Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARI tua Musyawir bergetar saat memeriksa surat penetapan eksekusi Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Bibirnya terkatup erat kala matanya mencocokkan barisan huruf dalam surat penetapan eksekusi itu dengan sertifikat miliknya. Nomor persil dan giriknya tertera sebagai salah satu obyek penyitaan.
Pria 65 tahun ini mengaku tak rela jika tanahnya diambil Portanigra. Tanah seluas 760 meter persegi di RT 03/04 Meruya Selatan itu ia miliki sejak 1984. Ia membeli langsung dari empunya dengan harga per meter persegi Rp 20 ribu. ”Saya juga terima girik aslinya,” ujarnya.
Sejak Portanigra menyatakan lahan itu milik perusahaan tersebut, Musyawir mengaku perasaannya tak menentu. ”Saya selalu waswas,” kata bapak empat anak itu. Ia heran karena selama ini tak pernah mendengar ada sengketa terhadap lahan yang ditempatinya. ”Bagaimana perusahaan itu mengaku memiliki girik tanah saya, padahal saya punya sertifikatnya,” katanya.
Keheranan yang sama juga dirasakan Sriyanto, 50 tahun, salah seorang penghuni lahan Kaveling DKI. Pegawai Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta ini mengaku terkena dampak putusan Mahkamah Agung yang menyatakan Portanigra pemilik tanah di Meruya. Soalnya, kavelingnya seluas 250 meter persegi berikut rumahnya sudah ditawar orang Rp 700 juta. Sejak ada klaim Portanigra, sang calon pembeli tak lagi nongol. ”Lima tahun ke depan tidak ada lagi yang mau beli tanah di sini,” katanya.
Sriyanto merupakan pembeli keenam atas lahan di RT 05/06, Kaveling DKI, yang kini ditempatinya. Ia juga memegang lima akta notaris yang menerangkan nama-nama pemilik rumah dan lahan sebelumnya. Sriyanto juga memegang buku kaveling pemilik awal. ”Lengkap dengan foto pemiliknya,” katanya.
Karena memiliki dokumen lengkap ini, ia mengaku tak bermasalah kala mengurus sertifikat. Pada 1997, ujarnya, keluar sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas lahannya. Dua tahun kemudian ada kemudahan untuk meningkatkan HGB menjadi sertifikat hak milik. Maka, sertifikat hak milik pun dikantonginya. Karena itu, ia mengaku heran jika kemudian ada pihak lain yang mengklaim lahan itu milik mereka.
Kisah seperti Sriyanto itu juga dialami warga penghuni kompleks BRI di wilayah RT 03/04. Lahan-lahan di kompleks itu kini menjadi bagian dari lahan yang, menurut Mahkamah Agung, milik Portanigra. ”Saya sendiri memiliki lahan itu sejak 1978,” kata Didi Zainuddin, salah seorang penghuni kompleks BRI.
Menurut Didi, proses kepemilikan tanah di lahan kompleks BRI itu jelas asal-usulnya. Awalnya, mereka mengangsur selama tiga tahun dari koperasi Swakarya BRI. Kemudian saat ada program Prona, program sertifikasi tanah secara nasional, dan mereka ikut. Lewat Prona, keluarlah sertifikat hak milik atas kaveling yang mereka tempati.
Proses pembebasan lahan oleh koperasi BRI dari warga pemilik juga jelas riwayatnya. Menurut Didi, proses kepemilikan lahan itu awalnya dilakukan koperasi dengan membebaskan lahan dari warga pemilik. Saat itu, kata Didi, prosesnya dilakukan melalui perantara Muhamad Hanafi dan Iwan Maswan. ”Dua orang ini kepercayaan koperasi BRI untuk mencarikan tanah,” katanya.
Dua orang inilah yang kemudian menghubungi mandor Djuhri dan kawan-kawannya untuk mencarikan tanah di sekitar Meruya Selatan. Pada 1978, didapat tanah seluas 2,3 hektare. Koperasi membayar tanah itu berdasarkan girik asli yang diserahkan kepada mereka.
Girik-girik itulah yang digunakan untuk mengajukan Surat Ijin Peruntukan Tanah ke Pemda DKI. Pada 1978, lewat surat keputusan yang ditandatangani Gubernur Tjokropranolo izin itu turun. Selanjutnya, lahan itu dibuat kaveling-kaveling berukuran 300–500 meter persegi. Lewat Prona, kaveling-kaveling itu ditingkatkan statusnya sebagian menjadi HGB dan sebagian lain bersertifikat hak milik.
Jika dirunut ke belakang, pembentukan kaveling-kaveling untuk para pegawai itu dilakukan bersamaan dengan penataan ibu kota negara pada 1952. Sebagian warga yang wilayahnya terkena penataan dipindahkan ke kawasan Slipi hingga Grogol. Karena lahan di sana tak memadai untuk pemindahan penduduk yang jumlahnya mencapai 5.000 KK, dilakukanlah pembebasan lahan di Kedoya, Meruya Udik, Meruya Ilir, dan Joglo, yang terletak di Jakarta Barat.
Di tiga kelurahan terakhir diperoleh lahan 140 hektare. Pada 1973, dimulailah pengkavelingan untuk menampung 1.500 keluarga. Lahan-lahan itu yang menjadi kompleks DKI, Kaveling DKI, dan kompleks Wali Kota. Harga tanah di sana sekitar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per meter persegi. Tak terbayangkan apa jadinya jika ribuan warga di situ dipaksa angkat kaki oleh Portanigra.
Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo