Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang peninjauan kembali terpidana mati Agus Hadi dan Pujo Lestari itu berlangsung singkat, tak sampai satu jam. Itu pun tanpa dihadiri sang narapidana alias sidang in absentia. "Saya tak berani menghadirkan terpidana di sidang tanpa bantuan pengawalan," kata Charles Lubis, pengacara Agus dan Pujo, kepada Tempo di Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau, Kamis pekan lalu.
Agus Hadi alias Oki dan Pujo Lestari bin Katenodivonis mati Pengadilan Negeri Batam pada 23 Mei 2007. Keduanya terbukti bersalah membawa 12.209 butir pil ekstasi merek Toyota, 800 butir pil ekstasi merek Love, dan 12.490 butir psikotropik jenis happy five merek Erinim.
Agus dan Pujo sudah dua kali mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Upaya hukum luar biasa ini pertama kali mereka ajukan pada 20 Agustus 2009 dan ditolak Mahkamah Agung pada 13 Januari 2011. Pada permohonan peninjauan kembali yang kedua, 15 Desember 2014, Agus dan Pujo tak mengajukan novum atau bukti baru. "Kami hanya menekankan pada kesalahan hakim," ujar Charles.
Menurut Charles, kedua kliennya disebut hakim sebagai pengedar narkotik terorganisasi. Padahal, kata dia, kedua orang itu hanya kurir biasa. "Hukuman mati seharusnya menyasar bandar."
Agus dan Pujo mengajukan permohonan peninjauan kembali yang kedua setelah mengetahui rencana pemerintah akan mengeksekusi hukuman mati mereka. Selain mereka berdua, ada empat orang lagi yang akan dieksekusi. Mereka adalah Gunawan Santoso, Tan Joni, Namaona Denis, dan Marco Archer.
Keenam terpidana mati itu kini mendekam di penjara yang berbeda. Empat dikurung di Nusakambangan, yakni Gunawan, Tan, Namaona, dan Marco. Adapun Agus dan Pujo mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Batam.
Ancaman segera mengeksekusi terpidana hukuman mati disampaikan Presiden Joko Widodo dalam kuliah umum di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, awal Desember 2014. Presiden menyatakan menolak permohonan grasi 64 terpidana mati kasus narkotik. Alasan penolakan itu, kata Presiden, Indonesia kini berada dalam status darurat narkotik.
Dalam rapat kabinet terbatas sehari sebelum Natal, Jokowi juga memerintahkan kejaksaan segera mengeksekusi hukuman mati. Hanya, eksekusi tersebut diutamakan untuk terpidana narkotik—sebagai bagian dari program "Indonesia Bebas Narkotika pada 2015".
Program Indonesia bebas narkotik dicanangkan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juni 2011.Sepanjang masa pemerintahan Yudhoyono, sejak 2004 hingga 2014, lima terpidana mati kasus narkotik telah dieksekusi. Mereka antara lain warga negara Nigeria, Malawi, Pakistan, dan India. Di luar kasus narkotik, pemerintah Yudhoyono telah mengeksekusi 13 terpidana mati kasus pidana umum dan terorisme.
Namun rencana pemerintah Jokowi mengeksekusi enam terpidana hukuman mati ini tak berjalan mulus. Penyebabnya, para terpidana, lewat pengacara mereka, "mengulur waktu" dengan menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Putusan yang diketuk pada 6 Maret 2014 itu memang membuka peninjauan kembali dilakukan berulang kali. Permohonan uji materi atas Pasal 268 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berkaitan dengan PK itu diajukan Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, yang terlibat kasus pembunuhan. Setelah diuji materi, bunyi pasal itu pun berubah menjadi, "Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja kecuali terhadap alasan ditemukannya keadaan baru (novum) dapat diajukan lebih dari sekali."
Dengan alasan untuk menghindari ketidakpastian hukum, pada akhir Desember 2014, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014. Bertolak belakang dengan putusan Mahkamah Konstitusi, surat edaran Mahkamah Agung itu malah membatasi peninjauan kembali hanya satu kali.
Menurut Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Nonyudisial Suwardi, putusan Mahkamah Konstitusi hanya membatalkan Pasal 268 ayat 3 KUHAP. Sedangkan pasal-pasal yang mengatur peninjauan kembali di undang-undang lain masih berlaku dan konstitusional. Suwardi pun merujuk pada Undang-Undang Kekuasaan Hakim dan Undang-Undang Mahkamah Agung, yang menyebutkan permohonan peninjauan kembali hanya boleh diajukan satu kali.
Para hakim di Mahkamah Konstitusi bereaksi keras atas terbitnya surat edaran Mahkamah Agung itu. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, pasal tentang peninjauan kembali dalam Undang-Undang Kekuasaan Hakim dan Undang-Undang Mahkamah Agung, dengan dikabulkannya permohonan uji materi Antasari itu, secara tidak langsung sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Menurut ahli hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiiqie, untuk menjamin keadilan, idealnya memang tak ada pembatasan pengajuan permohonan peninjauan kembali. "Itu berkaitan dengan hak asasi manusia," ucapnya. Menurut Jimly, tren hukum di negara-negara maju, peninjauan kembali tak dibatasi.
Kendati demikian, Jimly melanjutkan, di negara yang tak membatasi peninjauan kembali pun upaya hukum luar biasa itu jarang diajukan lebih dari sekali. Itu terjadi karena proses hukum di negara-negara tersebut berjalan dengan tegas dan jelas. "Semestinya kita juga introspeksi soal penanganan hukum di Indonesia ini."
Untuk menyelesaikan perdebatan seputar pembatasan peninjauan kembali itu, pada Jumat pekan lalu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempertemukan para pejabat lembaga penegak hukum. Pertemuan di Ruang Supomo Gedung Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum itu berlangsung lebih dari dua jam.
Menurut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, putusan Mahkamah Konstitusi tentang peninjauan kembali lebih dari sekali memerlukan aturan pelaksanaan. Nah, pada pertemuan itu disepakati penerbitan aturan baru tentang syarat dan mekanisme peninjauan kembali. Peraturan pelaksana itu antara lain akan berisi pengertian novum, pembatasan waktu, dan tata cara pengajuan permohonan peninjauan kembali.
Selama regulasi baru itu belum keluar, menurut Yasonna, surat edaran Mahkamah Agung yang menyatakan peninjauan kembali hanya satu kali yang menjadi acuan para hakim.
Meski ada perdebatan, menurut Yasonna, rencana eksekusi terpidana mati yang ditolak grasinya tetap akan berjalan. Alasannya, grasi merupakan permohonan pengampunan atas tindak pidana yang telah terjadi."Artinya, terpidana mengaku salah dan tidak ada upaya hukum lain yang dia ajukan," ujarnya.
Dua terpidana mati yang telah mengajukan permohonan grasi adalah Namaona Denis dan Marco Archer. Menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Tony Spontana, kedua terpidana mati ini akan dieksekusi setelah proses notifikasi—pemberitahuan kepada pihak kedutaan negara asal mereka—selesai. Notifikasi juga menjadi semacam pemberitahuan untuk keluarga terpidana. "Keluarga tak perlu hadir atau bertemu dulu dengan narapidana," kata Tony.
Adapun terhadap terpidana mati yang telanjur mengajukan permohonan peninjauan kembali, kejaksaan akan menunda eksekusi sampai ada putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali itu. "Kami menghormati proses yang sedang berlangsung," ujar Jaksa Agung H.M. Prasetyo. Nah, terhadap terpidana yang belum mengajukan permohonan peninjauan kembali, kata Prasetyo, jika ingin menempuh upaya hukum terakhir itu, harus menunggu dulu keluarnya regulasi baru. Dua terpidana mati yang berencana mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah Gunawan Santoso dan Tan Joni.
Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Basuni Masyarif menyatakan kejaksaan sebenarnya sudah siap melaksanakan eksekusi keenam terpidana mati itu. Surat perintah eksekusi sudah diteken dan diberikan kepada kepala kejaksaan tinggi di lokasi eksekusi pada Desember tahun lalu. Anggaran pelaksanaan eksekusi sebesar Rp 200 juta untuk setiap narapidana, menurut Basuni, juga siap dikucurkan.
Sejauh ini, Kejaksaan Agung memang belum memberitakan secara resmi lokasi eksekusi. Kepada Tempo, seorang pejabat di Kejaksaan Agung menyatakan eksekusi akan dilakukan di Nusakambangan, Jawa Tengah. Tujuh tahun lalu, pada 2008, Nusakambangan juga dipilih sebagai tempat eksekusi tiga terpidana mati kasus bom Bali I, yakni Amrozi, Mukhlas alias Ali Gufron, dan Imam Samudra alias Abdul Aziz. Ketiganya dieksekusi berbarengan di Bukit Nirbaya, Nusakambangan.
Dari pantauan Tempo, kegiatan di Dermaga Wijayapura—pintu gerbang menuju Nusakambangan—hingga pekan lalu masih berjalan normal. Di sana belum terlihat penjagaan ketat seperti ketika Amrozi dan kawan-kawan akan dieksekusi.
Yuliawati, Istman M.P., Dewi Suci, Rumbadi Dalle (Batam), Aris Adrianto (Cilacap)
Menjelang Kepala Terkulai
Peristiwa 27 tahun silam itu masih diingat jelas Tumpak Hatorangan Panggabean, anggota Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2003-2007. Itulah saat ia pertama kali menyaksikan eksekusi hukuman mati. Kala itu Tumpak menjabat Kepala Seksi Intel Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Dia hadir menyaksikan eksekusi seorang narapidana yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.
Eksekusi tersebut dilakukan di lapangan di sebuah pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Saat itu bertindak sebagai penanggung jawab eksekutor Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution. Puluhan aparat kejaksaan, kepolisian, dan TNI hadir menyaksikan eksekusi itu. "Kami berkumpul di Pelabuhan Tanjung Priok sejak tengah malam menjelang eksekusi," kata Tumpak, 71 tahun, Rabu pekan lalu, kepada Tempo.
Rombongan Tumpak lantas diangkut kapal polisi menuju pulau tempat eksekusi itu. Tiba sebelum subuh, Tumpak melihat di sana regu tembak dari Kesatuan Pelopor Kepolisian RI sudah berada di lokasi. Di sana, ia juga melihat seorang pria, berpakaian hitam-putih, terikat, dengan tangan ke belakang, di sebuah tiang. "Orang itu tampak sangat tenang. Dia meminta matanya tak ditutup," ujar Tumpak. Tumpak ingat, narapidana itu juga meminta ikatan tali tangannya dikendurkan. "Terlalu kencang ikatannya, membuat tak nyaman," kata Tumpak, menirukan keluhan narapidana tersebut.
Detik-detik eksekusi kemudian terjadi. Regu tembak mengarahkan senjata ke arah dada pria tersebut. Sebelum senjata menyalak, pria itu berkata, "Setelah mati, kepala saya akan menoleh ke sebelah kiri." Lalu tembakan serentak terjadi—hanya satu kali. Kepala pria itu lalu terkulai. "Seperti yang ia prediksi, kepalanya terkulai ke kiri," ujar Tumpak. Seorang dokter lantas memeriksa dan memastikan pria yang ditembak itu sudah meninggal. "Lalu ia disalatkan dan dikuburkan di pulau itu," kata Tumpak.
Tata cara eksekusi hukuman mati diatur dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Undang-undang ini menyebutkan hukuman mati dilakukan dengan "ditembak mati".
Menurut Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Basuni Masyarif, dalam eksekusi, yang bertindak sebagai eksekutor adalah kepala kejaksaan negeri tempat eksekusi tersebut dilakukan. Eksekutor berkoordinasi dengan kepolisian untuk menyiapkan regu tembak dan melakukan proses pengamanan eksekusi. Kini ada enam narapidana yang segera ditembak mati.
Kepala Polri Jenderal Sutarman mengatakan pihaknya siap melakukan tugas eksekusi itu. Para penembak jitu yang berasal dari satuan Brigade Mobil ada di setiap kepolisian daerah. Tim untuk eksekusi dipimpin seorang perwira dengan 13 anak buah yang semuanya mengarahkan senjatanya ke dada narapidana. Tak satu pun yang tahu senjata yang mereka pegang itu berisi peluru tajam atau peluru kosong. Jarak tembak adalah 5-10 meter, tak boleh kurang atau lebih.
Seorang sumber Tempo di kejaksaan menyebutkan, untuk eksekusi kali ini, lokasinya adalah Nusakambangan. Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Yuspahruddin mengakui pihaknya memang tengah menyiapkan tempat untuk lokasi eksekusi di Nusakambangan.
Menurut Yuspahruddin, sebelum pelaksanaan eksekusi, kantor kehakiman dan lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan akan berkoordinasi untuk mencari tempat mengisolasi terpidana. Isolasi dilakukan tiga hari menjelang eksekusi. "Biasanya isolasi di LP Besi," katanya. Hingga kini terpidana mati yang ada di Nusakambangan belum diisolasi.
Kepada Tempo, Hasan Makarim, rohaniwan yang selama ini mendampingi narapidana di Nusakambangan, bercerita bahwa narapidana hukuman mati di sana kini banyak yang mengalami stres setelah mendengar kabar kejaksaan akan melakukan eksekusi. "Mereka takut mendapat giliran," kata Hasan.
Yuliawati, Aris Andrianto (Cilacap)
Enam Menunggu Mati
Namaona Denis (Malawi)
Peredaran narkotik jenis heroin seberat 1.000 gram.
Vonis: Pengadilan Negeri Tangerang, 2001.
Status: Ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, menunggu informasi jaksa eksekutor.
Marco Archer Cardoso Moreira(Brasil)
Menyelundupkan narkotik jenis kokain seberat 13,4 kilogram.
Vonis: Pengadilan Negeri Tangerang, 2004.
Status: Ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, menunggu info jaksa eksekutor.
Pujo Lestari
Penyelundupan puluhan ribu butir ekstasi dan happy five dari Malaysia ke Batam pada 2006.
Vonis: Pengadilan Negeri Batam, 2007.
Status: Ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Batam, mengajukan permohonan peninjauan kembali kedua pada 15 Desember 2014. Dalam proses sidang PK.
Agus Hadi
Penyelundupan puluhan ribu butir ekstasi dan happy five dari Malaysia ke Batam pada 2006.
Vonis: Pengadilan Negeri Batam, 2007.
Status: Ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Batam, mengajukan permohonan peninjauan Kembali kedua pada 15 Desember 2014. Dalam proses sidang PK.
Gunawan Santoso
Pembunuhan berencana di Pluit, Jakarta Utara, pada 2004. Korbannya Direktur Utama PT Aneka Sakti Bakti (Asaba) Boedyharto Angsono. Boedyharto adalah mertua Gunawan.
Vonis: Pengadilan Negeri Jakarta Utara, 2004.
Status: Ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.
Tan Joni alias Aseng
Pembunuhan satu keluarga di Baran, Meral, Kepulauan Riau, pada 2006.
Vonis: Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau, 2006.
Status: Ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo