Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tvri: kaya beban

Pemerintah memberikan kemudahan kepada tv swasta, sebaliknya ruang gerak tvri dibatasi. hampir selu- ruh misi pemerintah harus muncul di layar tvri. beban makin berat, anggaran tvri menciut.

6 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TVRI, kata seorang pakar komunikasi, tak ubahnya orang yang disuruh bertinju dengan tangan terbelenggu. Betapa tidak. Ketika Pemerintah memberi berbagai kemudahan kepada TV swasta, ruang gerak TVRI malah dibatasi. Padahal, dengan TV swasta sebagai pesaing, seharusnya TVRI diberi peluang yang sama. "Jangan lawannya dikasih voor, eh dia malah diikat," sergah Alwi Dahlan, pakar komunikasi itu. Cetusan ini tidak berlebihan. Coba telusuri penyusunan program siaran. Kecuali dilarang mengiklankan minuman keras dan rokok, RCTI bebas menayangkan film apa saja, asalkan tidak melanggar susila, agama, dan tidak menyinggung perbedaan suku. TVRI terseok-seok, bagaikan orang tua renta yang disuruh memikul beban berat. Hampir seluruh misi Pemerintah harus muncul di layar TVRI. Mulai dari KB, pertanian, transmigrasi, kelompencapir, sampai tata cara beternak lele dumbo. Tak heran bila banyak pemirsa TVRI yang "gregetan". Pada Minggu pagi, misalnya, orang tentu ingin acara Ria Jenaka tampil "full banyolan". Tapi, di tengah tawa berderai, penonton dipaksa menelan pesan-pesan sponsor seperti tersebut di atas. Sungguh, sangat mengganggu. Dan sialnya, "musibah" serupa juga terjadi pada acara-acara seperti musik ataupun sinetron. Ternyata, itu pun belum cukup. April lalu, TVRI diharuskan memakai "borgol baru", yakni berupa pembatasan siaran film impor. Tanpa alasan yang jelas, Pemerintah menginstruksikan TVRI memangkas film-film asingnya sebanyak 35%. Padahal, TVRI sedang hangat-hangatnya bersaing dengan RCTI, yang 80% acaranya berupa film impor. "Borgol" baru ini dengan telak memukul TVRI. Akibatnya, TVRI harus membuat acara-acara lokal sebagai pengganti, yang biayanya jauh lebih mahal daripada film impor. Sinetron dengan masa putar satu jam membutuhkan dana Rp 40 juta -- bahkan sampai Rp 170 juta, seperti biaya sinetron Tuanku Tambusai. Sedangkan untuk sebuah film seri impor TVRI cukup mengeluarkan 3.000 dolar atau sekitar Rp 6 juta saja. Repotnya lagi, "Anggaran TVRI selama ini pas-pasan," kata Direktur Televisi Ishadi. Tahun lalu TVRI hanya mengandalkan Rp 70 milyar, yang selain diperoleh dari iuran TV, juga sudah termasuk pendapatan dari iklan terselubung (Rp 1,5 milyar), plus subsidi dari Pemerintah Rp 15 milyar. Kini, dengan PT Mekatama Raya. swasta penarik iuran TV, tahun ini TVRI mematok perolehan Rp 90 milyar. Namun, menurut Ishadi, idealnya anggaran TVRI Rp 120 milyar. Dengan demikian, TVRI bisa meremajakan alat-alatnya. Tapi bila terus kembang-kempis, kondisi studio TVRI akan selamanya memprihatinkan. Contohnya, kondisi 104 unit transmisi (TVRI mempunyai 257 transmisi yang kini sudah dalam keadaan "koma". "Dari segi teknik kami kalah oleh TV swasta," Ishadi mengakui. Begitupun dalam hal program siaran. "TVRI memang memiliki acara-acara yang unggul, tapi tetap saja lebih unggul RCTI," katanya merendah. Mungkin karena itu Ishadi pasrah. Ia hanya berharap, suatu hari kelak TVRI yang kini berlindung di bawah naungan yayasan bisa berubah status. "Agar kami bisa bergerak lebih lincah. Paling tidak, bisa mengambil kredit dari bank," demikian Ishadi. Harapan itu sesungguhnya tidak berlebihan. Bandingkan dengan RTM bersama TV1 dan TV2-nya. Televisi Malaysia ini, untuk produksi Januari dan Februari lalu, telah menghabiskan 135 juta ringgit (Rp 94,5 milyar). Ini berarti, anggaran RTM -- diperbolehkan menyiarkan iklan -- dalam setahun bisa mencapai Rp 567 milyar, lima kali lipat lebih besar dari anggaran TVRI. Dan jika TVRI dibandingkan NHK, TV milik pemerintah Jepang, benar-benar mirip gajah berbanding semut. Pada akhir tahun buku 1990, misalnya, NHK mencatat pendapatan 483,8 milyar yen (sekitar Rp 6.800 milyar). Sedang total pengeluarannya Rp 6,28 trilyun. Gila. BK, Nunik Iswardani, Moebanoe Moera, Iwan Qadar, Seiichi Okawa, dan Ekram H. Attamimi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus