Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA penumpang mobil boks Daihatsu Gran Max itu turun bergegas dari mobil mereka. Tanpa banyak cakap, ketiganya berpindah ke mobil Daihatsu Luxio, yang sudah berada di area parkir pusat belanja Lotte Mart Taman Surya, Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat. Senin pagi pekan lalu itu, pada saat yang bersamaan, keluar empat penumpang dari dalam Luxio. Rupanya, mereka bertukar mobil dan bersiap tancap gas lagi.
Tapi, belum lagi mobil bergerak, selusinan petugas Badan Narkotika Nasional (BNN) mengepung dua kendaraan tersebut. Menenteng senjata, mereka memerintahkan semua orang di dalam dua mobil itu turun. Di bawah todongan senjata, dua sopir dan lima penumpangnya menyerah tanpa perlawanan.
Pada saat yang sama, di pojok lapangan parkir, anggota BNN lain meringkus seorang pria yang rupanya bertugas mengawasi "tukar kendaraan" itu. Bukan hanya itu. Di sebuah restoran mi di pusat belanja tersebut, petugas BBN lain juga mencokok seorang pria yang tengah sibuk menelepon. Pria itu tengah mengarahkan transaksi yang terjadi di antara penumpang dua kendaraan tersebut. "Sekali sergap, sembilan tertangkap," kata Kepala BNN Komisaris Jenderal Anang Iskandar kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Bagi BNN, tangkapan awal tahun ini tergolong istimewa. Pagi itu, BNN meringkus Wong Chi-Ping dan kawan-kawan. Wong, 40 tahun, bukan sembarang orang di bisnis barang haram ini. Dia pengendali jaringan penyelundup narkotik asal Hong Kong yang diburu aparat mancanegara.
Barang bukti yang disita BNN pun tak main-main. Mobil boks itu berisi 840 kilogram sabu-sabu kelas wahid. Bila dihitung sampai ke tangan pemakai, menurut Iskandar, nilai serbuk bening keputihan itu mencapai Rp 1,7 triliun. "Ini tangkapan terbesar di Indonesia, bahkan di Asia," ujar Anang.
NAMA Wong Chi-Ping sudah lama masuk pantauan radar aparat antimadat lintas negara. Badan antinarkotik di Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara Asia Tenggara bertahun-tahun berlomba memburu warga negara Cina itu.
Dalam jaringan narkotik internasional, Wong berperan sebagai pengendali komplotan pengiriman lintas negara. Jaringan Wong mengantarkan barang milik gembong narkotik asal Cina dan Hong Kong yang dipesan bandar besar di banyak negara. "Dia transporter yang menguasai jaringan di Asia Tenggara," kata Anang.
Wong pertama kali masuk ke Indonesia sekitar 15 tahun lalu. Dia pernah tinggal di Tarakan, Kalimantan Utara, dengan menyamar sebagai pengusaha ikan. Setelah beristrikan orang Surabaya, Wong berpindah-pindah tempat tinggal di Jawa dan Bali. Dia juga tercatat kerap bolak-balik Cina dan Hong Kong.
BNN intensif mengawasi gerak-gerik Wong sejak tiga tahun terakhir. Pada pertengahan 2014, Wong terdeteksi hendak memasukkan sabu-sabu seberat 500 kilogram dari Guangzhou, Cina, ke Indonesia. Namun paket itu tak sampai ke Indonesia. Rupanya, kapal nelayan yang disewa Wong mengangkut sabu karam diterjang ombak.
Meski gagal menyelundupkan narkotik dalam paket besar, jaringan Wong terus bekerja. Mereka mengirimkan narkotik dalam paket yang lebih kecil, antara 3 kilogram dan 5 kilogram. Sabu-sabu itu didatangkan ke Indonesia lewat Malaysia. Menurut Anang, sejumlah kurir yang ditangkap BNN mengaku bekerja di bawah kendali Wong. "Sebelum menangkap Wong, kaki tangan dia kami pereteli dulu," kata Anang.
Menjelang malam pergantian tahun lalu, tim intelijen BNN kembali mendapat informasi jaringan Wong akan mengirim 500 kilogram sabu-sabu dari Guangzhou. Kali ini infonya lebih detail. Sabu-sabu itu milik sindikat narkotik di Hong Kong yang dipesan bandar besar di Indonesia. Dari berbagai info yang dikumpulkan, BNN bahkan kemudian mengantongi rute pengiriman barang hingga lokasi serah-terima di Jakarta.
Pada Ahad pagi, 4 Januari lalu, sebuah tongkang bertolak dari pelabuhan kecil di Pantai Dadap, Tangerang, Banten. Nakhoda kapal, Suryadi, berangkat bersama pemilik kapal, Salim, dan anak buah kapal, Andika. Mereka diminta Wong mengambil kiriman paket di tengah Laut Jawa. Namun, sewaktu berangkat, Suryadi belum diberi tahu titik koordinat penjemputan barang itu.
Baru menempuh perjalanan tiga jam, mesin tongkang Suryadi bermasalah. Suryadi pun merapat dulu ke Pulau Pramuka untuk memperbaiki kapalnya. Sewaktu menunggu di Kepulauan Seribu itulah Suryadi diberi tahu titik koordinat penjemputan barang. "Itu di jalur pelayaran internasional," ucap Suryadi ketika hadir untuk rekonstruksi penangkapan di Pantai Dadap, Selasa pekan lalu.
Dari Pulau Pramuka, Suryadi perlu waktu lima jam untuk menuju titik koordinat yang disepakati. Ketika tiba di lokasi, ia tak langsung melihat kapal pengirim barang. Setelah ditunggu satu jam, sebuah kapal penangkap ikan seukuran dua kali lipat kapal Suryadi datang mendekat. Kapal itu berpenumpang lima orang, termasuk nakhodanya. "Mereka berkulit terang dan bermata sipit," kata Suryadi, yang mengaku tak memahami percakapan awak kapal itu.
Dalam waktu singkat, muatan kapal berpindah. Kedua kapal itu pun segera berpisah. Suryadi memutar haluan ke arah Pantai Dadap. Karena kapal bermuatan penuh dan ombak laut yang tinggi, perjalanan pulang ke Dadap memakan waktu 15 jam. Kapal baru tiba di Dadap pada Senin pagi, 5 Januari lalu.
Sewaktu tongkang itu merapat, tim BNN sebenarnya sudah berada di sekeliling pelabuhan Dadap. Tapi waktu itu tim hanya ditugasi mengawasi, bukan menyergap. Aparat BNN mempunyai pertimbangan: jika disergap di situ, yang bakal tertangkap hanya kurir-kurir kecil. Sesuai dengan rencana, tim BNN baru akan menyergap ketika paket narkotik itu sampai di tangan pemesan. Pengawasan ketat pun terus dilakukan sejak lokasi pengiriman sampai tempat tujuan. BNN menyebut tindakan ini sebagai control delivery.
Di Dadap, muatan tongkang berpindah ke mobil boks Daihatsu Gran Max yang menunggu di Jalan Prancis. Sekitar pukul 09.00, mobil boks Gran Max melaju ke arah Kalideres. Suryadi dan Salim pun ikut dalam mobil boks itu, bersama seorang sopir. Di tengah jalan, Wong Chi-Ping memberi instruksi agar mobil boks menuju area parkir Lotte Mart Taman Surya. Rupanya, di sana telah menunggu minibus Luxio dengan empat penumpang.
Setelah berputar-putar di area parkir, mobil boks berhenti persis di samping minibus itu. Di situ tak terjadi perpindahan barang. Yang bertukar tempat justru sopir dan penumpang mobil. Nah, saat itulah petugas BNN menangkap Wong Chi-Ping dan komplotannya.
Di samping menangkap Wong, tim BNN meringkus tiga warga Hong Kong. Mereka adalah Taim Siu Lung, Chung Ning, dan Suy Euk Feyng. Ketiga orang itu diduga berperan sebagai pembeli sabu-sabu asal Guangzhou untuk diedarkan di Indonesia. Warga Malaysia yang menyiapkan mobil jemputan, Tan Ting, juga ditangkap. Adapun empat warga Indonesia yang ditahan adalah Suryadi, Salim, Andika, dan Syarifudin Nurdin.
Di depan penyidik, Wong Chi-Ping dan kawan-awan berusaha menutupi jaringan mereka. Wong, misalnya, berkukuh mengaku pengusaha ikan. Adapun paket sabu-sabu itu ia sebut "pelet" alias pakan ikan. "Sandi 'pelet' itu pula yang dipakai Wong ketika berkomunikasi dengan komplotannya," ujar Anang Iskandar.
Toh, penyidik BNN tak terpaku pada bualan Wong dan kawan-kawan. Tim BNN justru mengandalkan informasi yang diperoleh jauh sebelum penangkapan. Selasa pekan lalu, penyidik BNN pun menggeledah dua unit apartemen Park City, Jakarta Barat.
Di lantai sembilan tower G apartemen, penyidik menemukan dua unit telepon satelit, perangkat Global Positioning System (GPS), dan handy-talky. Menurut Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal Deddy Fauzi el-Hakim, peralatan itu dipakai Wong untuk mengendalikan dan memandu transaksi narkotik. "Unit apartemen ini bisa disebut pusat kendalinya," kata Deddy, yang memimpin penggeledahan itu.
Pada hari yang sama, tim BNN juga menggeledah sebuah rumah di kompleks Citra Garden III, Kalideres. Di rumah itu, tim BNN menemukan kamar mandi yang disamarkan menjadi lemari. Rumah yang disewa tiga warga Hong Kong rekan Wong itu diduga akan dijadikan gudang penyimpanan sabu-sabu.
Meski Wong Chi-Ping belum terbuka, menurut Anang, BNN sudah mempunyai target operasi berikutnya. Pekan lalu, BNN memasukkan lima anggota jaringan Wong ke daftar pencarian orang. "Gembong di Hong Kong pun sudah kami identifikasi. Tapi kami berfokus memburu yang di dalam negeri," ucap Anang.
Jajang Jamaludin, Dimas Siregar
Yang Tertangkap
11 September 2011
Polisi menangkap empat anggota sindikat narkotik Cina-Malaysia yang menyelundupkan 351 kilogram sabu-sabu dari Guangzhou lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Sebanyak 30 kotak sabu-sabu, seharga Rp 702 miliar, disamarkan dengan 300 kotak makanan ikan.
16 Januari 2012
Polisi menangkap lima anggota sindikat narkotik Iran-Belanda di pelabuhan tradisional Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Polisi menyita 70 kilogram sabu-sabu. Selebihnya tenggelam di kapal dan sekoci penyelundup.
22 November 2014
Tim Badan Narkotika Nasional menggulung tiga anggota sindikat narkotik asal Cina yang mengirimkan 150 kilogram sabu-sabu melalui pantai Pluit, Jakarta Utara. Paket sabu disamarkan dalam makanan kemasan dan mainan plastik.
26 Februari 2014
Tim BNN membekuk dua warga Iran yang menyelundupkan 60 kilogram sabu-sabu melalui pelabuhan kecil di kawasan cagar alam Desa Jayanti, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.
5 Januari 2015
Tim BNN meringkus sindikat sabu-sabu Cina-Hong Kong di tempat parkir Lotte Mart Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat. Sekitar 840 kilogram sabu-sabu dikemas dalam 42 karung dan disamarkan dalam plastik kemasan kopi hitam.
Paket Jumbo di Laut Lepas
Pelabuhan kecil dan "jalur tikus" di wilayah perbatasan menjadi pilihan sindikat internasional untuk memasukkan narkotik ke Indonesia. Paket narkotik jumlah besar selalu dikirim melalui jalur laut.
Dari Afrika (Nigeria)
Narkotik masuk ke Thailand dan Malaysia, lalu dilanjutkan ke Indonesia. Dari Kuching, Malaysia, narkotik masuk melalui perbatasan Entikong menuju Pontianak, lalu Jakarta. Narkotik juga masuk melalui Nunukan dan Tarakan (Sulawesi), lalu masuk ke Jakarta.
Singgah di Malaysia, Lalu Indonesia
Jaringan narkotik internasional menggempur Indonesia dari berbagi arah. Malaysia menjadi tempat transit utama.
Dari Cina dan Hong Kong
Narkotik dibawa ke Thailand, lalu melalui jalur darat menuju Pelabuhan Johor Bahru, Malaysia. Dari sana, dibawa perahu ke Tanjung Sengkuang, Batam. Alternatif lain, paket dikirim dari Guangzhou dengan kapal ikan melalui Laut Cina Selatan, masuk perairan Indonesia, lalu masuk Jakarta melalui pelabuhan tikus, seperti di Dadap, Tangerang.
Dari kawasan Bulan Sabit Emas:
Afganistan, Iran, dan Pakistan.
Narkotik dikirim ke Asia Tenggara melalui Pakistan dan India. Dari Pakistan, dikirim ke selatan Thailand, masuk Malaysia, lalu ke Indonesia. Dari India, sabu dan heroin dibawa ke Malaysia dan Singapura, lalu masuk Selat Malaka. Paket narkotik kemudian ditransfer ke Medan, Kepulauan Riau, dan Dumai. Ada juga paket yang memutar lewat Dili, Timor Leste, masuk melalui Atambua, menuju Kupang, Surabaya, kemudian Jakarta.
Digempur Empat Sindikat
Empat jaringan internasional menjadi pemasok utama narkotik ke Indonesia. Jaringan itu beranak-pinak menjadi sekitar 40 jaringan yang lebih kecil.
1. Sindikat Afrika barat. Jaringan ini dikendalikan dari Nigeria. Mereka mendistribusikan narkotik dalam paket 3-5 kilogram melalui banyak orang ke Indonesia. Maksudnya, jika salah satu tertangkap, masih banyak yang lolos.
2. Sindikat Iran. Jaringan ini kebanyakan mengedarkan narkotik jenis crystal methamphentamine (sabu-sabu) yang juga diproduksi di Iran. Mereka lebih berani mengambil risiko, setiap kali mengirim paket biasanya dalam jumlah besar.
3. Sindikat Cina-Hong Kong-Taiwan. Jaringan ini biasanya mendistribusikan prekursor atau bahan baku sabu-sabu yang stoknya melimpah di Cina daratan. Setelah pabrik-pabrik di Jakarta terbongkar, mereka mengirim sabu-sabu yang siap edar. Pusat pabrik: Guangzhou, Cina.
4. Sindikat Malaysia-Aceh. Malaysia menjadi tempat transit narkotik dan psikotropik dari negara produsen, seperti Amerika Latin. Selanjutnya, narkotik dikirim ke Indonesia lewat Aceh, lalu dibawa ke Jakarta. Di Malaysia, kelompok ini banyak memproduksi psikotropik jenis happy five.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo