Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Cinta di tangan kakek

Dian puspitawati,19, tewas di tangan kakeknya, martosuyono, kepala desa gumiwang lor, wonogiri. gara-gara kepergok pacaran dengan suprapto. kini marto ditahan polisi.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang gadis dikabarkan mati bunuh diri. Ternyata, ia dibunuh kakeknya sendiri, yang kepala desa. Hanya gara-gara kepergok berpacaran. DI bawah pohon kelapa di lereng bukit kapur, sepasang remaja lagi asyik memadu cinta. Yang lelaki Suprapto, 23 tahun, pasangannya Dian Puspitawati, 19 tahun. Di bawah lereng itu terhampar pemandangan indah, riak air Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, Jawa Tengah. Saking asyiknya, pasangan itu tak sadar bahwa seseorang mengendap-endap mendekati tempat itu. "Bajingan ...," terdengar suara menggelegar. Seorang lelaki 60 tahun, yang tidak lain kakek Dian sendiri, Martosuyono telah berdiri dengan muka garang di samping mereka. Gadis manis ini buru-buru memasang kancing bajunya di hadapan kakeknya. Sedangkan Suprapto bengong. "Bajingan, keparat kalian ...," kembali Kakek Marto, yang Kepala Desa Gumiwang Lor, mengumpat sambil menjambak rambut gondrong Suprapto. Bak pesilat, kaki kakek itu menghantam punggung Suprapto. "Saya sengaja tidak membalas, dia orangtua dan kepala desa lagi," ujar Suprapto, memberi alasan. Tapi, ketika kepala desa itu akan menghantam kepala Suprapto dengan batu, Dian menjerit. Batu memang urung menimpuk kepala Suprapto, tapi kini giliran Dian menjadi sasaran. Kakek yang sedang naik pitam itu menyeret Dian pulang. Di rumahnya, gadis yang berkulit bersih ini dihajar habis-habisan. Ia ditempeleng, dipukul dengan tangan kosong, dan inilah klimaksnya, leher Dian dijerat dengan seutas tali plastik. Akhirnya, gadis yang baru saja lulus SMA Pancasila Wonogiri itu terkulai lemas. Dian tewas pada Ahad siang dua pekan lalu. Kini giliran kakek Marto yang bingung. Tokoh yang sangat dihormati di desanya itu lari ke luar rumah sambil berteriak, "Tolong, tolong ..., Dian mau bunuh diri." Penduduk desa segera berdatangan memenuhi rumah bergaya joglo berdinding kayu itu. Mereka menemukan Dian tergantung pada seutas tali dan sudah tak bernyawa. Rencana penguburan segera disiapkan penduduk. Berita duka pun disebarkan ke seluruh pelosok desa. Ketika itulah seseorang menyelipkan surat kaleng ke Muspika Wuryantoro. Isinya menyebutkan kematian Dian tidak wajar. Polsek Wuryantoro segera mengusut kematian Dian. Ternyata, pada bagian kepala gadis malang ini terdapat luka memar dan pada lehernya ada bekas jeratan tali. Menurut visum tim dokter dari Fakultas Kedokteran UNS Solo, Dian tewas akibat kesulitan bernapas. Tentu saja, tidak sulit mencari pelakunya. Kini Pak Marto, yang telah 14 tahun menjabat Kepala Desa Gumiwang Lor, ditahan di Polres Wonogiri. Kepada penyidik, Pak Marto menyatakan bahwa ia sangat menyayangi cucunya. Sejak orangtua gadis itu bercerai, 1987, Dian dan adiknya tinggal bersama kakeknya. Martosuyono sebenarnya menginginkan agar cucunya menyelesaikan sekolah lebih dulu sebelum berpacaran. Tapi si gadis ingin lain. Kuping kakek itu sempat panas mendengar gunjingan orang desanya. Konon, Suprapto sering menyelinap ke kamar Dian pada malam hari. "Saya tidak bermaksud untuk membunuhnya. Saya hanya ingin menghajarnya, demi masa depannya sendiri," ucap Pak Marto, menyesal. Suprapto, lelaki hitam manis bertubuh lencir ini, kepada TEMPO mengaku sudah beberapa kali melakukan hubungan badan dengan Dian di kamar pacarnya itu. Ia juga mengaku suka menyelinap ke kamar gadis itu pada malam hari, di saat kakeknya sedang tidak di rumah. Terakhir, terjadi Sabtu malam, 15 Juni lalu. Malam itu, menurut pria lulusan STM ini, mereka berjanji akan bertemu lagi esoknya di kebun kosong di tepian waduk itu. Ternyata, itulah pertemuan terakhir mereka. Sebenarnya, Suprapto sudah berniat meminang kekasihnya yang sudah dua tahun dipacarinya itu. Tapi Dian, yang baru saja lulus SMA, ingin lebih dulu kursus komputer. Ternyata, semua itu hanya rancangan. Kini Suprapto, yang bekerja di sebuah perusahaan mebel di Solo, sering termangu di pinggir sawah. "Rasanya saya ingin ikut mati tapi tak bisa," ujar Suprapto, anak seorang pamong desa. Kastoyo Ramelan dan Syahril Chili

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus