Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Enam Bulan Tujuh Perkara

Kejaksaan hakul yakin, uang di Paribas hasil penyelewengan Tommy Soeharto. Sejumlah bekas anak buah Pangeran Cendana itu akan diperiksa aparat pada pekan ini.

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOKUMEN itu ditumpahkan di Pengadilan Guernsey. Dibawa Kejaksaan Agung RI jauh-jauh ke tanah Inggris, berkas itu berisi tujuh dugaan korupsi yang melibatkan Hutomo Mandala Putra. Bermacam-macam jenisnya: dari korupsi di usaha penerbangan hingga bisnis bulir cengkeh. Paling moncer terjadi di Humpuss, perusahaan Tommy Soeharto yang menggurita dengan berbagai usaha.

Dokumen dugaan korupsi ini dibawa kejaksaan ke ruang sidang itu dua pekan lalu, guna merebut dana Rp 524 miliar milik sang Pangeran Cendana. Dana itu dipendam di Bank Paribas cabang Guernsey, kepulauan di selatan Inggris, tak berapa lama setelah Soeharto lengser, 21 Mei 1998.

Tommy, yang gagal mencairkan duit itu, menggugat Bank Paribas ke Royal Court of Guernsey. Pengadilan di sana lalu mengundang pemerintah Indonesia untuk ikut dalam perkara ini, lantaran para penyelidik Inggris menemukan ada kaitan antara uang itu dan Soeharto.

Kejaksaan Indonesia mengklaim uang itu diperoleh dengan cara tak halal. Pengadilan Guernsey diminta mengembalikan uang itu ke Jakarta. Sidang kasus ini sudah berkali-kali digelar—terakhir berlangsung pada Rabu pekan lalu.

Dalam dokumen yang disodorkan kejaksaan ke muka hakim, Humpuss disebut menerima dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tatkala krisis ekonomi membungkam bisnis di Indonesia. Jumlah bantuan yang ditelan perusahaan ini menjulang hingga Rp 5 triliun. Dari ratusan perusahaan yang menerima bantuan itu, Humpuss masuk nomor tiga terbesar. Celakanya, Humpuss tak mampu mengembalikan uang itu. Sebagian besar utang lalu ditalangi bank pemerintah.

Dosa Humpuss ini masih ada lagi, yakni dugaan korupsi dalam pembelian mesin Airbus dari Rolls Royce dan Fokker untuk maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Humpuss adalah mak comblang jual-beli ini. Nah, kedua dosa Humpuss ini, kata Yosep Suardi Sabda, wakil kejaksaan dalam kasus ini, tengah diselidiki para penyidik dengan serius.

Itu baru dosa Humpuss. Dugaan korupsi lain yang membelit Tommy terjadi di Sempati Air. Perusahaan penerbangan ini dibangun Tommy dengan Bob Hasan, kawan karib Soeharto. Sempati diduga mendulang Rp 40 miliar dari sejumlah yayasan sosial yang didirikan Soeharto. Sialnya, uang segunung itu tidak pernah dikembalikan sampai Sempati tutup pada Juli 1999.

Salah satu yayasan yang menggelontorkan uang ke Sempati adalah Supersemar. Yayasan ini, begitu bunyi dokumen kejaksaan, menerima 2,5 persen laba delapan bank pemerintah plus 2,5 persen lagi dari bunga. Cara pungut seperti itu jelas membuat pundi-pundi yayasan itu gampang melar. Dari situ uang disalurkan ke sejumlah perusahaan, termasuk Sempati Air milik Tommy.

Kejaksaan Agung tampaknya ingin menjepit anak Soeharto itu dari segala pintu. Selain dua kasus di atas, dia juga diduga terlibat dalam kasus korupsi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), Putra Timor Nasional, PT Goro Batara Sakti, dan menikmati keuntungan raksasa dari bisnis di Pertamina.

Dengan tujuh dugaan korupsi itu, kejaksaan meminta agar para hakim di Pengadilan Guernsey memulangkan uang Rp 524 miliar itu atau membekukan dana itu untuk sementara.

Otto Cornelis Kaligis, kuasa hukum Tommy Soeharto, mencibir dengan mengatakan bahwa kejaksaan cuma bertepuk sebelah tangan. Yosep Suardi Sabda, kata Kaligis, ”Cuma mendongeng karena semua tuduhan itu tidak disertai bukti.” Kaligis mengaku heran karena kejaksaan menyeret nama Soeharto dalam sidang, padahal yang bersengketa adalah Bank Paribas dan Tommy, bukan pemerintah Indonesia versus Soeharto.

Uang yang disimpan di Paribas pun, kata Kaligis, berasal dari bisnis halal Tommy Soeharto di luar negeri, bukan uang kiriman dari Jakarta. Guna memperkuat bantahan itu, kuasa hukum Tommy menghadirkan Abdurrahman Abdul Kadir, salah seorang direktur Garnet Investment, ke ruang sidang.

Dalam kesaksiannya Abdul Kadir menegaskan bahwa uang di Guernsey itu bersumber pada hasil penjualan saham di Lamborghini dan Superbike International Limited—dua perusahaan milik Tommy. Saham Lamborghini itu dilepas ke produsen otomotif Audi pada 23 Juli 1998. Dari penjualan itu Tommy menangguk untung Rp 422 miliar.

Uang inilah, kata Abdul Kadir, yang kemudian disetor ke rekening Garnet di Bank Paribas cabang Guernsey. Pengiriman dilakukan dalam dua tahap: Rp 418 miliar dikirim pada 6 Oktober 1998 dan empat miliar dikirim pada 11 Februari 1999.

Selain dari hasil penjualan saham Lamborghini itu, Garnet juga menerima setoran dari Motorbike. Ini juga perusahaan milik Tommy di luar negeri. Perusahaan itu menjual 50 persen sahamnya di Superbike International Limited. Uang hasil penjualan ini, begitu Abdul Kadir mengaku, juga disetor ke Garnet.

Pengiriman juga dilakukan dalam dua tahap: Rp 88 miliar dikirim per 12 Februari 1999 dan Rp 14 miliar dikirim pada 30 Juni 1999. Jadi, kata Abdul Kadir, dana di Paribas itu murni berasal dari penjualan saham Tommy di luar negeri itu.

Tapi kejaksaan amat yakin bahwa duit itu ditransfer dari Jakarta sekitar Juli 1998. Artinya, cuma dua bulan sesudah Soeharto jatuh. Keyakinan itulah yang memperkuat dugaan bahwa pengiriman dana itu merupakan upaya pencucian uang. Soal pencucian uang ini tengah diselidiki polisi Indonesia.

Yang kini juga tengah diusut kejaksaan adalah hubungan antara perusahaan di luar negeri itu dan sejumlah perusahaan Tommy yang bermasalah di Jakarta. Lamborghini, misalnya, ditengarai dimiliki oleh V Power, sebuah perusahaan yang juga dimiliki Tommy Soeharto. Kuat diduga, kata sumber di Kejaksaan Agung, V Power itu dimiliki sepenuhnya oleh PT Humpuss. Nah, masih menurut sumber ini, karena Humpuss bermasalah, ”Ekor di seberang sana pasti bermasalah juga.”

Kini pemerintah Indonesia sudah menang satu langkah. Dalam sidang terakhir, Rabu pekan lalu, hakim di pengadilan Guernsey memperpanjang masa pembekuan rekening itu enam bulan ke depan. Selama itu pula pemerintah berpeluang merebut uang ini. Salah satu caranya adalah membuktikan kebenaran tujuh dugaan korupsi yang dilakukan Tommy Soeharto itu.

Kejaksaan kini sibuk memberkas kasus korupsi yang melibatkan Tommy Soeharto. Sasaran empuk yang dibidik adalah kasus cengkeh. Tujuh anak buah Tommy Soeharto dipanggil kejaksaan pada Senin pekan ini. Mereka adalah bekas petinggi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh.

Mereka dipanggil karena diduga menyalahgunakan BLBI Rp 75 miliar. ”Buktinya sangat kuat,” kata Muhamad Salim, Direktur Penyidikan di Kejaksaan Agung. Tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi malah pernah menghitung kerugian negara dalam kasus cengkeh itu sekitar Rp 1,7 triliun.

Kejaksaan pun optimistis bisa merampungkan seluruh berkas gugatan itu dalam waktu singkat. ”Tiga bulan sudah cukup,” tutur Jaksa Agung Hendarman Supandji, Jumat pekan lalu. Sebab, katanya, sebelum putusan di Guernsey itu, kejaksaan sudah menyiapkan berkas gugatan dalam kasus cengkeh.

Enam dugaan korupsi lainnya tengah diselidiki tim Kejaksaan Agung. Kasus itu juga bakal diberkas. Berkas itulah yang menjadi bekal kejaksaan menuju Guernsey enam bulan lagi.

Wenseslaus Manggut, Rini Kustiani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus