Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Olga Hannover, siang Rabu pekan lalu adalah siang biasa di Paris. Dia sibuk dengan pekerjaannya sambil mendengarkan musik dengan suara keras. Ketika butuh fotokopi berkas, dia pun ke luar rumah. Saat itulah perempuan yang berprofesi pelukis ini baru sadar ada yang aneh dengan Paris. "Saya melihat kesibukan dan polisi menutup bulevar (RichardLenoir)," kata Olga kepada Tempo.
Namun ia berhasil menerobos dan masuk ke studionya, Rue de Chemin Vert. Dia langsung menghidupkan radio untuk mengetahui apa yang terjadi. Terkejutlah Olga mendengar kabar adanya serangan di kantor mingguan satire Charlie Hebdo di Rue NicolasAppert, di seberang Boulevard RichardLenoir, sekitar 200 meter dari kediamannya. Sebanyak 12 orang, termasuk polisi, tewas. Ia terus mengikuti perkembangannya lewat radio.
Jalanan di Paris hari itu kacau, terutama yang dekat dengan lokasi kejadian, tak jauh dari Le Bastille, simbol revolusi Prancis di jantung kota. Bus dan mobil dialihkan ke jalan lain, di luar kompleks gedung tempat Charlie Hebdo berada. Jurnalis bergerombol sambil memperhatikan apa yang terjadi dari kejauhan.
Padahal kawasan sekitar kompleks gedung Charlie Hebdo biasanya ramai karena penuh dengan kafe, restoran, dan butik. Juga ada perusahaan bidang teknologi tinggi, perusahaan perfilman dan televisi, juga media. Tapi siang itu suasana mencekam. Mobil polisi dan ambulans berseliweran dengan sirene yang cukup memekakkan telinga. Orangorang berlalulalang dengan tampang kebingungan atau sedih. Serasa dalam pembuatan film horor.
"Vous savez Madame, j'ai la guerre a Beirut pendant 20 ans (Ibu tahu, saya mengalami perang selama 20 tahun di Beirut, Libanon). Situasi ini rasanya familiar," ujar seorang sopir taksi.
Pukul 11.30, dua pria bersenjata memasuki sebuah kantor, tak jauh dari kantor Charlie Hebdo. "Mereka berpakaian hitam dan mengenakan rompi antipeluru," kata seorang pegawai di gedung itu kepada koran Prancis, Le Monde. Mereka menanyakan di mana Charlie Hebdo.
Dua penyerang itu kemudian bertemu dengan kartunis Corinne "Coco" Rey, yang akan ke luar kantor. Ia dipaksa membawa mereka ke ruang redaksi. Rey mencoba mengecoh dengan membawa ke lantai lain. Namun akhirnya mereka memasuki ruang rapat. Penyerang menanyakan Pemimpin Redaksi Stephane "Charb" Charbonnier dan langsung menembaknya. Kemudian menyusul polisi yang menjaganya. Juga tujuh orang lain yang sedang ikut rapat.
Menurut Rey, seperti dilaporkan koran L'Humanite, para penyerang berbicara mengklaim sebagai orang AlQaidah. Orangorang itu kemudian berteriak "Allahu Akbar" dan "Kalian akan membayar karena menghina Nabi".
Setelah selesai, mereka kabur. Di trotoar tak begitu jauh dari kantor Charlie Hebdo, mereka sempat mengeksekusi Ahmed Merabet, seorang polisi.
"Ini mengingatkan saya pada kekerasan yang dilakukan mafia di Chicago awal abad lalu, pembunuhan tak masuk akal, dengan acak, dan politik dana bisnis saling terkait," ujar Phyliss Springer Sipa, salah satu pendiri Sipa Agency di Paris, kepada Tempo. "Mereka masuk kantor dan menembak orangorang itu dengan Kalashnikov, dan menyebutkan namanama mereka sebelumnya."
Serangan ke Charlie Hebdo itu bukanlah yang pertama. Mingguan satire ini memiliki sejarah panjang mengolokolok tokoh atau pengikut berbagai agama. Juga tokoh dunia.
Hanya beberapa jam sebelum serangan, koran itu mencuitkan kartun yang menggambarkan Abu Bakar alBagdadi, pemimpin kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), dengan pesan: "Meilleurs voeux, au fait" (Ngomongngomong, semoga beruntung).
Olokolok dilakukan bahkan sejak surat kabar sebelumnya, HaraKiri. Mingguan ini dibredel pada 1970 karena halaman muka terbitan November tahun itu dianggap melecehkan mantan Presiden Prancis Charles de Gaulle, yang meninggal sepekan sebelumnya.
Langsung menggantikan HaraKiri, Charlie Hebdo meneruskan tradisi mengolokolok. Pada 2007, mereka mempublikasikan kartun yang menggambarkan seorang Yahudi Ortodoks, uskup, dan muslim radikal yang menyatakan Charlie Hebdo harus diselubungi. Pada 2010, mereka mempublikasikan kartun yang menggambarkan Paus Benediktus XVI memegang kondom Durex di atas kepalanya. Judulnya: "Paus melangkah terlalu jauh".
Yang paling mengundang kontroversi adalah saat mereka memasang kartun Nabi Muhammad pada 2006, yang aslinya diterbitkan koran Denmark, JyllandsPosten. Saat muncul di koran Denmark, kartun ini sudah mengundang banjir protes dari sebagian komunitas muslim dunia.
Presiden Prancis saat itu, Jacques Chirac, sampai mengeluarkan pernyataan: "Apa pun yang bisa melukai keyakinan orang lain, terutama keyakinan agama, seharusnya dihindari. Kebebasan berekspresi seharusnya dijalankan dengan spirit bertanggung jawab."
Tapi Charlie Hebdo menjawab dengan publikasi surat yang ditandatangani 12 penulis dan intelektual, termasuk Salman Rushdie dan Ayaan Hirsi Ali. Di antara isinya: "Kami, penulis, jurnalis, intelektual, menyeru perlawanan atas totalitarianisme agama, dan untuk mempromosikan kebebasan, kesempatan yang sama, dan nilainilai sekuler untuk semua."
Tahun berikutnya, koran mingguan itu digugat dua asosiasi muslim Prancis, The Great Mosque of Paris dan The Union of Islamic Organisation of France, untuk kasus kartun Nabi Muhammad tersebut. Namun pengadilan menolaknya, dengan alasan keputusan Charlie Hebdo mempublikasikan gambar itu tak mengundang kebencian akan agama.
Charlie Hebdo pun terus melenggang. Pada 2011, mingguan ini kembali membuat kontroversi besar, dengan menempatkan katakata "Charia Hebdo" yang sedikit menutup logo Charlie Hebdo. Nama itu memelesetkan kata "sharia" (syariah). Kemudian ada gambar Nabi Muhammad disertai kalimat: "100 cambukan jika kalian tidak mati tertawa".
Hari berikutnya, kantor Charlie Hebdo dilempari bom molotov. Setelah itu, mereka pindah ke gedung perkantoran dan mendapat penjagaan dari polisi.
Pada September 2012, saat ramai film antiIslam dari Amerika Serikat, Charlie Hebdo kembali memasang gambar Nabi Muhammad. Polisi meminta redaksi mempertimbangkan lagi publikasi kartun itu. Saat redaksi menolak, polisi antihuruhara kembali dikerahkan. Pemerintah juga mengumumkan penutupan sementara kedutaan, konsulat, pusat budaya, dan sekolahsekolah Prancis di beberapa negara muslim karena alasan keamanan.
Charlie Hebdo tetap tak terpengaruh. "Tujuannya adalah untuk tertawa," ucap jurnalis Charlie Hebdo, Laurent Leger, beberapa tahun lalu. "Kami ingin menertawakan ekstremis, semua ekstremis. Mereka bisa saja muslim, Yahudi, Katolik. Setiap orang bisa jadi religius, tapi cara pikir dan tindakan ekstremis tak bisa kami terima."
Mendengar serangan terhadap orangorang Charlie Hebdo, masyarakat Paris dan dunia tergerak. Solidaritas marak. Media sosial langsung heboh dengan tagar #JeSuisCharlie (Saya Charlie).
Di Paris sendiri, warga bukannya ketakutan dan bersembunyi di rumah. Beberapa lokasi di Paris menjadi tempat berkumpul untuk menunjukkan solidaritas. Di Place de la Republique, satu per satu warga berdatangan. Sekitar pukul 05.30 sore, tempat lapang seperti alunalun itu telah menjadi lautan manusia. Lilinlilin yang dibawa memberi terang. Posterposter juga mewarnai alunalun ini, di antaranya dengan tulisan "Je suis Charlie".
Rasa solidaritas makin kuat menyaksikan lilinlilin yang menyala dari jendelajendela gedung di sekeliling lapangan. Bahkan Menara Eiffel pun gelap. "Kita harus menang, dan kita akan menang... karena perjuangan kita adalah kebebasan," kata Pierre Cornet kepada 5News.
Di sisi lain Paris, polisi sempat harus bekerja keras. Bahkan polisi di seluruh Prancis. Mereka memburu dua dari tiga tersangka, yakni kakakadik Cherif Kouachi, 32 tahun, dan Said Kouachi, 34 tahun. Said pernah ke Yaman dan mendapat latihan dari AlQaidah, sementara Cherif pernah dihukum tiga tahun penjara karena ikut kelompok perekrutan orang yang akan dikirim ke Irak. Tersangka ketiga, Hamyd Mourad, 18 tahun, menyerahkan diri tak lama setelah aksi penembakan.
Pada Jumat pekan lalu, polisi mengunci Cherif dan Said Kouachi di Kota DammartinenGoele, di Prancis utara, dengan posisi memiliki tawanan. Tapi drama tak berlangsung berlarutlarut, berakhir dengan tewasnya kedua bersaudara itu.
Purwani Diyah Prabandari (Jakarta), Kunang Helmi, Anda Djoehana Wiradikarta, Wilma Margono (Paris, Prancis)
Dari Seberang Sebuah Bulevar
Hari itu bermula dengan biasa saja, sebuah pagi di Paris, Rabu, 7 Januari 2015. Saya terlambat mandi karena harus meriset untuk penulisan artikel tentang museum. Seraya sarapan cepatcepat, saya menelepon seorang teman yang juga pelukis, Olga Hannover. Saya kabarkan akan telat untuk makan siang bersama.
Setelah itu, saya bergegas ke pemberhentian bus. Lama bus tak datang. Malah tibatiba raungan sirene terdengar. Mobil polisi berwarna hitam dengan sirene biru diikuti mobil ambulans mendekat. Pikir saya, pasti ada yang tak beres.
Saya memasuki apotek untuk mengucapkan selamat tahun baru dan bertanya kepada pegawai apa yang sedang terjadi. Dia memberi tahu apa yang ia dengar di radio, tentang serangan di kantor mingguan Charlie Hebdo. Tibatiba telepon seluler saya berbunyi. Olga berbicara tentang penutupan jalan dan serangan. Saya mulai berjalan menuju La Place des Vosges.
Di tengah jalan, saya menelepon suami saya yang memberi tahu bahwa ada serangan teroris yang menewaskan sepuluh wartawan dan kartunis Charlie Hebdo serta dua polisi. Salah satunya dieksekusi oleh teroris tatkala dia tengah memohon agar tak dibunuh. Insiden berdarah ini terjadi di jantung Kota Paris, dekat La Bastille, simbol revolusi Prancis.
Saya pun berjalan lebih cepat dan menghentikan taksi untuk membawa saya sedekat mungkin dengan lokasi kejadian di seberang Boulevard RichardLenoir. Sopir taksi mengatakan: "Vous savez Madame, j'ai la guerre a Beirut pendant 20 ans (Ibu tahu, saya mengalami perang selama 20 tahun di Beirut, Libanon). Situasi ini rasanya familiar," dia menambahkan.
Kami berputarputar tanpa bisa mendekat. Saya putuskan keluar dari taksi dan berjalan kaki ke arah bulevar itu. Saya mendatangi jurnalis televisi dan bertanya di mana kantor Charlie Hebdo. Mereka menuding ke arah kejauhan.
Saya melihat ambulans di ujung Chemin Vert dan seberang Boulevard RichardLenoir. Manusia mengalir dari sana, bersicepat dalam wajah bingung dan sedih. Beberapa sepeda motor melintas cepat. Suasana mencekam macam tengah syuting film horor. Saya putuskan ambil jalan lain untuk menuju rumah Olga.
Begitu saya tiba di rumahnya, kami melihat keluar dan menyaksikan orangorang yang lalulalang. Semuanya dengan ekspresi sedih. Mereka seolaholah kebingungan, seperti kami. Kemudian kami mendengarkan radio untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Olga tak punya televisi.
Kami lalu berdiskusi panjanglebar tentang kebebasan berekspresi, tentang kartunis Charlie Hebdo, populasi muslim Prancis, dan konsekuensi hidup di ibu kota Prancis. Seminggu lagi kami berdua akan terbang ke Berlin. Kami mencoba tak memikirkan keamanan yang ketat yang akan kami hadapi di bandar udara, stasiun, museum, dan rumah sakit karena di manamana kewaspadaan ditingkatkan ke titik maksimal. Polisi tambahan dikerahkan ke kota. Itu sepertinya segera terjadi, dan setiap orang harus bersiap dengan kartu identitas. Iklim curiga pasti meningkat.
Pukul 3 sore, saya keluar dari kediaman Olga yang berjarak sekitar 200 meter dari kantor Charlie Hebdo di Distrik 11—yang bersebelahan dengan Distrik 3, tempat tinggal saya. Kawasan di sekitar kantor mingguan itu masih dinyatakan tertutup. Busbus bergeser rute. Semua kendaraan dialihkan ke jalur lain. Di halte bus, saya lihat masih banyak polisi berseliweran di lokasi kejadian di seberang Boulevard RichardLenoir. Untunglah, pasar di Boulevard RichardLenoir hanya buka pada hari Kamis dan Minggu. Kalau saja hari itu ada pasar, tak terbayangkan kacaunya seperti apa.
Di atas bus saat pulang, saya lihat orangorang mulai mengalir ke Place de la Republique. Mereka memprotes teror berdarah atas kebebasan pers. Saya tercekam, dan berniat kembali segera ke kantor Charlie Hebdo untuk menyalakan sebatang lilin.
Kunang Helmi (Paris, Prancis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo