Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jurus Silat di Kolam Luluk

Presiden Yudhoyono setuju dengan penerapan teknologi selubung baja. Amblesan tanah dan faktor dana bakal jadi hambatan.

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah menteri mendadak bisu dalam rapat kabinet di Istana Negara. Tensi tinggi merayap ke seluruh ruangan oleh amarah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hari itu, Jumat dua pekan lalu, Presiden memimpin sidang kabinet, membahas penyelesaian bencana lumpur Lapindo—yang pekan ini genap satu tahun. Yudhoyono naik darah setelah beberapa menteri mengeluhkan kendala teknis dan seretnya dana untuk mengatasi luluk atau lumpur yang terus menyembur. ”Sudah saya beri waktu satu tahun. Tapi kalian tak bisa berbuat apa-apa!” Yudhoyono berseru.

Presiden, kata sumber Tempo yang hadir di ruang sidang itu, geram lantaran penyelesaian kasus semburan lumpur Lapindo amburadul. Ribuan warga yang rumahnya tenggelam kian menderita. Padahal ganti rugi bagi ribuan korban masih terkatung-katung. Tambahan lagi, teknologi yang selama ini diterapkan tak membuahkan hasil. Teknologi relief well (pengeboran menyamping) yang dikerjakan ahli teknik pengeboran tidak tuntas. Begitu pula teknologi mencemplungkan untaian bola beton yang digagas ahli fisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

Semua ini membikin kepala SBY, sebutan akrab Yudhoyono, berdenyut-denyut. Dia kemudian meminta para menteri merealisasi konsep teknologi selubung baja. Ini konsep apa lagi?

Begini ceritanya. Teknologi cofferdam atau selubung baja adalah proposal baru yang masuk ke meja Presiden, lalu secepat kilat dibawa ke sidang kabinet. Penggagasnya Junius Hutabarat. Dia ahli teknik sipil lulusan ITB yang pernah menjadi pejabat eselon satu Departemen Pekerjaan Umum. Junius menggandeng pemimpin Katahira & Engineers International, perusahaan konsultan dari Jepang. Dia juga mengajak Andy Siswanto, ahli perencanaan kota yang memperoleh gelar doktor dari Architectural Association Graduate School, London. Junius dan Andy pernah menjadi Deputi Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias.

Tertarik dengan ide tersebut, Presiden memanggil tiga serangkai Junius, Andy, dan Takashi Okumura, Presiden Direktur Katahira. Dua hari kemudian, ketiganya hadir dalam sidang kabinet yang diselingi oleh kemarahan Presiden.

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menjelaskan teknik cofferdam bakal menciptakan keseimbangan di atas lubang sehingga menekan dan menghentikan semburan. ”Lumpur yang keluar akan dilawan oleh beratnya sendiri,” katanya. Katahira punya pengalaman menerapkan teknologi ini di Jepang dan Filipina.

Menurut Junius, kunci dari teknologi ini terletak pada pengendalian semburan lumpur. Karena itu, pusat semburan bakal dikurung oleh pipa baja setinggi 48 meter. ”Konsep awal dua lingkaran pipa baja, tapi bisa juga lebih,” kata Junius. Diameter lingkaran dalam sekitar 120 meter atau sebesar Stadion Utama Senayan. Lumpur yang terkurung dalam lingkaran itu akan menekan semburan dari bawah.

Andy Siswanto mengibaratkan teknologi ini seperti pertandingan silat atau kungfu. ”Tenaga dalam kami lawan dengan tenaga dalam, melawan lumpur dengan lumpur,” katanya. Jadi gravitasi lumpur yang terkumpul dalam cofferdam lama-lama bisa mengurangi debit semburan sehingga tercapai keseimbangan (lihat infografis).

Setelah urusan semburan beres, tiga serangkai itu merencanakan penataan kawasan bencana. ”Konsep dasarnya adalah kehidupan para korban lumpur harus baik kembali,” kata Andy. Menurut Andy, posisi Sidoarjo sebagai subpusat kawasan megapolitan Gerbang Kertasusila harus tetap dipertahankan. Apalagi kota ini menjadi simpul pergerakan regional dari arah barat (Mojokerto), timur (Probolinggo), utara (Gresik dan Surabaya), dan selatan (Malang).

Banyak kritik terlontar pada gagasan ini. Sejumlah ahli geologi mewanti-wanti soal amblesan tanah yang terjadi pada radius sekitar 2 kilometer dari pusat semburan. Dua bulan lalu, Kelompok Riset Geodesi ITB melakukan pengukuran dengan peralatan GPS. Ternyata laju amblesan dan tanah naik (uplift) tak menentu. ”Suatu saat menurun dan pada waktu lain bertambah,” kata Mipi A. Kusuma, anggota kelompok itu.

Menurut Mipi, semua pihak harus waspada karena pola semburan lumpur sudah mirip gunung api. Temuan tim ITB ini sama dengan hasil penelitian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. ”Lokasi sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas berada tepat di atas zona lemah,” kata Surono, kepala lembaga ini. Ia mengingatkan aktifnya sesar-sesar kecil yang merupakan cabang dari sesar utama Watukosek di bawah Porong.

Melihat kondisi itu, Edy Sunardi pesimistis terhadap teknologi apa pun untuk menutup semburan. ”Sudah game over,” kata Ketua Dewan Pakar Ikatan Ahli Geologi Indonesia itu. Ia mengusulkan lumpur dibuang ke Selat Madura melalui kanal sepanjang 20 kilometer. ”Lumpur itu berasal dari alam, jadi kembalikan saja ke alam.”

Namun Junius tetap optimistis. Menurut dia, ahli teknik sipil Indonesia sudah biasa membuat konstruksi bangunan di tanah yang labil. Jika muncul semburan di tempat lain, kata dia, bakal dibuat lagi cofferdam yang lebih kecil. Ia mengajak ahli ilmu kebumian bergabung dengan memberikan data di bawah permukaan.

Menurut Junius, proposal yang ditawarkan lebih realistis dan murah ketimbang merelokasi permukiman dan infrastruktur serta mengalirkan lumpur ke laut. ”Biaya membuat kanal 20 kali lipat dibanding cofferdam,” katanya. Untuk membangun cofferdam, dibutuhkan biaya Rp 600 miliar.

Menteri Djoko sebelumnya sudah membentuk tim yang menyiapkan relokasi infrastruktur. Dalam rancangannya, infrastruktur ini terletak tiga kilometer dari pusat semburan dan diperkirakan menelan biaya Rp 1,2 triliun. Dana Rp 1,2 triliun dari APBN itu di luar relokasi pipa gas Pertamina yang tahun lalu meledak. Selain itu, triliunan rupiah harus disiapkan untuk membangun kanal 20 kilometer ke laut.

Menurut Sekretaris Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Adi Sarwoko, kanal selebar 500-600 meter dengan tinggi 12 meter amat diperlukan. ”Karena Kali Porong tak mampu lagi menampung, sementara kawasan yang terendam lumpur mencapai 500 hektare.”

Dari segi anggaran, konsep cofferdam lebih murah. Namun mereka harus belajar dari mandeknya model penyelesaian teknologis lain selama ini. Salah satu penghambat macetnya proyek relief well adalah soal fulus. Sejumlah kontraktor mundur di tengah jalan karena pembayaran yang tidak jelas dari PT Lapindo.

Kondisi serupa terjadi pada metode bola beton. Dari 2.000 untaian bola beton, baru 398 yang dicemplungkan. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menghentikan proyek ini. ”Padahal sudah terjadi penurunan volume semburan dan penurunan aktivitas semburan kecil,” kata Bagus Endar Nurhandoko, kepala proyek ini.

Bagus mengaku kelompoknya membiayai sendiri biaya operasional di lapangan. ”Uang muka yang dijanjikan sampai sekarang belum kami terima,” katanya dua pekan lalu. Repot memang jika urusannya kembali soal uang. Bisa-bisa amarah Presiden Yudhoyono kembali meledak di tengah sidang kabinet.

Untung Widyanto, Ahmad Fikri (Bandung), Kukuh Wibowo (Surabaya), Rohman Taufiq (Sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus