Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengapa KPK Tak Menjerat Bupati Ahmad Muhdlor Ali di OTT Sidoarjo

KPK tak kunjung menyeret Bupati Ahmad Muhdlor Ali seusai OTT di Sidoarjo. Lolos setelah mengalihkan dukungan politik.

4 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FORUM gelar perkara kasus pemotongan insentif pajak di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat, 26 Januari 2024, berlangsung alot. Sejumlah pemimpin KPK dan tim penyidik berbeda pandangan ihwal penyelesaian operasi tangkap tangan (OTT) yang dilaksanakan sehari sebelumnya di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan yang dimulai pada pukul 13.00 WIB itu sempat tertunda dan dilanjutkan pada pukul 15.00 WIB, lalu berakhir dua jam kemudian. Namun peserta rapat tak berhasil menyepakati beberapa hal. Salah satunya keputusan memeriksa Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali dalam kasus ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Operasi di Sidoarjo ini berbeda dengan OTT yang lazim digelar KPK. Pada rapat ekspose itu, penyidik justru mengusulkan pelimpahan perkara kepada Kepolisian RI. Alasannya, kasus tersebut terlalu kecil. Aset yang diselamatkan pun nilainya tak sampai miliaran rupiah. “Dan tidak ada penyelenggara negara yang terlibat,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Inspektur Jenderal Rudi Setiawan kepada Tempo pada 3 Februari 2024. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Usul Rudi ditolak Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Kepada Tempo, Alex juga mengakui peserta rapat sempat mengusulkan kasus itu dilimpahkan kepada kepolisian. “Tapi batal karena, setelah dipertimbangkan, pemisahan perkara itu malah bikin ribet,” ujarnya.

Menurut Alex, peran pegawai BPPD yang ditangkap dalam OTT itu tak bisa dilepaskan dari peran kepala daerah. Pimpinan KPK lantas memerintahkan tim penyidik menguji petunjuk itu. “Jika nanti benar tidak ditemukan unsur penyelenggara negara, baru kami limpahkan ke penegak hukum lain,” katanya.

Rapat ekspose pada Jumat itu sebenarnya sudah menyepakati satu tersangka, yaitu Kepala Subbagian Umum dan Kepegawaian BPPD Sidoarjo Siska Wati. Tapi KPK masih menyimpan rapat-rapat nama Siska.

Siska salah satu dari sebelas orang yang terciduk dalam OTT di Sidoarjo. Dua di antaranya Robith Fuadi, kakak ipar Bupati Ahmad Muhdlor Ali, dan asisten pribadi bupati, Aswin Reza Sumantri. Suami Siska, Kepala Bagian Pembangunan Sekretariat Daerah Sidoarjo Agung Sugiarto, ikut diciduk dalam OTT itu. Ketiganya dipulangkan setelah diperiksa di Kepolisian Resor Sidoarjo. 

KPK baru merilis nama Siska pada Senin sore, 29 Januari 2024. Itu pun setelah pimpinan KPK menggelar rapat ekspose kedua. Dalam rapat itu, kasus ini lagi-lagi nyaris dilimpahkan kepada kepolisian dengan argumentasi yang sama. Sikap pemimpin lain pun sempat goyah. Tapi Alexander Marwata tetap ngotot kasus ini ditangani KPK. “Saya tidak sendirian dan pada akhirnya semua pemimpin setuju,” ujar Alex.

Kepala Subbagian Umum dan Kepegawaian BPPD Kabupaten Sidoarjo Siska Wati memakai rompi tahanan setelah terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, 29 Januari 2024. Tempo/Imam Sukamto

Inspektur Jenderal Rudi Setiawan mengatakan perbedaan pendapat dalam rapat ekspose merupakan hal yang wajar. “Namanya juga forum ekspose, semua orang punya hak berpendapat,” tuturnya.

Rudi mengaku dia yang mengusulkan pelimpahan perkara OTT di Sidoarjo ke lembaga lain. Ia berdalih usul itu sudah melewati kajian Direktorat Penyelidikan dan Direktorat Penyidikan KPK. Kajian itu menilai kasus pemotongan insentif pajak di Sidoarjo belum mengindikasikan peran penyelenggara negara. Apalagi uang yang disita dalam OTT itu hanya Rp 69,9 juta. “Kan malu kalau KPK menangani perkara kecil,” katanya.

Alasan lain, kasus Siska Wati tak sejalan dengan kerja KPK yang berorientasi pada pemulihan aset kerugian negara. Rudi mengusulkan perkara itu ditangani polisi tapi dalam pengawasan KPK. “Selaku deputi, saya punya tanggung jawab kebijakan pada tataran strategis. Makanya saya berani mengusulkan itu,” tuturnya.

Langkah KPK yang akhirnya merilis penetapan tersangka dan modus Siska Wati empat hari setelah OTT bukan pola yang lazim. Biasanya KPK paling lama mengumumkan penetapan tersangka sehari setelah OTT digelar.

Rupanya, ada motif lain yang membuat KPK gamang menindaklanjuti OTT di Sidoarjo. Seorang penegak hukum di KPK mengatakan tim di lapangan sebenarnya sudah bersiap menjemput Bupati Ahmad Muhdlor Ali. Tapi pimpinan KPK di Jakarta mencegah langkah itu.

Sebenarnya peran Bupati Muhdlor Ali sudah jelas. Dalam konferensi pers pada Senin sore, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan pemotongan insentif pegawai Pemerintah Kabupaten Sidoarjo turut dinikmati pejabat. “Pemotongan dan penerimaan dana yang dimaksud di antaranya diduga untuk kebutuhan Kepala BPPD dan Bupati Sidoarjo,” ujarnya. Seorang penegak hukum di KPK mengatakan penyidik juga sudah mengantongi bukti percakapan antara Bupati dan anak buahnya dalam kasus ini.

OTT KPK mengungkap modus sejumlah pegawai pemerintah Sidoarjo yang menyunat 10-30 persen dana insentif kepada aparatur sipil negara (ASN) yang berhasil memungut pajak sesuai dengan target. Pada 2023, Ghufron menjelaskan, BPPD Sidoarjo berhasil mengumpulkan Rp 1,3 triliun. “Dari jumlah itu, total pemotongan insentif para ASN pada 2023 senilai Rp 2,7 miliar,” ucapnya. KPK menduga praktik tersebut berlangsung sejak 2021.

Bupati Ahmad Muhdlor Ali pun bukan kali ini saja masuk radar KPK. Seseorang yang mengetahui sepak terjang Gus Muhdlor—panggilan Ahmad Muhdlor Ali—mengatakan KPK sebenarnya sudah bergerak pada Mei 2023. Tapi KPK bertujuan mengawasi perkara korupsi proyek pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Sidoarjo. Sayangnya, informasi tentang pengawasan itu bocor. Beberapa kepala dinas kompak mengganti nomor telepon.

.

Hingga 3 Februari 2024, Gus Muhdlor tak kunjung merespons permintaan wawancara Tempo yang dikirim ke nomor telepon seluler miliknya dan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo. Pegawai Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Sidoarjo yang dihubungi Tempo hanya mengirimkan tautan keterangan dari Dinas Komunikasi dan Informasi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.

Dalam keterangan itu, Ahmad Muhdlor mengklaim akan bersikap kooperatif dan siap menjalani pemeriksaan KPK. “Saya juga memerintahkan semua perangkat daerah untuk memfasilitasi kebutuhan pemeriksaan, termasuk data yang diperlukan KPK,” tulis Gus Muhdlor.

Pernyataan Gus Muhdlor itu jauh panggang dari api. Ia tak meladeni undangan pemeriksaan KPK yang sedianya digelar pada 2 Februari 2024. Juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan Gus Muhdlor beralasan menghadiri acara hari ulang tahun Kabupaten Sidoarjo ke-165 dan belum menunjuk pengacara. “Kami sudah menjadwalkan ulang pemeriksaan untuk tanggal 16 Februari 2024,” tutur Ali.

Beberapa hari setelah OTT, Gus Muhdlor juga tak pernah muncul di depan publik. Dua orang yang mengetahui perkara ini saat ditemui secara terpisah mengatakan Gus Muhdlor diduga berupaya mencari perlindungan lewat lembaga penegak hukum lain. Ayah Gus Muhdlor, Kiai Haji Agoes Ali Masyhuri atau biasa disapa Gus Ali, menjamu seorang jenderal dari Markas Besar Polri sehari setelah OTT di Sidoarjo.

Gus Ali adalah pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Progresif Bumi Shalawat, Desa Lebo, Kabupaten Sidoarjo. Ia seorang tokoh berpengaruh di Sidoarjo yang aktif di Nahdlatul Ulama dan Partai Kebangkitan Bangsa. Ia kerap didatangi tokoh partai politik yang mencari dukungan. Gus Muhdlor adalah anak keenam Gus Ali dan menjadi bupati lewat rekomendasi PKB.

Bukan hanya utusan polisi, seorang jenderal Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Jawa Timur juga mengunjungi rumah Gus Ali setelah OTT KPK terjadi. Gus Muhdlor turut hadir dalam pertemuan itu.

Tempo berupaya menghubungi Gus Ali lewat panggilan telepon. Pria 65 tahun itu sempat merespons dan menanyakan keperluan Tempo. Saat ditanyai soal kunjungan utusan Mabes Polri dan jenderal TNI, Gus Ali mengaku tak mendengar pertanyaan itu. Ia akhirnya menutup sambungan telepon, lalu nomornya tak bisa dihubungi lagi.

Gus Ali dan Gus Muhdlor ditengarai berupaya mencari perlindungan kepada para pejabat di Jakarta. Salah satunya kepada seorang menteri yang juga bagian dari keluarga besar NU. Kedua jenderal yang datang ke rumah Gus Ali diduga diperintah sang menteri.

Tapi bantuan itu tak gratis. Para penolong Bupati Ahmad Muhdlor Ali ditengarai meminta keluarga besar Gus Ali memastikan dukungannya kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Karena menjadi bagian dari PKB, Gus Ali dan Gus Muhdlor sempat menyatakan dukungannya kepada pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar pada November 2023. Muhaimin adalah Ketua Umum PKB.

Kompensasinya, para petinggi di Jakarta berupaya merayu KPK agar Gus Muhdlor tak ditetapkan sebagai tersangka. Siasat inilah yang diduga membuat pimpinan KPK ragu-ragu memeriksa Bupati Sidoarjo. Tapi Wakil Ketua KPK Alexander Marwata membantah informasi ini. “Kabar burung itu,” ujarnya.

Tempo berupaya menghubungi Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho, tapi tak berbalas. Seorang jenderal yang bertugas di Jawa Timur juga membantah kabar mengenai peran petinggi TNI dalam kasus ini. Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran juga belum menanggapi pertanyaan ihwal sikap politik Gus Muhdlor dan Gus Ali.

Tepat sepekan setelah OTT KPK, tepatnya pada 1 Februari 2024, Gus Ali dan Gus Muhdlor menggelar hajatan akbar deklarasi dukungan terhadap Prabowo-Gibran. Acara bertajuk “Nderek Kyai” itu digelar di kompleks Pesantren Bumi Shalawat dan dihadiri ribuan pendukung. Pemimpin Pondok Pesantren Amanatul Ummah, Kiai Haji Asep Saifuddin Chalim, menantu Gus Ali, dan ipar Gus Muhdlor, Bupati Gresik Fandi Akhmad Yani, turut hadir dalam acara tersebut.

Ditemui wartawan setelah acara tersebut, Bupati Muhdlor Ali tak menjawab pertanyaan mengenai alasan dukungannya kepada pasangan Prabowo-Gibran. Pria 32 tahun itu malah melontarkan kalimat yang sama sekali tak terkait dengan OTT KPK dan perubahan sikap politiknya. “Saya judicial review sudah dari sepuluh bulan lalu,” katanya sambil berjalan menjauh.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fajar Pebrianto, M. Khory Alfarizi, Nur Hadi, dan Hanaa Septiana dari Surabaya berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Nderek Kiai Setelah OTT KPK"

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus