulai berembus kabar Astra akan membeli tanah Meruya. ”Katanya dia didrop duit sama Astra, disuruh belanja tanah,” kata Sarbini, teman seangkatan Djuhri, mengenang.

Djuhri bersama Yahya menyanggupi pesanan Tugono. Dalam tempo tiga tahun, keduanya berhasil mengumpulkan 357 girik dengan luas tanah 78 hektare. Haji Muhasyim, seorang warga Meruya Selatan, mengungkapkan, gampangnya Djuhri mengumpulkan tanah lantaran warga takut kepadanya. ”Orang kampung kan gampang tergoda, dan mereka takut sama Djuhri. Jadi, ya dikasih saja,” katanya. Ketika itu, sebagian tanah warga ditukar dengan sepeda motor yang masih dianggap simbol status orang kota. Sekitar 1976, jual-beli itu selesai dan trio mandor ini menerima Rp 225 juta.

Tapi, nasib mandor Meruya ini pada 1978 berubah drastis setelah ia ditahan Opstib yang dipimpin Laksamana Sudomo. Penahanan ini terjadi setelah sebelumnya pengacaranya, Amir Nasution, melaporkan Tugono dan sejumlah tentara ke Opstib karena menculik Djuhri. Alasan penculikan, Djuhri dituduh tak adil membagi duit tanah. Dalam pemeriksaan Opstib terungkap bahwa Djuhri, Tugono, dan Yahya ternyata telah menjual kembali tanah yang sebelumnya mereka jual ke Portanigra. Ketiga orang ini pun berurusan dengan pengadilan, lalu masuk penjara.

Sejak itulah, ”bintang” Djuhri meredup. Duitnya habis terkuras. Untuk biaya pengacara saja, kala itu ia harus mengeluarkan Rp 10 juta. Ia juga harus membayar ganti rugi kepada Portanigra sebesar Rp 35 juta. Keluar dari penjara, sang mandor ini hanya punya beberapa petak tanah. Salah satunya di ruas jalan yang memakai namanya itu.

Kekayaannya yang tersisa sekarang hanya tanah seluas 800 meter yang kini ditempatinya. Di lahan itu ia membangun sejumlah kamar kontrakan dan lima paviliun kecil. Kamar kontrakan ia sewakan per bulan Rp 300 ribu dan paviliun Rp 7 juta per tahun. Di situ juga ia hidup bersama istri keduanya.

Adapun sang adik, Yahya, kini menghidupi dirinya dengan membuka warung telekomunikasi (wartel) di rumahnya, kompleks Kaveling DKI Blok 140, kaveling yang juga diklaim sebagai milik Portanigra. Hanya, sejak kasus ini mencuat, Yahya—mengutip kata orang Betawi—ngibrit entah ke mane....

Adigede, Kartika Chandra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus